Senin, 29 Maret 2010

Perjalanan Ke Amsterdam 28 Maret 2010 bersama Oma Kliesters

Hari ahad tanggal 28 Maret kemarin, mas Alfa, dosen Untirta yang mendapat program PhD di Amsterdam University mengundang saya, kang Hilman, mas Agus, bu Yani, bu Alia, bu Asniar, dan bu untuk datang ke rumahnya yang berada di jalan Javaplein dekat Soendastraat, Amsterdam dalam rangka silaturahim dan memperkenalkan anggota keluarganya yang baru tida bulan yang lalu datang. Biasanya dari Leiden saya selalu bareng kang Hilman. Bukan apa-apa, saya cuma ingin nebeng corting card karena ongkos kereta bisa lebih murah, bisa dapat korting 40%.
Bagi orang-orang yang memiliki rutinitas yang padat dengan keharusan menggunakan kereta untuk bekerja atau comuter antar kota di Belanda, di sarankan (pada beberapa orang tertentu sepert mahasiswa Indonesia lebih tepat: diwajibkan) untuk membeli corting card seharga 50 euro karena banyak keuntungan yang bisa di dapat apalagi lagi bisa di pakai selama satu tahun. systemnya begini: untuk pemilik kartu corting card, si pemilik hanya akan membayar tiket seharga 60% dari harga normal tanpa corting. Misalnya untuk 1 kali jalan ke Amsterdam (one way), harga ticketnya adalah 8,1 euro. Nah, kalo pakai korting card, harganya cuma 4.9 euro. Nah, si pemilik bisa membawa 3 orang lain agar sama-sama mendapatkan korting ticket.
Jangan samakan dengan loket-loket karcis di negeri kita lo....di sini semuanya mandiri dan antara warga dan pemerintahnya di bangun rasa saling percaya yang tinggi.
Di stasiun misalnya, untuk membeli ticket tidak harus mengantri di antrian loket tiket seperti di stasiun Taman Sari (Serang) atau stasiun Senen/ Gambir ( Jakarta) apalagi Bus Way. Di sini, petugas stasiun hanya ada di loket bagian informasi, peniup peluit dan petugas keamanan. Tiket di beli lewat mesin seperti ATM yang di setiap stasiun pasti ada empat atau enam buah bahkan di beberapa stasiun besar seperti di Amsterdam dan di Ultrech bisa lebih dari enam buah. Di mesin yang bersistem touch screen itu tersedia petunjuk penggunaan dalam beberapa bahasa yang umum digunakan di dunia. Nah, untuk yang belum bisa bahasa Belanda jangan khawatir karena bahasa mesin bisa di rubah kedalam bahasa Inggris yang tombol untuk merubahnya terletak di sebelah kiri bawah.
Jadi misalnya ketika akan berangkat ke Amsterdam, prosedur keberangkatan adalah; cek jadwal keberangkatan kereta karena di Belanda tidak ada istilah terlambat, yang ada kereta berubah jalur. Kalaupun ada keterlambatan akan segera ada pengumuman yang memberi kabar berapa lama kereta akan terlambat dan biasanya tidak lebih dari 10 menit jika bukan karena badai salju atau peristiwa luarbiasa lainnya. Setelah melihat ke board yang letaknya di depan stasiun dan memastikan pukul berapa kereta akan berangkat, maka kita ke, saya sebut, ATM tiket yang di layarnya terdapat beberapa macam menu. Kemudian kita tekan nama kota yang akan kita tuju ( dilayar tersedia pilihan nama-nama kota dalam bentuk alphabet misalnya A bisa untuk amsterdam, alkmaar, atau kota yang berawalan A lainnya, untuk Den Haag berarti huruf D dst) . Setelah itu, kita pilih tombol yang berurutan ke kanan secara berurut yang masing-masing punya dua pilihan seperti tiketnya untuk 1 atau 2, korting atau tidak, untuk hari ini atau kapan, dan satu arah atau bulak balik. setelah itu kita pilih bank apa yang kita pakai untuk membeli karcis. Kebanyakan mahasiswa asing menggunakan kartu ATM Rabo Bank. kartu ATM kita masukkan kedalam mesin kemudian kita tekan nomor PIN dan tekan ja/yes dua kali. jika kita ingin mendapat kuitansi. Baru kemudian tiketnya keluar.
oh iya, jangan lupa untuk selalu menyediakan Nationale Strippen Kaart jika ingin bepergian keluar kota karena akan sangat berguna. Strippen kard adalah kartu yang digunakan untuk menaiki bus atau trem yang ada di kota-kota di Belanda. Sebetulnya bisa pakai uang cash, tapi dengan strippen card bisa lebih murah. Kartunya berbentuk memanjang dengan tulisan berurut 1-15 strip ada juga yang samapai 30 strip. Nah, untuk jarak yang tidak begitu jauh supir atau petugas di dalam trem hanya akan menyeplok dua strip, tapi untuk perjalanan dari stasiun Amsterdam ke Javaplaein misalnya yang berjarak cukup jauh maka bisa kena 3 strip. Untuk membandingkan dengan uang cash, saya akan ilustrasikan contoh ringan sebagai berikut: Dari stasiun Leiden Centraal ke Smaragdlaan (apartemen saya), ongkos bus cash 1,2 euro yang jaraknya kira-kira 1 KM. Dengan menggunakan strippen kaart supir akan menyeplok 2 strip. Berarti kita bisa gunakan stripen kard yang berisi 15 strip dengan harga 7.6 euro sebanyak 7 kali kesempatan. Jika dibandingkan dengan uang cash yang kita keluarkan untuk perjalanan bulak-balik Leiden Centraal-Smaragdlaan sebanyak 7 kali maka uang cash yang dikeluarkan berjumlah 1.2 x 7 = 8.4 euro. Dengan Strippen Kaart, kita bisa hemat 1.2 euro.
Ke Amsterdam
Saya berangkat jam 11 dari Smaragdlaan karena ingin mengejar kereta ke Amsterdam yang berangkat jam 11.15. Tapi karena sepeda saya tidak bisa ngebut, akhirnya saya sampai di stasiun sudah sangat mepet, jam 11.13. Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengejar kereta itu karena harus antri beli strippen kaard dan tiket kereta selama beberapa menit. Mau tidak mau saya harus menunggu jadwal kereta berikutnya yang menurut jadwal akan berangkat jam 11.30. Setelah menunggu beberapa menit di peron no. 5, kereta intercity tujuan Amsterdam datang juga. Kereta ini hanya akan berhenti di stasiun Schippol kemudian akan melanjutkan perjalanan ke stasiun terakhir di Amsterdam Centraal.
Saya memilih duduk di gerbong paling depan, kursi di kelas 2. Bukan hanya karena lebih leluasa untuk ngobrol, tapi juga karena agaknya kelas 1 tidak jauh berbeda kualitasnya kenyamananya dengan kelas 2. Di kelas 1 biasanya lebih tegang karena penumpangnya lebih suka diam. Satu lagi yang penting, juga karena harga tiketnya lebih murah. Di awal-awal bulan ketika naik kereta, saya kagum dengan kereta yang bersih, tidak ada rokok, pengamen, dan pedagang asongan di dalam kereta. namun, ternyata ada juga pengamen dan pedagang asongan yang masuk ke dalam gerbong kereta. Tentu yang berbeda jauh adalah potongan (life style, fasion, dan tampang) pedagang asongan dan pengamen itu. menurut teman saya, pengamen dan pedagang asongan di sini mirip artis sinetron Indonesia, ganteng-ganteng (seperti saya he he he, saya kan pemuda paling tampang di kampung seperti kata Tora Sudiro di film Preman in Love).
Di dalam perjalanan, saya duduk berhadapan dengan Klisters, 77 thn. awalnya Klisters mengira saya warga Belanda juga karena dia membuka percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda yang saya sama sekali tidak paham. Sorry I don't speak Dutch...baru beliau sadar dan menggunakan bahasa Inggris yang sangat fasih.
Obrolan kemudian bertambah seru karena beliau ternyata mantan warga negara Indonesia yang sudah beralih menjadi warga negara belanda sejak 52 tahun yang lalu karena suaminya yang merupakan aparat militer Belanda pada pertengahan tahun 50an, harus hengkang dari bumi pertiwi menuju Belanda. Klisters yang merupakan warga Indonesia turunan China beserta ribuan wanita Indonesia lain tidak punya pilihan selain harus ikut suami ke Belanda. Menurutnya, dia dilahirkan tahun 1933 dan dibesarkan di lingkungan menengah atas keluarga China di daerah Kramat, Jakarta. Dia sempat mengenyam pendidikan dasar dan menengah (MULO-AMS). sehingga tidak heran jika Bahasa Inggris, Belanda dan juga bahasa Indonesianya sangat baik.
Oma Klisters sudah 20 tahun ditinggal mati suaminya, dia hidup sendiri di apartemen dekat pelabuhan di kota Rotterdam. Hari ahad itu, dia berniat mengunjungi cicitnya (3 tahun) anak dari cucunya yang nomor 3 di Amsterdam. Di hari tuanya, Klisters menghabiskan waktu sendiri dirumahnya, untuk mengisi kekosongan di setiap akhir pekan, Kliesters mengundang teman-teman untuk makan dirumahnya. Biasanya kliesters akan memasak makanan Indonesia seperti rendang, sambal pete, dan tempe oreg. (wah jadi laper nih bu). untuk sajian makan. Menurut Kliesters, orang Belanda seangkatannya suka sekali makanan-makanan Indonesia apalagi di tambah pete yang bisa di dapat di toko China di Rotterdam. Perjalanan 40 menit menuju Amsterdam Centraal jadi tidak terasa kerena mendengarkan cerita masa lalu Oma Kliesters.
