Sabtu, 28 Agustus 2010

Ramadhan in The Netherlands; Penentuan Awal Puasa

Salah satu isu penting dalam menyambut bulan Ramadhan adalah penentuan kapan mengawali dan mengakhiri puasa. Untuk hal yang satu ini tidak jarang perbedaan terjadi dalam tubuh umat Islam karena memang ada dua metode penentuan awal bulan yang berbeda yang bisa jadi tidak akan bertemu satu dengan yang lainnya.
Tentang "kapan" ini tentu berkaitan dengan waktu, makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Tulisan ini bukan bertujuan untuk mempertajam perbedaan juga bukan untuk menyatukan perbedaan namun diharapkan agar kita lebih arif dan dapat menjembatani perbedaan itu.
Urgensi waktu dalam Islam
Dalam beberapa ayat al Quran (QS 89;1, 91;1, 93;1, 84; 16-20, 103; 1-3) Allah SWT banyak menyinggung dan memperingatkan kaum muslimin tentang urgensi waktu. Kenapa Allah SWT menekankan umat Islam agar memperhatikan waktu dan kenapa waktu begitu penting dalam Islam?
Sebagai agama yang komprehensive dan universal Islam ternyata tidak hanya melihat waktu sebagai sebuah fenomena kesejarahan yang tidak boleh dilupakan karena di dalamnya terkandung ibroh (pelajaran) bagi umat setelahnya namun juga penting karena hampir seluruh ritual keagamaan dalam Islam berkaitan dengan waktu.
Dalam ritual sholat misalnya Islam mewajibkan pemeluknya untuk mendirikan sholat pada lima waktu yang berbeda yang kelimanya tidak bisa ditawar atau di negosiasi ulang dalam hal waktu pelaksanaanya. Waktu juga menentukan dalam pelaksanaan ritual yang lain seperti haji, zakat fitrah termasuk berpuasa pada bulan Ramadan. Sehingga jelas bahwa waktu menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslimin.
Seperti kita ketahui, kalender penanggalan (tarikh) dalam Islam dinamakan dengan kalender hijriah (dalam bahasa inggris disebut dengan hegira dan dalam bahasa latin, kalender islam disebut anno hegirae (A.H.) dimana peristiwa sangat penting dalam Islam ketika hijrahnya kaum muslimin untuk memisahkan diri dari kaum musyrikin Mekah ke Madinah (Yastrib) pada tanggal 16 Juli (solar calender) ditetapkan sebagai awal penanggalan Islam yaitu 1 Muharram. Kita juga mengenal 11 bulain yang lain mulai dari Safar sampai Zulhijjah.
Namun, tidak seperti penentuan awal bulan lainnya yang begitu soft dan nyaris tak terdengar, penentuan awal bulan ke sembilan dalam kalender Islam (Ramadan) hampir selalu diwarnai dengan perbedaan pandangan. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di Belanda.
Perbedaannya, jika di Indonesia kita mengenal ada Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang biasa menjembatani perbedaan dua ormas Islam terbesar (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) dalam penentuan awal dan akhir Ramadan, maka di Belanda tidak ada yang namanya Majlis Ulama Belanda atau sejenisnya yang mengatur dan mengkomunikasikan perbedaan itu. Sehingga rapat penentuan awal bulan Ramadan (sidang isbat) tidak di kenal oleh kelompok-kelompok Islam di Belanda yang tersebar di masjid-masjid yang berbeda.
Metode Penaggalan Bulan Komariyah (Lunar system): Pengalaman di Belanda
Dalam penggunaan tehnik untuk menentukan awal bulan (terutama Ramadan), ada dua metode atau pendapat yang berbeda. Metode pertama adalah dengan menggunakan rukyat (penglihatan telanjang) untuk melihat bulan baru (new moon).
Menurut metode yang pertama, tidak semua orang bisa dipercayai sebagai perukyat karena ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki seorang perukyat diantaranya menurut mazhab Syafi'i adalah muslim, telah baligh, adil, sehat rohani, dan wajib bersumpah. Pendapat pertama ini digunakan oleh masjid As-Soennah, masjid kelompok salafi yang ada di Den Haag.
Sehingga ketika saya bertanya kepada salah seorang pengurus masjid As Soennah beberapa hari sebelum Ramadan tentang awal puasa, ketika itu dia menjawab bahwa kami harus menunggu rukyatu hilal yang ketika itu tentu tidak bisa dipastikan.
Metode pertama ini bersandarkan kepada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:"shumu li ru'yatihi wa afthiru liru'yatihi...." yang artinya berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berbukalah ketika melihat bulan dan jika bulan tidak terlihat maka genapkanlah (Sya'ban) menjadi 30 hari.
Pandangan kedua berpendapat bahwa penggunaan rukyatu hilal secara fisik dengan mata telanjang amat sulit dilakukan di jaman modern ini. Untuk itu, pendapat kedua menekankan penggunaan hisab (perhitungan) dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.
Menurut pendapat ke dua, rukyatu hilal digunakan oleh nabi Muhammad dan para sahabat ketika udara di jazirah Arab masih bersih, tidak ada polusi, berbeda dengan jaman modern di mana langit sudah dipenuhi oleh asap polusi.
Selain itu, umat muslimin saat ini di anggap sudah dapat menguasai ilmu hitung (hisab) yang dianggap lebih precise (tepat) dalam mengukur datangnya bulan baru. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Abduh dan Rashid Rida, dua orang pengusung modernisme di dunia Islam.
Nah, Muslim di Belanda sebetulnya lebih banyak yang menggunakan metode ini. Masjid al Hijra yang didirikan oleh muslimin Maroko dan masjid Turki (didirikan oleh orang Turki) di Leiden misalnya menggunakan metode ini. Tidak heran jauh sebelum Ramadan datang, masjid-masjid itu sudah membagikan selebaran yang berisi jadwal sholat di bulan Ramadhan.
Metode kedua ini juga nampaknya di gunakan juga oleh masjid al Hikmah, masjid komunitas muslim asal Indonesia di Den Haag di mana pengurus masjid membuka komunikasi dengan pa Prof. Dr. Thomas Jamaludin, ahli Astrofisika dari Departemen Agama RI.
Namun nampaknya perbedaan tetap terjadi tahun ini di Belanda. Menurut perhitungan pa Thomas, di Belanda posisi bulan masih di bawah ufuk pada tanggal 10 Agustus 2010 sehingga bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari. Sehingga awal puasa jatuh pada tanggal 12 Agustus 2010.
Sedangkan di hari terakhir jelang puasa, masjid al Hikmah mengumumkan bahwa puasa jatuh pada tanggal 11 Agustus 2010 karena mempertimbangkan fatwa dari majlis fatwa Eropa. Ya kita memang akhirnya tetap harus memilih mana yang sesuai dan diyakini oleh hati nurani.
Tanggal 10 Agustus 2010 (28 Sya'ban sore) itu di sebagian besar Belanda, langit diselimuti oleh awan hitam yang jika menggunakan metode pertama maka bulan Sya'ban harus di genapkan menjadi 30 hari.
Lepas dari pengalaman diatas, perbedaan itu adalah rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muslim termasuk yang tinggal di Belanda. Dalam konteks penentuan awal dan akhir Ramadan, adalah hal yang hampir mustahil menyatukan penanggalan hijriah termasuk penentuan awal dan akhir Ramadan karena bumi yang terbagi dalam zona-zona waktu yang menyebabkan hingga saat ini belum ada konsensus tentang kalender Islam global.

Wassenaarsweg 29 Agustus 2010


Rohman Al Bantani



Jumat, 27 Agustus 2010

Ramadhan in The Netherlands; Masjid-masjid di Belanda I

Suara azan mengalun merdu dibawa angin yang berhembus deras mengisi ruang-ruang kosong dan gang-gang sempit di jalanan sekitar Brestraat, Leiden. Hari Jumat itu seperti biasa, muslimin dan muslimat berduyun-duyun baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda bergegas menuju salah satu masjid yang ada di Leiden, Al Hijra namanya.
Masjid ini letaknya hanya dua ratusan meter dari centrum kota Leiden dan sekitar limapuluh meter dari belakang perpustakaan KITLV di lingkari oleh bangunan-bangunan yang mirip disebelah kanan dan kirinya.
Masjid yang didirikan oleh muslim Maroko ini bentuknya tidak sama dengan masjid-masjid yang bisa ditemui dengan mudah di tanah air. Masjid ini misalnya berbentuk khas seperti toko-toko dan perumahan Belanda yang bermotif tumpukan bata berwarna merah tua tanpa gerbang utama dan kubah.
Masjid ini juga tidak punya halaman parkir sehingga puluhan sepeda yang dibawa oleh jamaah terpaksa harus menutupi trotoar jalan di depan masjid.
Sayangnya tidak semua ruas trotoar depan masjid bisa digunakan oleh jamaah. Beberapa ruas trotoar di pasangi garis pembatas berwarna merah dan putih yang menandakan ruas itu tidak boleh digunakan untuk memarkir sepeda sehingga kadang-kadang jika parkiran sepeda sudah penuh, saya lebih memilih untuk memarkirkan sepeda di parkiran KITLV.
Masjid ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama dibagi kedalam empat bagian. Bagian pertama adalah ruangan tempat sholat yang agak gelap namun cukup luas sebagai cadangan jika lantai dua dan tiga penuh oleh jamaah. Ruangan ini biasanya digunakan ketika sholat Jumat dimana jumlah jamaah bisa lebih dari 300an orang. Di sebelah kiri ruangan itu juga terdapat pintu yang menghubungkan jamaah ke tempat berwudhu dan kamar mandi.
Di masjid ini cara berwudhunya cukup unik karena di setiap keran yang berjumlah 6-7 buah (salah satunya keran khusus air panas) terdapat ember kecil untuk menampung air. Jadi air yang kita gunakan untuk berwudhu, di batasi oleh satu ember kecil itu. Ajaran Islam untuk tidak berlaku boros, nampaknya di praktekkan dalam aspek berwudhu.
Di depan ruangan cadangan ini, terdapat ruangan kecil yang berfungsi sebagai kantor pengurus masjid (DKM lah kalo di indonesia). Diruang inilah situs resmi masjid Alhijra yang beralamat di www.alhijra.nl dikelola oleh pengurus masjid. Seluruh kegiatan di informasikan kepada seluruh jama'ah melalui situs ini. Mulai dari jadwal sholat, pengajian rutin, artikel-artikel keislaman sampai dengan pengumuman hendak di bangunnya masjid al hijra di tempat yang baru yang hingga saat ini masih membutuhkan dana dari para jama'ah.
Sedangkan bergeser kesebelah kiri ruangan ini, terdapat pintu masuk ke ruangan yang khusus digunakan untuk jamaah wanita. Karena saya tidak bisa memasukinya saya tidak bisa mendeskripsikan lebih jauh tentang ruangan itu yang jelas tempat berwudhu dan kamar mandinya terpisah dari jamaah pria.
Ketika memasuki masjid, disebelah kiri terdapat tangga yang akan membawa kita ke ruang utama masjid al hijra. Di lantai dua inilah tempat dimana sholat lima waktu biasa di kerjakan. Luasnya kira-kira 10 x 12 meteran. Di pojok depan, terdapat mimbar tempat khotib jumat biasa berkhutbah.
Walaupun kecil, masjid ini ternyata punya perpustakaan loh. Letaknya di pojok belakang ruangan utama. Koleksi bukunya tidak hanya al quran, namun juga kitab-kitab tafsir, syiroh nabawiyah, dan kitab-kitab hadist tersedia di sini. Memang jama'ah tidak bisa meminjam kitab-kitab itu ke rumah, jadi hanya untuk di baca on the spot. Namun yang jelas, pengurus masjid rupanya memperhatikan dengan serius minat jamaah yang haus akan ilmu keislaman.
Lantai ketiga yang paling atas digunakan untuk menampung jamaah jumatan. Ruangan ini merupakan tempat favorit mahasiswa indonesia yang sholat disini karena selain lebih longgar nampaknya khutbah yang berbahasa Arab plus terjemahan dalam bahasa Belanda yang cukup panjang membuat mahasiswa indonesia lebih nyaman menempati lantai ini.(juga bisa sambil agak terkantuk-kantuk he he he).
Di lantai ini juga terdapat ruang khusus imam masjid. Jika diperhatikan, Imam masjid memiliki peran yang sangat pivotal terutama dalam hal ritual keagamaan. Tidak seperti di Indonesia yang setiap sholat berjamaah bisa berganti-ganti imam, disini imam dan khatib hanya satu orang yang dianggap oleh jamaah memiliki ilmu keislaman yang tinggi. Selain memimpin sholat berjamaah dan menjadi khotib jumat, Imam juga memberikan tausiyah setiap selesai sholat lima waktu.

Nah dari masjid al hijra ini kita bisa belajar tentang bagaimana keterbatasan ruang tidak menghalangi aktivis masjid untuk mengelolanya secara efektif dan efisien. Sehingga walaupun berukuran kecil, namun jamaah bisa menikmati layanan masjid dan beribadah dengan tenang dan khusu'.

Wassenaarsweg 6, 28 Agustus 2010

Rohman Al Bantani