Senin, 29 Maret 2010

Perjalanan Ke Amsterdam 28 Maret 2010 bersama Oma Kliesters

Hari ahad tanggal 28 Maret kemarin, mas Alfa, dosen Untirta yang mendapat program PhD di Amsterdam University mengundang saya, kang Hilman, mas Agus, bu Yani, bu Alia, bu Asniar, dan bu untuk datang ke rumahnya yang berada di jalan Javaplein dekat Soendastraat, Amsterdam dalam rangka silaturahim dan memperkenalkan anggota keluarganya yang baru tida bulan yang lalu datang. Biasanya dari Leiden saya selalu bareng kang Hilman. Bukan apa-apa, saya cuma ingin nebeng corting card karena ongkos kereta bisa lebih murah, bisa dapat korting 40%.
Bagi orang-orang yang memiliki rutinitas yang padat dengan keharusan menggunakan kereta untuk bekerja atau comuter antar kota di Belanda, di sarankan (pada beberapa orang tertentu sepert mahasiswa Indonesia lebih tepat: diwajibkan) untuk membeli corting card seharga 50 euro karena banyak keuntungan yang bisa di dapat apalagi lagi bisa di pakai selama satu tahun. systemnya begini: untuk pemilik kartu corting card, si pemilik hanya akan membayar tiket seharga 60% dari harga normal tanpa corting. Misalnya untuk 1 kali jalan ke Amsterdam (one way), harga ticketnya adalah 8,1 euro. Nah, kalo pakai korting card, harganya cuma 4.9 euro. Nah, si pemilik bisa membawa 3 orang lain agar sama-sama mendapatkan korting ticket.
Jangan samakan dengan loket-loket karcis di negeri kita lo....di sini semuanya mandiri dan antara warga dan pemerintahnya di bangun rasa saling percaya yang tinggi.
Di stasiun misalnya, untuk membeli ticket tidak harus mengantri di antrian loket tiket seperti di stasiun Taman Sari (Serang) atau stasiun Senen/ Gambir ( Jakarta) apalagi Bus Way. Di sini, petugas stasiun hanya ada di loket bagian informasi, peniup peluit dan petugas keamanan. Tiket di beli lewat mesin seperti ATM yang di setiap stasiun pasti ada empat atau enam buah bahkan di beberapa stasiun besar seperti di Amsterdam dan di Ultrech bisa lebih dari enam buah. Di mesin yang bersistem touch screen itu tersedia petunjuk penggunaan dalam beberapa bahasa yang umum digunakan di dunia. Nah, untuk yang belum bisa bahasa Belanda jangan khawatir karena bahasa mesin bisa di rubah kedalam bahasa Inggris yang tombol untuk merubahnya terletak di sebelah kiri bawah.
Jadi misalnya ketika akan berangkat ke Amsterdam, prosedur keberangkatan adalah; cek jadwal keberangkatan kereta karena di Belanda tidak ada istilah terlambat, yang ada kereta berubah jalur. Kalaupun ada keterlambatan akan segera ada pengumuman yang memberi kabar berapa lama kereta akan terlambat dan biasanya tidak lebih dari 10 menit jika bukan karena badai salju atau peristiwa luarbiasa lainnya. Setelah melihat ke board yang letaknya di depan stasiun dan memastikan pukul berapa kereta akan berangkat, maka kita ke, saya sebut, ATM tiket yang di layarnya terdapat beberapa macam menu. Kemudian kita tekan nama kota yang akan kita tuju ( dilayar tersedia pilihan nama-nama kota dalam bentuk alphabet misalnya A bisa untuk amsterdam, alkmaar, atau kota yang berawalan A lainnya, untuk Den Haag berarti huruf D dst) . Setelah itu, kita pilih tombol yang berurutan ke kanan secara berurut yang masing-masing punya dua pilihan seperti tiketnya untuk 1 atau 2, korting atau tidak, untuk hari ini atau kapan, dan satu arah atau bulak balik. setelah itu kita pilih bank apa yang kita pakai untuk membeli karcis. Kebanyakan mahasiswa asing menggunakan kartu ATM Rabo Bank. kartu ATM kita masukkan kedalam mesin kemudian kita tekan nomor PIN dan tekan ja/yes dua kali. jika kita ingin mendapat kuitansi. Baru kemudian tiketnya keluar.
oh iya, jangan lupa untuk selalu menyediakan Nationale Strippen Kaart jika ingin bepergian keluar kota karena akan sangat berguna. Strippen kard adalah kartu yang digunakan untuk menaiki bus atau trem yang ada di kota-kota di Belanda. Sebetulnya bisa pakai uang cash, tapi dengan strippen card bisa lebih murah. Kartunya berbentuk memanjang dengan tulisan berurut 1-15 strip ada juga yang samapai 30 strip. Nah, untuk jarak yang tidak begitu jauh supir atau petugas di dalam trem hanya akan menyeplok dua strip, tapi untuk perjalanan dari stasiun Amsterdam ke Javaplaein misalnya yang berjarak cukup jauh maka bisa kena 3 strip. Untuk membandingkan dengan uang cash, saya akan ilustrasikan contoh ringan sebagai berikut: Dari stasiun Leiden Centraal ke Smaragdlaan (apartemen saya), ongkos bus cash 1,2 euro yang jaraknya kira-kira 1 KM. Dengan menggunakan strippen kaart supir akan menyeplok 2 strip. Berarti kita bisa gunakan stripen kard yang berisi 15 strip dengan harga 7.6 euro sebanyak 7 kali kesempatan. Jika dibandingkan dengan uang cash yang kita keluarkan untuk perjalanan bulak-balik Leiden Centraal-Smaragdlaan sebanyak 7 kali maka uang cash yang dikeluarkan berjumlah 1.2 x 7 = 8.4 euro. Dengan Strippen Kaart, kita bisa hemat 1.2 euro.
Ke Amsterdam
Saya berangkat jam 11 dari Smaragdlaan karena ingin mengejar kereta ke Amsterdam yang berangkat jam 11.15. Tapi karena sepeda saya tidak bisa ngebut, akhirnya saya sampai di stasiun sudah sangat mepet, jam 11.13. Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengejar kereta itu karena harus antri beli strippen kaard dan tiket kereta selama beberapa menit. Mau tidak mau saya harus menunggu jadwal kereta berikutnya yang menurut jadwal akan berangkat jam 11.30. Setelah menunggu beberapa menit di peron no. 5, kereta intercity tujuan Amsterdam datang juga. Kereta ini hanya akan berhenti di stasiun Schippol kemudian akan melanjutkan perjalanan ke stasiun terakhir di Amsterdam Centraal.
Saya memilih duduk di gerbong paling depan, kursi di kelas 2. Bukan hanya karena lebih leluasa untuk ngobrol, tapi juga karena agaknya kelas 1 tidak jauh berbeda kualitasnya kenyamananya dengan kelas 2. Di kelas 1 biasanya lebih tegang karena penumpangnya lebih suka diam. Satu lagi yang penting, juga karena harga tiketnya lebih murah. Di awal-awal bulan ketika naik kereta, saya kagum dengan kereta yang bersih, tidak ada rokok, pengamen, dan pedagang asongan di dalam kereta. namun, ternyata ada juga pengamen dan pedagang asongan yang masuk ke dalam gerbong kereta. Tentu yang berbeda jauh adalah potongan (life style, fasion, dan tampang) pedagang asongan dan pengamen itu. menurut teman saya, pengamen dan pedagang asongan di sini mirip artis sinetron Indonesia, ganteng-ganteng (seperti saya he he he, saya kan pemuda paling tampang di kampung seperti kata Tora Sudiro di film Preman in Love).
Di dalam perjalanan, saya duduk berhadapan dengan Klisters, 77 thn. awalnya Klisters mengira saya warga Belanda juga karena dia membuka percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda yang saya sama sekali tidak paham. Sorry I don't speak Dutch...baru beliau sadar dan menggunakan bahasa Inggris yang sangat fasih.
Obrolan kemudian bertambah seru karena beliau ternyata mantan warga negara Indonesia yang sudah beralih menjadi warga negara belanda sejak 52 tahun yang lalu karena suaminya yang merupakan aparat militer Belanda pada pertengahan tahun 50an, harus hengkang dari bumi pertiwi menuju Belanda. Klisters yang merupakan warga Indonesia turunan China beserta ribuan wanita Indonesia lain tidak punya pilihan selain harus ikut suami ke Belanda. Menurutnya, dia dilahirkan tahun 1933 dan dibesarkan di lingkungan menengah atas keluarga China di daerah Kramat, Jakarta. Dia sempat mengenyam pendidikan dasar dan menengah (MULO-AMS). sehingga tidak heran jika Bahasa Inggris, Belanda dan juga bahasa Indonesianya sangat baik.
Oma Klisters sudah 20 tahun ditinggal mati suaminya, dia hidup sendiri di apartemen dekat pelabuhan di kota Rotterdam. Hari ahad itu, dia berniat mengunjungi cicitnya (3 tahun) anak dari cucunya yang nomor 3 di Amsterdam. Di hari tuanya, Klisters menghabiskan waktu sendiri dirumahnya, untuk mengisi kekosongan di setiap akhir pekan, Kliesters mengundang teman-teman untuk makan dirumahnya. Biasanya kliesters akan memasak makanan Indonesia seperti rendang, sambal pete, dan tempe oreg. (wah jadi laper nih bu). untuk sajian makan. Menurut Kliesters, orang Belanda seangkatannya suka sekali makanan-makanan Indonesia apalagi di tambah pete yang bisa di dapat di toko China di Rotterdam. Perjalanan 40 menit menuju Amsterdam Centraal jadi tidak terasa kerena mendengarkan cerita masa lalu Oma Kliesters.
Kliesters kemudian tertawa terbahak-bahak ketika saya jawab pertanyaan beliau tentang status saya sebagai kepala keluarga dengan 3 anak. Dia rupanya heran karena menurutnya wajah saya masih amat muda tapi sudah punya anak 3 bahkan dia berusaha meyakinkan orang-orang yang duduk di sekitarnya bahwa saya kelihatan masih muda. Di Belanda menurutnya, ada aturan hukum yang jika saya tidak salah dengar hanya membolehkan seorang menikah pada usia matang menurut pemerintah Belanda. Jika kedapatan ada yang menikah di bawah usia tersebut akan di masukkan ke dalam penjara...wah ngeri re' padahal kalo di Indonesia nikah muda sudah biasa.
Menjelang stasiun Schipol, tidak seperti biasanya, petugas memeriksa tiket penumpang. selama naik kereta di Belanda, saya baru kali pertama mengalami pemeriksaan tiket dan ini yang kedua. Karena masyarakat dan pemerintah sudah saling percaya, pemeriksaan tiket tidak di lakukan setiap kereta bahkan mungkin tidak setiap hari. Sehingga jika warga yang kurang memiliki tanggungjawab sosial sebetulnya punya kesempatan untuk tidak usah membeli tiket karena belum tentu kena pemeriksaan. Tapi warga negara Belanda, menurut Kliesters, semua taat hukum sehingga pemerintah hanya memeriksa secara acak saja tidak disetiap gerbong di datangi petugas.
Namun, ancaman bagi yang tidak membeli tiket sangat berat. bisa di bawa ke kantor polisi dan tidak bisa di selesaikan "secara adat" seperti kasus-kasus hukum di negeri kita. Untuk yang tidak membeli tiket kemudian ketahuan ketika di periksa petugas, dendanya bisa 10 kali lipat harga tiket. Jadi pilih mana hayo? Untungnya sebelum naik kereta tadi saya beli tiket, kalo engga wah bisa roncod (habis) isi dompet. Saya kemudian berfikir dan berandai-andai jika seandainya kebijakan seperti ini diterapkan di Indonesia, wah bisa jadi bonek akan lebih berbondong-bondong, membludak naik karena tiket tidak diperiksa setiap saat. Stasiun-stasiun kereta akan di guyur ribuan bonek tiap hari mungkin. Saya dan Oma Klisters kemudian berpisah di Amsterdam Centraal yang penuh sesak dengan berbagai jenis suku, bahasa, dan ras yang sibuk hilir mudik dengan tujuannya masing-masing.
Di depan pintu keluar stasiun Amsterdam Centraal, saya harus menunggu kang Hilman beberapa menit karena kang Hilman baru naik dari stasiun Schipol beberapa menit dan harus mengantar temannya yang pulang ke Indonesia pagi itu. Kami kemudian berjalan keluar stasiun menuju dam dengan melewati kanal yang ramai dengan perahu-perahu sewaan yang akan mengantar para turis mengelilingi Amsterdam melalui kanal-kanalnya. Karena perut mulai keroncongan, saya ajak kang Hilman membeli Patat(kentang goreng) di toko Mannekenpis yang cukup terkenal di Amsterdam karena konsumennya selalu antri setiap jam. Harga patatnya 3 euro (jangan di konversi ke Rupiah ya karena pasti mahal). Saya memilih patat dengan mayonese. lumayan banyak goreng kantangnya dan bisa bikin kenyang. Ditemani burung-burung dara di depan Istana Ratu Belanda, saya habiskan satu persatu potongan kentang goreng (patat) itu tanpa ampun, tidak tersisa sedikitpun, bersih!
Di lapangan itu juga banyak sekali turis yang mengambil foto. saya tidak tahu persis mereka dari mana karena rambutnya sama-sama blonde dan bule. Di kota ini, banyak sekali museum-museum mulai dari museum sex sampai museum gereja, kapal laut dan museum lainnya. Karena waktu silaturahim semakin dekat saya tidak sempat mengunjungi museum itu satu persatu. trem No. 14 menuju Javaplein akhirnya datang dan pertemuan itu dilaksanakan dengan beberapa agenda dan diakhiri dengan bagi-bagi kue dan kurma.
Jam 19.30 saya sampai kembali di Leiden Centraal dengan matahari yang masih bersinar terang karena siang hari lebih panjang dari malamnya yang mengharuskan kami semua yang ada di daerah 4 musim untuk memutar jam kami satu jam lebih cepat untuk menyesuaikan dengan kondisi di musim ini. Wallahu'alam.
Smaragdlaan, 29 March 2010 jam 22.30.

Senin, 15 Maret 2010

Boekenweek: Jalan-jalan Keliling Belanda dengan Ongkos Buku

Beberapa hari yang lalu sebelum Prof. Busken menutup kelas, beliau berpesan agar kami bisa membeli buku apa saja agar hari minggu tanggal 14 Maret nanti bisa naik kereta gratis kemanapun di Belanda. Hari sabtunya, tanggal 13 maret 2010, saya dan teman-teman merespon nasehat pa profesor. Di Sabtu pagi yang cerah itu saya keluar dari kamar saya di Smaragdlaan jam 9 dengan beberapa tujuan yaitu menukarkan uang 100 dolar terakhir saya untuk biaya hidup sampai akhir Maret, kemudian mencari buku untuk acara besok, dan mengerjakan tugas kuliah di KITLV.
Kira-kira 15 menit kemudian saya sampai di pelataran parkir stasiun Leiden Centraal. Seperti stasiun-stasiun kereta api lainnya di Belanda, di dalam Stasiun Leiden Centraal ada beberapa toko dan kios yang disediakan oleh pengelola yang letaknya ada di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Mulai dari toko makanan siap saji, bunga, coffee shop, sampai cendra mata ada di sini. Bahkan hampir disetiap stasiun terdapat money changer, maklum Belanda terkenal sebagai negara yang sangat pluralis dan merupakan salah satu negara tujuan turis asing yang singgah di Eropa. Setelah menukarkan uang, saya kemudian menuju toko buku Leiden Centraal untuk hunting buku yang dimaksud Prof. Busken.
Awalnya saya pikir saya bisa membeli buku apa saja untuk acara besok namun ternyata setelah bertanya kepada shop keeper, saya harus belanja minimal 10 euro buku apa saja asal berbahasa Belanda untuk mendapatkan hadiah buku yang berisi tiket zondag 14 maart gratis treinen met uw Boekenweekgeschenk (kira-kira terjemahan bebasnya: gratis tiket kereta pada hari buku tanggal 14 Maret). Setelah naik ke lantai atas dan ke bawah lagi, Saya putuskan untuk tidak membeli buku di toko itu karena saya pikir toko buku lain bisa menyediakan pilihan buku berbahasa Inggris agar bisa dibaca.
Saya kemudian memacu sepeda melewati jalanan yang lengang melewati puluhan toko yang belum mulai beraktivitas menuju toko buku Altis, kira-kira 100 meteran dari alun-alun Leiden. Saya berharap mendapatkan buku pelajaran atau minimal buku berbahasa Inggris di toko ini. Tapi ternyata, setelah beberapa ratus meter mengayuh sepeda dengan ratusan kalori yang tumpah, buku yang saya cari tidak didapatkan. Bahkan, sang empunya toko tidak menyediakan buku untuk Boekenweek....cape deh..
Namun saya tidak putus asa, saya kemudian menyusuri jalan Brehstraat karena disana ada beberapa toko buku besar. Nah, di toko buku didekat gang menuju Lipsius saya temukan buku untuk Boekenweek besok. Walaupun harganya lebih mahal dari toko buku di Leiden Cetraal. namun tetap saya beli. Disini, saya harus membeli buku minimal 12,5 euro untuk mendapatkan buku novel berjudul "Duel" yang berisi tiket itu. Karena energi sudah terkuras di tambah masih harus memikirkan kunci kamar yang kemungkinan hilang, saya putuskan langsung beli buku berbahasa Belanda seharga 12,5 euro plus titipan tiga orang teman. Jadi saya habiskan dana 50 euro pagi itu.
Setelah membeli buku itu, saya mengayuh kembali pedal sepeda model olympic biru saya menuju KITLV yang jaraknya hanya dipisahkan oleh beberapa blok bangunan tua. Saya memang berniat untuk menyelesaikan tugas pa Nico di sana. Namun saya menemukan pagar KITLV, pusat perpustakaan untuk wilayah Asia Tenggara dan Karibia itu terkunci, hari sabtu itu KITLV tutup. Akhirnya saya merubah tempat untuk mengerjakan tugas ke Bibliotek (perpus pusat).
Selama beberapa jam di Bibliotek, saya fokus untuk menyelesaikan tugas pa Nico, salah seorang ahli Indonesia di Leiden University yang juga merupakan kordinator program Indonesian Young Leaders. Di kelas pa Nico ini biasanya teman-teman, termasuk saya, agak sedikit tegang karena beliau memiliki wewenang untuk memulangkan "orang" dengan langsung memberikan tiket mudik kepada yang bersangkutan jika memiliki masalah akademik yang tidak bisa di tolelir. Waktu menunjukan pukul 16.30 ketika saya memutuskan untuk kembali ke Smaragdlaan. saya lupa jika hari itu Rana, mahasiswi asal Syiria akan bersilaturaim ke tempat kami di Smaragdlaan. Akhirnya di temani gerimis tipis yang mengguyur kota Leiden dan awan cumulus yang gelap dengan agak tergesa saya memacu sepeda pulang ke Smaragdlaan.
Kamar Turjiman ternyata sudah berkumpul teman-teman termasuk Rana Abdoel dan Livia, asal Spanyol mahasiswi PhD yang juga teman sekelas kami. Rana memasak makanan khas Syiria yaitu potongan sayuran yang terdiri dari mentimun, kol, sawi, dan jeruk nipis di tambah garam ditambah roti kering khas Syria. sementara Livia membawa masakan khas Spanyol yang mirip telur dadar di Indonesia hanya bedanya ada isinya berupa potongan-potongan kentang goreng yang di potong tipis dan tidak beraturan. Setelah makan, kami membicarakan teknis keberangkatan untuk besok dalam rangka mengelilingi Belanda dalam satu hari...(apa mungkin?). Minggu subuh kami berlima (saya, cucu, zainal, ariza dan syahrill) plus bintang tamu yaitu Livia dan Elyas, seorang mahasiswa asal Peru teman Livia, sepakat untuk bertemu di Leiden Centraal jam 7 pagi karena kereta pertama menuju Den Haag Centraal akan berangkat pukul 07.20 pagi.
Perjalanan ke Maastrict
Masstrict merupakan kota di paling ujung selatan negara Belanda berbatasan dengan Belgia yang menurut data dari internet satu malam sebelum kami berangkat, memiliki pemandangan yang indah dan eksotis. Butuh waktu kurang lebih 4 jam untuk dapat mencapai kota itu. Sedangkan, untuk sampai ke sana dari Leiden Centraal, jalur yang harus kami tempuh adalah kami harus ke Den Haag Centraal, dari sana kami naik kereta jurusan Utrect yang merupakan stasiun terbesar di Belanda karena dari Ultrect seluruh kota di Belanda bisa di jangkau. Dari Ultrect kami naik kereta inter city yang mengantarkan kami langsung menuju Maastrict.
Kurang lebih dua jam kemudian, kami sampai di sana dengan sambutan hawa dingin yang cukup menggigilkan tubuh. Setelah beberapa minggu di Belanda, saya menyimpulkan bahwa stasiun sebagai tulang punggung transportasi publik di Belanda memang di desain untuk berada di tengah-tengah kota. Sehingga, ketika keluar stasiun kami selalu langsung masuk ke jantung kota. Kami menyempatkan untuk berpose dengan beberapa gaya standar di depan stasiun Maastrict sebelum menyebrang jalan menuju kanal besar yang membelah kota Maastrict yang letaknya 500an meter dari stasiun Maastrict. Di kanal besar itu, banyak turis asing yang juga sedang berfoto ria saya melihat beberapa orang bermata sipit, mungkin asal Asia Timur yang sedang berlibur. Sebetulnya di kanal besar itu, ada kapal-kapal laut yang bisa di sewa untuk berkeliling Maastrict lewat jalur air namun karena agak mahal kami memutuskan untuk berkeliling Maastrict dengan on foot alias berjalan kaki.
Ciri lain dari setiap kota di Belanda adalah adanya Town Hall atau alun-alun dengan tanah lapang yang cukup luas dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan khas abad 16/17 ditambah dengan gereja dengan puncak yangi menjulang menancap langit-langit kota. Di salah satu lapangan setelah kami melewati beberapa blok toko-toko fashion, kami jumpai penjual makanan khas Belanda yang di Indonesia mirip "Gulang-galing" makanan dari tepung yang diberi ragi kemudian di goreng. Bedanya, di Maastrict gulang-galing itu memiliki isi. ada isi pasta pisang, keju, coklat, apel, strawberi, dan bahkan berisi wine (yang ini saya tidak suka). Kemudian di tambah dengan gula halus seperti gula mamang donat keliling yang setiap pagi lewat Ciceri Jaya, Serang. harganya relatif murah mulai dari 70 sen sampai dengan 1.4 euro per pcsnya. Di lapangan itu, kami juga sempatkan untuk menengok gereja tua yang masih ramai di kunjungi jamaat misa, mungkin untuk membaptis anak-anak mereka (seumur hidup ni pengalaman pertama saya masuk gereja).
Setelah puas berkeliling, kami mencari makan di kafe-kafe di pinggiran Town Hall. Elyasmengajak kami ke cafe yang agak artistik karena di dalamnya kami seperti berada di bangunan tua yang hampir runtuh namun tetap cantik. saya memilih minum kopi ekpresso seharga 2 euro selain untuk penghematan, juga karena seudah kenyang makan beberapa potong gulang galing gratisan dari Livia (he he). Kami kembali ke stasiun jam 15.00 untuk menuju Einhoven.
Di Kota PSV Einhoven
PSV einhoven merupakan salah satu klub kesohor di Belanda selain Ajak Amsterdam, Feyenoord, dan Alkmaar. kami berkesempatan mengunjungi stadion Phillips yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari stasiun Einhoven. Sayangnya, pintu stadion terkunci karena tidak ada pertandingan sehingga kami hanya bisa memandangi indahnya stadion dari balik teralis besi yang rapat menghalangi pintu masuk. Setelah berfose di depan stadion, kami kembali menuju stasiun untuk kembali ke Ultrect centraal. Oh iya, di depan jalan keluar dari stasiun Einhoven, ada restoran Indoensia yang cukup besar bernama restoran Garuda. saya sebetulnya ingin sekali makan di sana karena perut sudah mulai keroncongan tapi karena teman-teman sudah makan roti dengan potongan daging ayam yang tidak enak di cafe Maastrict maka kami urung untuk makan di sana.
Stasiun Ultrect
Sampai di Stasiun Ultrect hari sudah mulai gelap dan perut sudah tidak bisa di ajak kompromi. Elyas dan Livia dan teman-teman juga sudah mulai lapar. kami kemudian menyusuri deretan toko dan rumah makan di Ultrect Centraal dan akhirnya mendapati restoran China dengan menu "halal" wah mantap....ini dia yang dicari-cari: nasi! bukan orang Indonesia kalo makannya ga pake nasi!!! satu porsi nasi dengan sayur dan ayam khas Chinese food seharga 6,5 euro diambah dengan teh seharga 1,5 euro plus 50 sen untuk ke kamr mandi. Jadi saya habiskan 8 euro untuk makan malam. kalo di convert ke rupiah emang lumayan untuk satu kali makan, makanya di sini jangan pernah mengingat Rupiah karena bisa pusing.
Dari stasiun Ultrect kami mencari kereta yang akan menuju Gauda, kota di Belanda yang di kenal sebagai pembuat keju. tak lama kemudian kereta menuju Gauda datang dan 20 menit kemudian kami sampai di kota yang sudah mulai dingin dan sepi. Di pusat kota, toko-toko sudah mulai tutup. kami hanya berjalan-jalan dan berfoto di Town Hall Gauda karena jalanan sudah sangat sepi. Sebetulnya di belakang Town hall ada Musium yang ramai di kunjungi oleh beberapa orang, namun ternyata mereka sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. kami harus puas dengan hanya melihat-lihat musium tua itu dari luar. Di jalan menuju Stasiun Gauda, kami jumpai toko-toko keju yang tutup tapi kaca beningnya memudahkan kami untuk melihat ratusan bentuk keju, mulai dari yang bentuknya paling kecil sampai yang besarnya seperti ban mobil truk di jual di toko itu. saya penasaran ingin mencoba rasa kejunya tapi karena sudah tutup ya akhirnya hanya menelan ludah saja. Dalam hati saya berjanji akan membelikan keju untuk istri dan keluarga di Serang setelah program ini selesai. Dari stasiun Gauda kami melangkah pulang dengan melewati stasiun Den Haag Central dan berganti kereta menuju Leiden Centraal.
Perjalanan yang cukup melelahkan namun sangat mengasyikkan karena dengan biaya minimal kami bisa mengunjungi beberapa kota di Belanda sekaligus dengan program Boekenweek yang mungkin harus di coba oleh pemerintah Indonesia karena program ini paling tidak akan memiliki multiple efek yaitu meningkatkan minat baca masyarakat, meningkatkan jumlah buku yang terjual, menilai karya anak-anak bangsa dan sekaligus memutar roda perekonomian rakyat. sehingga saya akhirnya ingin menyarankan kepada pemerintah Belanda agar program ini tidak hanya satu tahun sekali namun mudah-mudahan bisa di tingkatkan menjadi dua kali dalam satu tahun agar mahasiswa internasional bisa lebih mengenal Belanda sebagai salah satu bagian dari bumi Allah yang maha luas.
Smaragdlaan, 15 Maret 2010 menjelang tidur 21.30.

Rabu, 03 Maret 2010

Belajar Masak untuk Acara Ngobrol dengan Pa Azra

Kemarin sore setelah seminar prof. Azra di rumah Snouck H. selesai, beberapa teman mahasiswa PhD seperti kang Hilman, kang Kusmana, dan kang Yasrul dan beberapa teman IYL mengadakan rapat singkat untuk membahas persiapan ngobrol bareng pa Azra dengan teman-teman program IYL karena menurut kang Hilman, pa Azra bisa menyempatkan waktunya untuk bertemu dan ngobrol untuk beberapa jam antara pukul 11-13 tanggal 3 Maret. Setelah berdiskusi beberapa saat, diputuskanlah kamar 228 dan 242 di Smaragdlaan sebagai tempat pertemuan sekaligus ngobrol bareng dengan pa Azra. Rapat singkat diluar rumah Snouck tersebut menghasilkan keputusan bahwa teman-teman PhD bertugas untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasak sesuai dengan keahlian masing-masing. sedangkan teman-teman S2 bersiap menyiapkan tempat, memasak nasi, dan membeli snack, buah dan jus.
Tepat jam 10 pagi mas Hilaman, Kusmana, dan Yasrul datang ke kamar saya dengan membawa bermacam-macam bahan makanan.
Kang Yasrul memulai "aksi"nya dengan memasak gulai ikan khas Padang. bumbu yang dipersiapkan adalah bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, garam, gula dan tentu saja cabai merah yang ditumbuk halus. setelah bumbu siap maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan wajan yang kemudian di beri santan kental dan air setelah beberapa lama di panaskan diatas kompor makan bumbu tersebut di masukkan kedalam wajan yang berisi air plus santan. kemudian dengan panas api sedang kuah tersebut di aduk-aduk untuk menghindari pecahnya santan dan ditambahkan daun salam dan sereh. Setelah mendidih, maka ikan beku yang telah dipotong-potong dimasukkan kedalam wajan tersebut hingga masak. Ruasanya enak re'....
Aksi kedua dilakukan oleh kang Hilman yang memasak masakan luar negeri seperti sop Tom Yum yang berasal dari Thailand. menurut kang Hilman, masakan ini biasanya disajikan sebagai makanan pembuka sebelum makanan utama. bumbu yang dipersiapkan diantaranya: bawang merah, putih, sedikit bawang bombay, sereh, salam, paprika merah, udang kering, jamur, cumi, dan beberapa jenis kerang yang ada di Digros, supermarket terdekat dari Smaragdlaan. cara memasaknya irisan bawang merah, putih dan bombay di tumis dengan minyak sayur scukupnya kemudian di tambahkan air kemudian direbus sampai mendidih. setelah mendidih masukkan sea food tadi bersama potongan jamur disertai sereh, salam, lengkuas dan kayu manis. Sebetulnya ada bumbu khusus Tom Yum yang bisa di beli disuper market tapi karena lupa dibeli bumbu seperti inipun sudah standar kata kang Hilman. Hasilnya...kelezatan masakan khas Asia yang kaya rempah-rempah dan bumbu.
masakan kang Hilman selanjutnya adalah nasi Pakistan saya lupa namanya tapi mungkin sejenis nasi kebuli di Indonesia. bahan-bahannya: irisan dadu daging sapi 1/4 kg, kayu manis, lengkuas, salam, garam secukupnya, dan beras. beras yang sudah dicuci kemudian diberi air secukupnya seperti untuk memasak nasi. kemudian masukkan kedalam beras tersebut potongan daging sapi yang sudah di goreng setengah matang dan rempah-rempah tadi. kemudian masaklah nasi seperti biasa setelah kurang lebih 20 menit nasi kebuli siap untuk di santap.
Kang Kusmana memilih untuk memasak sayur tumis. ya kalo untuk tumis menumis standarlah...he he tapi sayurnya memang enak. Jadi intinya selain pandai membaca buku dan membuat review ternyata mahasiswa yang belajar ke luar negeri juga pandai memasak. sehingga jika berminat bisa jadi mereka bisa membuka rumah makan atau restoran di tanah air untuk menyaingi rumah makan atau resto yang lebih dahulu kondang.
Obrolan dengan Pa Azra
Pa Azra sampai di Smaragdlaan sekitar pukul 13an dengan di temani salah satu staf kedutaan yang punya latar belakang ilmu politik. Seperti obrolan mahasiswa pada umumnya, obrolan kami berputar pada masalah akademik dan dunia kampus seperti tekanan psikologis ketika membuat thesis atau disertasi, dosen atau pembimbing thesis yang agak strick, dan lainyya. Nah, menurut pa Azra dalam mengagrap disertasi atau thesis yang paling penting adalah konsistensi. sewaktu beliau menyusun disertasinya di Columbia University, beliau selalu menyempatkan waktu untuk menulis paling tidak 2 lembar sehari sebelum berangkat bekerja atau setelah pulang bekerja disaat magrib, sehingga dalam waktu 10 bulan disertasinya bisa selesai. Satu lagi, ketika menemukan fakta dan data baru janganlah menunda-nunda untuk memasukkannya dalam tulisan untuk mencegah kelupaan. menurut pa Azra juga, ketika menulis , usahakan apa yang telah kita tulis jangan dihapus atau de-delete sampai selesai karena itu akan menggangu konsentrasi. jadi ketika kita stak di bab 1, tulislah bab dua, tiga, atau empat atau bahkan sub babnya. jangan sampai terpaku hanya dalam satu bab.
Obrolan kemudian beranjak kemasalah dalam negeri seperti prosedur penelitian di pasca UIN sampai ke masalah politik. untuk masalah akademik beliau berpesan kepada dosen-dosen muda agar jangan sampai memberi nilai "mati" kepada mahasiswa yang sudah bekerja keras, jangan menyamakan kapasitas otak kita dengan mereka karena tentu akan berbeda makanya yang harus ditanamkan adalah empati.
Ketika membahas tentang politik dalam negeri belanda, kami semua agak kaget mendengar penjelasan dari staf kedutaan bahwa ternyata di Belanda ada salah satu partai politik Kristen yang melarang perempuan untuk duduk di parlemen bahkan untuk menjadi anggotanyapun tidak boleh. Luar biasa, di negara majupun yang katanya demokratis dan menghargai HAM ternyata diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dan lebih parah dibanding negeri kita. Di Indonesia tidak ada partai yang berlandaskan agama (Islam dan Kristen) yang melarang perempuan untuk berkiprah didunia politik.
Setelah ngobrol ngalor dan ngidul selama hampir 4 jam seputar belajar diluar negeri dan segala suka dukanya, kami menyempatkan untuk berfoto bersama pa Azra dan beliau akhirnya kembali ke Den Haag
Smaragdlaan 3 Maret 2010 jam 18.59.

Selasa, 02 Maret 2010

Seminar Pa Azra dan Ziarah Ke Rumah Dr. Snouck Hurgronje

Hari ini tanggal 2 Maret 2010 mungkin hari yang ditunggu-tunggu tidak hanya oleh saya tapi juga oleh teman-teman yang mengambil kelas Anthropology of Muslim Societies yang diasuh oleh Prof. Busken karena kelas hanya akan berlangsung 1 jam dan selebihnya akan dihabiskan di rumah Snouck Hurgronje yang letaknya tidak jauh dari Lipsius, nama salah satu ruang kuliah di Leiden University. Kelas biasanya berlangusng dari jam 15.15-18.00 namun sore ini jam 16.00 tepat civitas akademik Leiden University terutama pada fakultas Middle East Studies kedatagan tamu dari Indonesia, beliau adalah Prof. Azyumardi Azra PhD, Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sebetulnya di undang oleh kedutaan Indonesia untuk memberi ceramah maulid nabi Muhammad SAW di Den Haag beberapa hari yang lalu. Berhubung Dr. Nico Kaptein, Koordinator program IYL, memiliki hubungan yang erat dengan Prof. Azra maka seminarpun di arrange untuk mengakomodasi "kehausan" ilmuwan belanda tentang Indonesia sekaligus untuk menambah wawasan bagi mahasiswa yang menerima beasiswa baik dari master maupun PhD pada program Islamic Young Leaders (IYL).
Seminar berlangsung kurang lebih dua jam yang berisi dua sesi yaitu sesi pemaparan tentang kondisi sosiopolitik muslim Indonesia dan sesi tanya jawab. Prof. Azra membuka seminar dengan mengajukan sebuah pernyataan bahwa Islam practiced by Indonesian Muslims is an enigma. Ini terjadi karena Indonesia merupakan wilayah periferal yang letaknya jauh dari pusat Islam yaitu Middle East. Dalam pemaparannya Prof. Azra juga menjelaskan tentang beberapa sifat moderat yang dimiliki muslim di Indonesia dengan membandingkannya dengan muslim Middle East diantaranya masalah perempuan. Di Indonesia, perempuan bisa mengendarai mobil kemanapun,bisa memimpin sholawat Barjanzi dengan pengeras suara bahkan bisa setiap tahun mengikuti MTQ (Musabaqoh Tilawatil Quran) yang tentu tidak bisa di temukan di Middle East yang menganggap bahwa suara perempuan sebagai aurat.
Prof. Azra juga menyinggung tentang kehidupan muslim indonesia yang toleran dan mudah untuk berasimilasi dengan masyarakat Belanda bahkan katanya model jilbab yang di pakai kebanyakan perempuan Indoensia cendrung lebih modis. Lucunya, ketika bertanya ke audiens: di Belanda tidak mungkin menemukan perempuan indonesia yang menggunakan Burqa yang menutupi seluruh tubuh wanita kan? Prof. Busken langsung menjawab ya karena kita tidak bisa melihat wajah mereka untuk menentukan dia wanita Indoensia atau bukan. tentu saja hadirin tertawa. Beliau beranggapan bahwa aksi-aksi terorisme dan demonstrasi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang beberapa tahun yang lalu marak bukan di sebabkan oleh umat Islam Indonesia sebagai mana terjadi ketika masa Darul Islam atau NII namun lebih ditentukan oleh gerakan Islam transnasional seperti Jamaah Islamiyah, Hizbutahrir, atau gerakan transnasional lainnya yang menyusupi umat Islam Indonesia.
Menurut Prof. Azra, apa yang mereka lakukan bukan cerminan muslim Indonesia yang sebenarnya karena walaupun terjadi santrinisasi besar-besaran dalam bentuk disekolahkannya anak-anak Islam abangan ke sekolah-sekolah Islam dan menyebabkan penganutIslam abangan dipengaruhi oleh anak-anak mereka untuk mempraktekkan apa yang mereka dapatkan disekolah, namun hal itu tidak mempengaruhi preferensi politik mereka dalam setiap pemilu di Indonesia terbukti dengan perolehan suara parta Islam yang paling besar berkisar diantara 8-10 % jauh dibawah partai-partai nasionalis-sekuler seperti Golkar atau PDIP yang memperoleh suara diatas 20%.
Seminar di tutup oleh Dr. Niko Kaptein tepat jam 18.00 sore dan seperti biasa saya dan teman-teman berusaha untuk berbincang dengan narasumber untuk mempererat silaturahim. di seminar itu juga kebetulan dihadiri oleh pa Umar yang merupakan wakil Kedubes Indonesia di Belanda dan ternyata beliau alumni SMUN I Serang angkatan 83, mantap...
Rumah Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje merupakan akademisi leiden yang memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan pemerintah Netherland Indis terutama dalam masalah keislaman warga pribumi. Salah satu masukan Snouck untuk pemerintah kolonial pada waktu itu adalah tentang pemisahan antara kegiatan ritual umat Islam dengan kegiatan politik. menurut Snouck, selama umat Islam masih sholat, zakat, dan melakukan kegiatan ritual lainnya seperti haji lebih baik di biarkan saja oleh pemerintah karena hal itu tidak akan mengganggu pemerintahan. justru yang harus pemerintah lakukan adalah membatasi keiatan politik umat Islam karena jika umat Islam sudah "melek" politik akan sangat berbahaya bagi pemerintah. nah, nasehat Snouck inilah yang kemudian diterapkan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu dan di lanjutkan oleh Soekarno, Soeharto, dan presiden-presiden RI selanjutnya.
Nah, tokoh inilah yang rumahnya kami kunjungi tadi sore. Rumah yang khas belanda karena tidak memiliki halaman depan. Rumah tersebut secara garis besar dibagi dalam empat bagian yaitu ruang depan yang biasa di gunakan untuk seminar-seminar, ruang tengah yang di batasi oleh slide yang terbuat dari kayu berukiran yang antik, ruang baca, dan halaman belakang yang berfungsi sebagai taman.
Diruang depan terdapat meja panjang yang dpakai untuk narasumber seminar dan moderator. dan audiens menghadap ke arah meja narasumber. disebelah kanan terdapat perapian tua namun masih terpelihara dengan baik sedangkan di hadapannya terdapat lukisan besar yang mungkin lukisan bangsawan abad pertengahan. diruangan tengah terdapat lemari kecil di baian kanan yang berisi sedikit koleksi barang antik seperti keramik-keramik kecil dan logam-logam. dikanan dan kiri dinding terdapat tiga lukisan diantaranya lukisan perepuan muda, perempuan tua, dan lukisan pasangan yang ditemani dua anjing. Ruangan terakhir adalah ruang baca dimana terdapat dua lemari baca berukuran sedang yang berisi buku-buku karangan Snouck dan buku lainnya. terakhir halaman belakang yang di tanami tanaman-tanaman kecil seperti tanaman "anak nakal" dan terdapat dua pohon besar yang juga berfungsi sebagai tempat burung-burung singgah. Kuburan Snouck sendiri letaknya tidak jauh dari rumah tersebut namun saya belum sempat menziarahinya. Wallahua'lam...
Smaragdlaan, 2 Maret 2010 pukul 20-21.15.
Seminar berakhir pada pukul

Ziarah Ke Rumah Dr. S