Kliesters kemudian tertawa terbahak-bahak ketika saya jawab pertanyaan beliau tentang status saya sebagai kepala keluarga dengan 3 anak. Dia rupanya heran karena menurutnya wajah saya masih amat muda tapi sudah punya anak 3 bahkan dia berusaha meyakinkan orang-orang yang duduk di sekitarnya bahwa saya kelihatan masih muda. Di Belanda menurutnya, ada aturan hukum yang jika saya tidak salah dengar hanya membolehkan seorang menikah pada usia matang menurut pemerintah Belanda. Jika kedapatan ada yang menikah di bawah usia tersebut akan di masukkan ke dalam penjara...wah ngeri re' padahal kalo di Indonesia nikah muda sudah biasa.
Menjelang stasiun Schipol, tidak seperti biasanya, petugas memeriksa tiket penumpang. selama naik kereta di Belanda, saya baru kali pertama mengalami pemeriksaan tiket dan ini yang kedua. Karena masyarakat dan pemerintah sudah saling percaya, pemeriksaan tiket tidak di lakukan setiap kereta bahkan mungkin tidak setiap hari. Sehingga jika warga yang kurang memiliki tanggungjawab sosial sebetulnya punya kesempatan untuk tidak usah membeli tiket karena belum tentu kena pemeriksaan. Tapi warga negara Belanda, menurut Kliesters, semua taat hukum sehingga pemerintah hanya memeriksa secara acak saja tidak disetiap gerbong di datangi petugas.
Namun, ancaman bagi yang tidak membeli tiket sangat berat. bisa di bawa ke kantor polisi dan tidak bisa di selesaikan "secara adat" seperti kasus-kasus hukum di negeri kita. Untuk yang tidak membeli tiket kemudian ketahuan ketika di periksa petugas, dendanya bisa 10 kali lipat harga tiket. Jadi pilih mana hayo? Untungnya sebelum naik kereta tadi saya beli tiket, kalo engga wah bisa roncod (habis) isi dompet. Saya kemudian berfikir dan berandai-andai jika seandainya kebijakan seperti ini diterapkan di Indonesia, wah bisa jadi bonek akan lebih berbondong-bondong, membludak naik karena tiket tidak diperiksa setiap saat. Stasiun-stasiun kereta akan di guyur ribuan bonek tiap hari mungkin. Saya dan Oma Klisters kemudian berpisah di Amsterdam Centraal yang penuh sesak dengan berbagai jenis suku, bahasa, dan ras yang sibuk hilir mudik dengan tujuannya masing-masing.
Di depan pintu keluar stasiun Amsterdam Centraal, saya harus menunggu kang Hilman beberapa menit karena kang Hilman baru naik dari stasiun Schipol beberapa menit dan harus mengantar temannya yang pulang ke Indonesia pagi itu. Kami kemudian berjalan keluar stasiun menuju dam dengan melewati kanal yang ramai dengan perahu-perahu sewaan yang akan mengantar para turis mengelilingi Amsterdam melalui kanal-kanalnya. Karena perut mulai keroncongan, saya ajak kang Hilman membeli Patat(kentang goreng) di toko Mannekenpis yang cukup terkenal di Amsterdam karena konsumennya selalu antri setiap jam. Harga patatnya 3 euro (jangan di konversi ke Rupiah ya karena pasti mahal). Saya memilih patat dengan mayonese. lumayan banyak goreng kantangnya dan bisa bikin kenyang. Ditemani burung-burung dara di depan Istana Ratu Belanda, saya habiskan satu persatu potongan kentang goreng (patat) itu tanpa ampun, tidak tersisa sedikitpun, bersih!
Di lapangan itu juga banyak sekali turis yang mengambil foto. saya tidak tahu persis mereka dari mana karena rambutnya sama-sama blonde dan bule. Di kota ini, banyak sekali museum-museum mulai dari museum sex sampai museum gereja, kapal laut dan museum lainnya. Karena waktu silaturahim semakin dekat saya tidak sempat mengunjungi museum itu satu persatu. trem No. 14 menuju Javaplein akhirnya datang dan pertemuan itu dilaksanakan dengan beberapa agenda dan diakhiri dengan bagi-bagi kue dan kurma.
Jam 19.30 saya sampai kembali di Leiden Centraal dengan matahari yang masih bersinar terang karena siang hari lebih panjang dari malamnya yang mengharuskan kami semua yang ada di daerah 4 musim untuk memutar jam kami satu jam lebih cepat untuk menyesuaikan dengan kondisi di musim ini. Wallahu'alam.
Smaragdlaan, 29 March 2010 jam 22.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar