Senin, 15 Maret 2010

Boekenweek: Jalan-jalan Keliling Belanda dengan Ongkos Buku

Beberapa hari yang lalu sebelum Prof. Busken menutup kelas, beliau berpesan agar kami bisa membeli buku apa saja agar hari minggu tanggal 14 Maret nanti bisa naik kereta gratis kemanapun di Belanda. Hari sabtunya, tanggal 13 maret 2010, saya dan teman-teman merespon nasehat pa profesor. Di Sabtu pagi yang cerah itu saya keluar dari kamar saya di Smaragdlaan jam 9 dengan beberapa tujuan yaitu menukarkan uang 100 dolar terakhir saya untuk biaya hidup sampai akhir Maret, kemudian mencari buku untuk acara besok, dan mengerjakan tugas kuliah di KITLV.
Kira-kira 15 menit kemudian saya sampai di pelataran parkir stasiun Leiden Centraal. Seperti stasiun-stasiun kereta api lainnya di Belanda, di dalam Stasiun Leiden Centraal ada beberapa toko dan kios yang disediakan oleh pengelola yang letaknya ada di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Mulai dari toko makanan siap saji, bunga, coffee shop, sampai cendra mata ada di sini. Bahkan hampir disetiap stasiun terdapat money changer, maklum Belanda terkenal sebagai negara yang sangat pluralis dan merupakan salah satu negara tujuan turis asing yang singgah di Eropa. Setelah menukarkan uang, saya kemudian menuju toko buku Leiden Centraal untuk hunting buku yang dimaksud Prof. Busken.
Awalnya saya pikir saya bisa membeli buku apa saja untuk acara besok namun ternyata setelah bertanya kepada shop keeper, saya harus belanja minimal 10 euro buku apa saja asal berbahasa Belanda untuk mendapatkan hadiah buku yang berisi tiket zondag 14 maart gratis treinen met uw Boekenweekgeschenk (kira-kira terjemahan bebasnya: gratis tiket kereta pada hari buku tanggal 14 Maret). Setelah naik ke lantai atas dan ke bawah lagi, Saya putuskan untuk tidak membeli buku di toko itu karena saya pikir toko buku lain bisa menyediakan pilihan buku berbahasa Inggris agar bisa dibaca.
Saya kemudian memacu sepeda melewati jalanan yang lengang melewati puluhan toko yang belum mulai beraktivitas menuju toko buku Altis, kira-kira 100 meteran dari alun-alun Leiden. Saya berharap mendapatkan buku pelajaran atau minimal buku berbahasa Inggris di toko ini. Tapi ternyata, setelah beberapa ratus meter mengayuh sepeda dengan ratusan kalori yang tumpah, buku yang saya cari tidak didapatkan. Bahkan, sang empunya toko tidak menyediakan buku untuk Boekenweek....cape deh..
Namun saya tidak putus asa, saya kemudian menyusuri jalan Brehstraat karena disana ada beberapa toko buku besar. Nah, di toko buku didekat gang menuju Lipsius saya temukan buku untuk Boekenweek besok. Walaupun harganya lebih mahal dari toko buku di Leiden Cetraal. namun tetap saya beli. Disini, saya harus membeli buku minimal 12,5 euro untuk mendapatkan buku novel berjudul "Duel" yang berisi tiket itu. Karena energi sudah terkuras di tambah masih harus memikirkan kunci kamar yang kemungkinan hilang, saya putuskan langsung beli buku berbahasa Belanda seharga 12,5 euro plus titipan tiga orang teman. Jadi saya habiskan dana 50 euro pagi itu.
Setelah membeli buku itu, saya mengayuh kembali pedal sepeda model olympic biru saya menuju KITLV yang jaraknya hanya dipisahkan oleh beberapa blok bangunan tua. Saya memang berniat untuk menyelesaikan tugas pa Nico di sana. Namun saya menemukan pagar KITLV, pusat perpustakaan untuk wilayah Asia Tenggara dan Karibia itu terkunci, hari sabtu itu KITLV tutup. Akhirnya saya merubah tempat untuk mengerjakan tugas ke Bibliotek (perpus pusat).
Selama beberapa jam di Bibliotek, saya fokus untuk menyelesaikan tugas pa Nico, salah seorang ahli Indonesia di Leiden University yang juga merupakan kordinator program Indonesian Young Leaders. Di kelas pa Nico ini biasanya teman-teman, termasuk saya, agak sedikit tegang karena beliau memiliki wewenang untuk memulangkan "orang" dengan langsung memberikan tiket mudik kepada yang bersangkutan jika memiliki masalah akademik yang tidak bisa di tolelir. Waktu menunjukan pukul 16.30 ketika saya memutuskan untuk kembali ke Smaragdlaan. saya lupa jika hari itu Rana, mahasiswi asal Syiria akan bersilaturaim ke tempat kami di Smaragdlaan. Akhirnya di temani gerimis tipis yang mengguyur kota Leiden dan awan cumulus yang gelap dengan agak tergesa saya memacu sepeda pulang ke Smaragdlaan.
Kamar Turjiman ternyata sudah berkumpul teman-teman termasuk Rana Abdoel dan Livia, asal Spanyol mahasiswi PhD yang juga teman sekelas kami. Rana memasak makanan khas Syiria yaitu potongan sayuran yang terdiri dari mentimun, kol, sawi, dan jeruk nipis di tambah garam ditambah roti kering khas Syria. sementara Livia membawa masakan khas Spanyol yang mirip telur dadar di Indonesia hanya bedanya ada isinya berupa potongan-potongan kentang goreng yang di potong tipis dan tidak beraturan. Setelah makan, kami membicarakan teknis keberangkatan untuk besok dalam rangka mengelilingi Belanda dalam satu hari...(apa mungkin?). Minggu subuh kami berlima (saya, cucu, zainal, ariza dan syahrill) plus bintang tamu yaitu Livia dan Elyas, seorang mahasiswa asal Peru teman Livia, sepakat untuk bertemu di Leiden Centraal jam 7 pagi karena kereta pertama menuju Den Haag Centraal akan berangkat pukul 07.20 pagi.
Perjalanan ke Maastrict
Masstrict merupakan kota di paling ujung selatan negara Belanda berbatasan dengan Belgia yang menurut data dari internet satu malam sebelum kami berangkat, memiliki pemandangan yang indah dan eksotis. Butuh waktu kurang lebih 4 jam untuk dapat mencapai kota itu. Sedangkan, untuk sampai ke sana dari Leiden Centraal, jalur yang harus kami tempuh adalah kami harus ke Den Haag Centraal, dari sana kami naik kereta jurusan Utrect yang merupakan stasiun terbesar di Belanda karena dari Ultrect seluruh kota di Belanda bisa di jangkau. Dari Ultrect kami naik kereta inter city yang mengantarkan kami langsung menuju Maastrict.
Kurang lebih dua jam kemudian, kami sampai di sana dengan sambutan hawa dingin yang cukup menggigilkan tubuh. Setelah beberapa minggu di Belanda, saya menyimpulkan bahwa stasiun sebagai tulang punggung transportasi publik di Belanda memang di desain untuk berada di tengah-tengah kota. Sehingga, ketika keluar stasiun kami selalu langsung masuk ke jantung kota. Kami menyempatkan untuk berpose dengan beberapa gaya standar di depan stasiun Maastrict sebelum menyebrang jalan menuju kanal besar yang membelah kota Maastrict yang letaknya 500an meter dari stasiun Maastrict. Di kanal besar itu, banyak turis asing yang juga sedang berfoto ria saya melihat beberapa orang bermata sipit, mungkin asal Asia Timur yang sedang berlibur. Sebetulnya di kanal besar itu, ada kapal-kapal laut yang bisa di sewa untuk berkeliling Maastrict lewat jalur air namun karena agak mahal kami memutuskan untuk berkeliling Maastrict dengan on foot alias berjalan kaki.
Ciri lain dari setiap kota di Belanda adalah adanya Town Hall atau alun-alun dengan tanah lapang yang cukup luas dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan khas abad 16/17 ditambah dengan gereja dengan puncak yangi menjulang menancap langit-langit kota. Di salah satu lapangan setelah kami melewati beberapa blok toko-toko fashion, kami jumpai penjual makanan khas Belanda yang di Indonesia mirip "Gulang-galing" makanan dari tepung yang diberi ragi kemudian di goreng. Bedanya, di Maastrict gulang-galing itu memiliki isi. ada isi pasta pisang, keju, coklat, apel, strawberi, dan bahkan berisi wine (yang ini saya tidak suka). Kemudian di tambah dengan gula halus seperti gula mamang donat keliling yang setiap pagi lewat Ciceri Jaya, Serang. harganya relatif murah mulai dari 70 sen sampai dengan 1.4 euro per pcsnya. Di lapangan itu, kami juga sempatkan untuk menengok gereja tua yang masih ramai di kunjungi jamaat misa, mungkin untuk membaptis anak-anak mereka (seumur hidup ni pengalaman pertama saya masuk gereja).
Setelah puas berkeliling, kami mencari makan di kafe-kafe di pinggiran Town Hall. Elyasmengajak kami ke cafe yang agak artistik karena di dalamnya kami seperti berada di bangunan tua yang hampir runtuh namun tetap cantik. saya memilih minum kopi ekpresso seharga 2 euro selain untuk penghematan, juga karena seudah kenyang makan beberapa potong gulang galing gratisan dari Livia (he he). Kami kembali ke stasiun jam 15.00 untuk menuju Einhoven.
Di Kota PSV Einhoven
PSV einhoven merupakan salah satu klub kesohor di Belanda selain Ajak Amsterdam, Feyenoord, dan Alkmaar. kami berkesempatan mengunjungi stadion Phillips yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari stasiun Einhoven. Sayangnya, pintu stadion terkunci karena tidak ada pertandingan sehingga kami hanya bisa memandangi indahnya stadion dari balik teralis besi yang rapat menghalangi pintu masuk. Setelah berfose di depan stadion, kami kembali menuju stasiun untuk kembali ke Ultrect centraal. Oh iya, di depan jalan keluar dari stasiun Einhoven, ada restoran Indoensia yang cukup besar bernama restoran Garuda. saya sebetulnya ingin sekali makan di sana karena perut sudah mulai keroncongan tapi karena teman-teman sudah makan roti dengan potongan daging ayam yang tidak enak di cafe Maastrict maka kami urung untuk makan di sana.
Stasiun Ultrect
Sampai di Stasiun Ultrect hari sudah mulai gelap dan perut sudah tidak bisa di ajak kompromi. Elyas dan Livia dan teman-teman juga sudah mulai lapar. kami kemudian menyusuri deretan toko dan rumah makan di Ultrect Centraal dan akhirnya mendapati restoran China dengan menu "halal" wah mantap....ini dia yang dicari-cari: nasi! bukan orang Indonesia kalo makannya ga pake nasi!!! satu porsi nasi dengan sayur dan ayam khas Chinese food seharga 6,5 euro diambah dengan teh seharga 1,5 euro plus 50 sen untuk ke kamr mandi. Jadi saya habiskan 8 euro untuk makan malam. kalo di convert ke rupiah emang lumayan untuk satu kali makan, makanya di sini jangan pernah mengingat Rupiah karena bisa pusing.
Dari stasiun Ultrect kami mencari kereta yang akan menuju Gauda, kota di Belanda yang di kenal sebagai pembuat keju. tak lama kemudian kereta menuju Gauda datang dan 20 menit kemudian kami sampai di kota yang sudah mulai dingin dan sepi. Di pusat kota, toko-toko sudah mulai tutup. kami hanya berjalan-jalan dan berfoto di Town Hall Gauda karena jalanan sudah sangat sepi. Sebetulnya di belakang Town hall ada Musium yang ramai di kunjungi oleh beberapa orang, namun ternyata mereka sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. kami harus puas dengan hanya melihat-lihat musium tua itu dari luar. Di jalan menuju Stasiun Gauda, kami jumpai toko-toko keju yang tutup tapi kaca beningnya memudahkan kami untuk melihat ratusan bentuk keju, mulai dari yang bentuknya paling kecil sampai yang besarnya seperti ban mobil truk di jual di toko itu. saya penasaran ingin mencoba rasa kejunya tapi karena sudah tutup ya akhirnya hanya menelan ludah saja. Dalam hati saya berjanji akan membelikan keju untuk istri dan keluarga di Serang setelah program ini selesai. Dari stasiun Gauda kami melangkah pulang dengan melewati stasiun Den Haag Central dan berganti kereta menuju Leiden Centraal.
Perjalanan yang cukup melelahkan namun sangat mengasyikkan karena dengan biaya minimal kami bisa mengunjungi beberapa kota di Belanda sekaligus dengan program Boekenweek yang mungkin harus di coba oleh pemerintah Indonesia karena program ini paling tidak akan memiliki multiple efek yaitu meningkatkan minat baca masyarakat, meningkatkan jumlah buku yang terjual, menilai karya anak-anak bangsa dan sekaligus memutar roda perekonomian rakyat. sehingga saya akhirnya ingin menyarankan kepada pemerintah Belanda agar program ini tidak hanya satu tahun sekali namun mudah-mudahan bisa di tingkatkan menjadi dua kali dalam satu tahun agar mahasiswa internasional bisa lebih mengenal Belanda sebagai salah satu bagian dari bumi Allah yang maha luas.
Smaragdlaan, 15 Maret 2010 menjelang tidur 21.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar