Rabu, 24 Februari 2010

Rapat JKI dan Red Light

Dua hari yang lalu, mas Alfa (yang ternyata dosen Untirta) melalui mlist mengundang saya untuk hadir pada hari Rabu tanggal 24 februari 2010 di rumah mba Dini di Amsterdam untuk membicarakan sikap intelektuil Belanda yang meminta pemerintahnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan pada tanggal 27 Desember 1949. Rapat ini saya pikir penting untuk saya sebagai "warga" baru di Belanda paling tidak karena 3 aspek yaitu aspek sosial, idiologis dan tentu saja aspek rekreatif.
Aspek Sosial
Untuk aspek sosial, sebagai "warga" baru tentu saja saya harus memulai memperkenalkan diri, bersilaturahim, dan membina hubungan baik antara orang Indonesia yang ada di Belanda. selain bermanfaat untuk meningkatkan nasionalisme, bersilaturahim, seperti kata Nabi Muhammad, juga akan menambah umur dan rizki. Untuk tujuan terakhir ini biasanya sangat aplikatif karena rizki memang akan mengalir baik berupa "wakaf" baju-baju hangat dan sepeda, informasi, dan tentu saja makanan-makanan khas Indonesia yang jika beli di kafe atau restoran harganya sangat mahal, bisa sampai 8-10 euro untuk satu porsi gulai kambing atau sop buntut.
Bicara masalah orang Indoenesia di Belanda yang jumlahnya bisa mencapai ribuan, secara garis besar, di bagi menjadi dua kelompok besar yaitu warga Indonesia yang tingal di belanda karena tugas belajar, kerja atau keperluan yang bersifat temporer dan orang Indonesia yang secara idiologis "disingkirkan", tidak bisa pulang dan akhirnya menetap di Belanda karena perbedaan sikap politik dan idiologi dengan pemerintah orde baru.
Pertanyaan standar yang biasanya ditanyakan dihampir setiap pertemuan adalah; mas Rohman asalnya dari mana? wajarlah karena Indonesia itukan luas dan punya puluhan provinsi. biasanya saya menjawab "saya dari Serang, Banten" dengan penekanan yang agak meninggi ketika menyebutkan Banten karena menurut pa Mufti sebelum berangkat agar saya jangan meninggalkan Banten ketika berkenalan dengan teman-teman di Belanda dan tentu saja teman teman berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Saya agak telat datang ke rumah mba Dini karena kang Hilman, senior saya yang mahasiswa S3 juga belum pernah ke rumah itu. sehingga perlu waktu untuk menemukan "trem No. 14" yang akan mengantar kami ke halte "Plein 40-45" di pinggiran kota Amsterdam yang luas dan gemerlap. Setelah "meliuk-liuk" di jalanan Amsterdam akhirnya trem 14 ketemu juga, dia mangkal diantara dua bangunan tua belanda yang salah satunya Istana Ratu Belanda, Betrix. setelah membelah kota Amsterdam, trem 14 sampai juga di halte itu. Di rumah mba Dini, sudah ada mas Alfa, pa Mintarjo beserta istri, mas siswa, mas najib, dan beberapa orang lainnya termasuk kalau tidak salah mas Arif yang kedua orangtuanya berasal dari Kaujon Serang.
Aspek Idiologis
Nah kita masuki aspek idiologis di bagian ini. kecuali saya dan mas Hilman, peserta rapat yang hadir merupakan rerpesentasi tim 13 yang memprakarsai terbentuknya Jaringan Kerja Indonesia (JKI) yang berusaha "menyatukan" berbagai kelompok masyarakat Indonesia di Belanda baik dari kelompok pelajar yang dikenal dengan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) yang tersebar di hampir seluruh kota-kota di Belanda, kelompok profesional, warga yang tidak bisa pulang beserta anak-anaknya, dan kelompok kesukuan seperti dari Maluku dan Papua.
Dipertemuan itu dibicarakan isu sentral yaitu respon JKI terhadap sikap intelektual Belanda yang mendesak pemerintahnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan pada tanggal 27 Desember 1945. Ini yang menarik, memang setahu saya (dan harus diverifikasi lebih lanjut) di Indonesia ada 4 proklamasi yaitu proklamasi Komunis, proklamasi RI, proklamasi DI, dan PRRI. Di Indonesia sejak kita SD, guru-guru kita ketika menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia pasti tanggalnya adalah 17 Agustus 1945 dan kita selalu merayakannya setiap tahun. Anehnya di Belanda, para siswa dijelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu tanggal 27 Desember 1949 karena menganggap proklamasinya tidak syah. bahkan Indonesia di anggap sebagai bagian dari wilayah Belanda yang membangkang sehingga pada tahun 1947 dan 1949 di lanjarkan "penertiban" pada wilayah yang dianggap mereka masih bagian dari Belanda melalui serangkaian tindakan militer yang kita kenal dengan Agresi militer Belanda I dan II. Belanda pada waktu itu tidak rela, merasakan kehilangan yang sangat atas kemerdekaan Indonesia yang merupakan daerah koloni yang sangat kaya raya dan makmur.
Dengan konteks tersebut, maka JKI berinisiatif menyelenggarakan kegiatan yang berbentuk sarasehan atau seminar yang akan mengundang beberapa intelektual Belanda untuk bersama-sama warga Indonesia yang ada di Belanda membicarakan isu tersebut dan sekaligus akan mendorongnya menjadi isu bersama. Rapat malam tersebut menyetujui komposisi kepanitiaan sarasehan termasuk tempat dan tanggal acaranya termasuk akan dimulainya komunikasi dengan beberapa intelektual belanda yang akan di libatkan sebagai pembicara pada acara tersebut. tepat pukul 21.10 mas Alfa sebagai moderator, menutup rapat tersebut dan tidak lama berselang saya dan mas Hilman pulang.
Red Light; Wilayah bebas nilai
Pulang dari rumah mba Dini, saya, mas Hilman, Pa Min dan Istri memilih untuk naik bus No. 21 karena bus itu lebih dulu menyapa dari pada trem (angkutan yang mirip kereta karena beroperasi diatas rel dan di kendalikan oleh jaringan listrik). Di Amsterdam dan Den Haag (dua kota yang saya kunjungi) trem beroperasi sebagai angkutan publik di tengah-tengah kota yang hampir setengahnya di uni bangunan-bangunan tua abad pertengahan. Sedangkan Bus beroperasi melewati pinggir-pinggir kota. Ketika sampai Amsterdam Centraal, mas Hilman menawari saya untuk "thawaf" di Red Light, satu wilayah pusat pelacuran dan narkotika di Belanda.
saya mengiyakan saja karena ga enak sama senior...he he. menanjaki jembatan Red light, bau ganja sudah tercium kuat membuat saya aga pusing. Red light terdiri dari beberapa blok bangunan yang beroperasi sebagai kafe, restoran, live sex theater, toko mainan sex, dan semua tentang sex. belok ke kanan kanal, setiap bangunan di sana di desain sedemikian rupa dengan lampu warna warni dan ruang-ruang ukuran kecil yang seperti etalase dengan kaca yang menjadi pemisah. didalam ruang-ruang kecil tersebut, terdapat perempuan-perempuan dengan pakaian sangat seronok menawarkan dirinya kepada setiap orang yang lewat dengan berlenggak lenggok agar menarik perhatian. Untuk yang tertarik bisa langsung buka kaca dan bertransaksi dan menurut kang Hilman, "harganya" relativ murah sekitar 40 euro. Dalam hati, saya sebagai manusia merasa kasihan dengan perempuan-perempuan yang sebagian besar masih sangat muda itu karena mereka diekploitasi hanya untuk beberapa puluh euro. setelah "thawaf", cukup satu kali, kami langsung ke stasiun Amsterdam dan sampai di Leiden Centraal jam 23.10. di sini kami berpisah, mas Hilman bawa sepeda dan saya naik Bus ke halte Turkoislaan dan sampai ke Smaragdlaan jam 23.50....setelah menghubungi yayang dan anak-anak, bobo deh...
Smaragdlaan 228 25 Februari 2010 jam 6 pagi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar