Beberapa minggu yang lalu, Oksal, mantan ketua PPI ( Persatuan Pelajar Indonesia) Leiden, mengabarkan lewat mailing list 10 nama mahasiswa Leiden asal Indonesia yang berhak untuk mendapatkan tiket masuk ke Pasar Malam Indonesia gratis yang jika tidak masuk list maka harus beli tiket seharga 5 euro. Sayangnya nama saya tidak ada dalam list dan berarti jika saya ingin ke sana maka saya harus bayar tiket seharga itu. Hari sabtu siang itu, lewat facebook, saya janjian dengan teman-teman PPI Leiden yang lain untuk bertemu di depan Leiden Centraal pukul 15.00. Rencanannya, kami akan malam mingguan bersama ke Pasar Malam Indonesia di Den Haag.
Cuaca awalnya memang agak mendung dan bahkan jam satu siang hujan sempat mengguyur kota Leiden namun satu jam kemudian hujan berhenti dan hanya menyisakan sisa guyuran hujan di jalanan yang basah dan burung-burung hitam dan bebek kepala hijau yang tampak kedinginan di pinggiran kanal dekat Smaragdlaan. Jam 15 kurang seperempat, saya sudah di Leiden Centraal karena khawatir ketinggalan rombongan. Teman-teman yang ada di sini tampaknya sudah sangat menyesuaikan diri dengan budaya tepat waktu ala barat yang benar-benar ketat. Sehingga akan sangat malu jika sampai terlambat datang. Pernah di minggu-minggu awal kuliah saya sebetulnya datang tepat waktu bahkan 5 menit sebelum dosen datang, saya sudah di dalam kelas. Satu jam pertama saya lewati dengan baik karena saya ikut aktif berdiskusi.
Dosen itu kemudian menawarkan untuk break 10 menit. Nah, waktu itu saya gunakan untuk mengkopi beberapa lembar buku di sebelah kelas dan sayangnya saya telat selama 2 menit tapi akibatnya saya langsung di tegur oleh dosen itu. Wah, malu campur bersalah deh. Makanya belajar dari pengalaman itu, jangan sampai telat jika janjian sama orang luar kecuali kita mau di permalukan luar dalam. he he...
Tapi berbicara masalah telat-menelati sebetulnya ada yang jauh lebih parah dari pengalaman saya. Waktu di tanah air saya pernah baca koran yang isinya berita tentang telatnya salah satu mentri kabinet SBY yang punya janji dengan mentri perindustrian Jepang dalam beberapa jam ( lebih parah kan?) yang akibatnya mentri Jepang itu memutuskan untuk pergi ke departemen yang lain. Menurut saya ini kesalahan fatal yang dampaknya bukan hanya kepada mentri dan departemen itu tapi juga kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan misalnya mentri Jepang itu membawa kontrak kerjasama investasi di Indonesia untuk membuat pabrik kimia atau industri manufaktur padat karya, maka jika sampai gagal MoUnya maka berapa ribu rakyat kita yang kehilangan kesempatan untuk bekerja disana. Sekali lagi jangan main-main dengan waktu lah karena bukankah waktu adalah modal terbesar kita, manusia yang terlahir ke alam ini?
Sambil menunggu di depan stasiun, saya ketiban rizki karena saat itu ada promosi "snack" (makanan ringan) bermerek "Lays". Rupanya Lays adalah pabrik chiki baru yang sedang mempromosikan produknya, snack rasa pizza pepperoni, Italia. Saya, alhamdulillah, dapat dua bungkus. Rasanya lumayan enak seperti rasa pizza pada umumnya hanya menurut saya saja agak asin. Menurut seorang teman, biasanya pabrik-pabrik makanan baru mempromosikan produk makanan/snack di Leiden Centraal dengan membagi-bagikannya secara gratis. Bahkan teman saya bisa dapat lebih dari 5 bungkus jika melalui pintu keluar-masuk yang berbeda. promotion girlnya pun cuek aja, ga akan mengingat wajah kita karena yang penting bagi dia kan snack dalam satu mobil box itu habis. Kalo tiap hari ada budget untuk beli snackbisa di pangkas beberapa euro nih...handal!
Tak lama kemudian, mobile saya berdering. kang Hilman mengontek saya katanya mereka dalam perjalanan dari "Selera Anda", restoran Indonesia yang harganya sesuai dengan kantong mahasiswa Indonesia, menuju Centraal. Waktu itu yang ikut Saya, Kang Hilman, Kun, Syahril (ketua PPI Leiden yang baru), Riri, Ima, Prima, dan mba Nining. Tepat pukul 15.15, kereta meuju Den Haag Centraal melaju meninggalkan Leiden. Kira-kira 20 menit kemudian, kami sampai di Leiden Centraal dengan dingin yang cukup menyengat tubuh. Ini sebetulnya agak aneh karena seminggu sebelumnya cuaca di musim semi ini sudah sangat bagus bahkan bisa sampai 15 derajat. Tapi beberapa hari terakhir cuaca dingin lagi walau tidak sedingin waktu winter.
Kami keluar dari pintu samping sebelah kanan Den Haag Centraal karena tempat di selenggarakannya Pasar Malam Indonesia letaknya tidak jauh dari pintu stasiun itu. Beberapa ratus meter di depan pintu masuk stasiun, nampak tenda putih besar yang menjadi tempat perhelatan acara itu berdiri kokoh, menggoda orang-orang yang melewati pagar lapangan untuk masuk ke dalam arena. Wajah-wajah Indonesia, baik yang asli Indonesia maupun yang telah menikah dengan orang Belanda nampak hilir mudik di depan pagar lapangan. Sepertinya dari wajah-wajah mereka tampak puas dan senang. Saya dan teman-teman ikut dalam antrian di pintu masuk sebelum seorang yang berbadan tegap meminta kami untuk langsung masuk dan meminta hanya salah satu dari kami yang mengantri karena sore itu rintik-rintik hujan kembali turun.
Ternyata, harga tiket tidak sama. Untuk senioren (orang tua) harga tiketnya 5 euro, untuk Studenten (pelajar/mahasiswa) 4 euro, dan untuk kinderen seharga 3 euro. Tentu saja saya masuk dengan tiket studenten. Sayangnya, di pintu pengecekan ternyata untuk mahasiswa Indonesia tidak ada pengecekan tiket. Waktu itu kalau tidak salah hanya di tanya oleh petugas di pintu masuk: "mahasiswa indonesia ya?" tanpa memerikasa ID bisa langsung masuk. wah tahu gini saya tidak beli tiket karena kan bisa untuk jajan di dalam arena.
Tenda Pasar Malam Indonesia ini terbagi dalam empat tenda besar. Bagian pertama di depan, diisi oleh stand-stand dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Sumatra Selatan, jawa Timur, Jawa Barat, Minahasa, dan provinsi-provinsi di Kalimantan. Saya sempat memutar dua kali ruangan ini karena penasaran ingin bertemu dengan stand Banten. Tapi setelah berputar-putar dan sempat bertanya kepada seorang panitia akhirnya saya benar-benar yakin jika stand provinsi Banten tidak ikut. Ada beberapa kemungkinan menurut saya. Pertama bisa jadi karena ini merupakan Pasar Malam Indonesia yang pertama di gelar (karena ada pasar malam Tong-tong yang jauh lebih besar dan jauh lebih dahulu di selenggarakan) sehingga tidak semua provinsi bisa ikut serta. Kedua, bisa juga informasi sampai tapi tidak di tindaklanjuti oleh dinas pariwisata setempat.
Sayang, karena Banten punya sumberdaya pariwisata yang luar biasa yang bisa di jual ke masyarakat Belanda. Potensi pantai di selatan dan barat misalnya, saya pikir tidak kalah dengan pantai Sanur di Bali atau Lombok. Belum lagi dengan potensi lain semisal aspek kesejarahan Banten yang punya hubungan lama dengan Belanda dan warganya. Ketika transit di bandara Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbicara kepada seorang tua Belanda dan saya kaget karena menurutnya banyak sekali warga belanda yang lebih memilih Malaysia sebagai tempat berlibur dari pada Indonesia terutama karena aspek infrastruktur dari pada aspek keamanan. Padahalkan alam Malaysia ya relative sama dengan kita dan harusnya secara emosional warga Belanda lebih memilih Indonesia karena faktor hubungan kesejarahan yang cukup panjang.
Bagian kedua dari tenda besar ini adalah ruang live music dan tari-tarian. didalam ruangan ini terdapat panggung besar dengan saund system yang biasa digunakan untuk konser-konser musik. Di ruangan ini, artis Indonesia seperti Andre Hehanusa dan lainnya menghibur pengunjung dengan lagu-lagu nostalgia tahun 60, 70, dan 80an. Lagu-lagu daerah juga di tampilkan seperti beberapa lagu dari Ambon dan Papua yang saya tidak hapal judulnya. di ruangan ini pengunjung bisa bernyanyi, berjoged, dan berdansa bersama. Karena saya cuma bisa joged dangdut dan itupun belum terlalu lentur, maka saya tidak ikutan "turun".
Bagian ke tiga yang merupakan ruangan yang paling besar adalah ruangan tempat wisata kuliner. Di ruangan ini, secara melingkar, berjenis-jenis makanan dan minuman asal Indonesia di jual dengan harga paling murah 2 eoro dan paling mahal 9 euro. Makanan yang saya temukan antara lain: nasi uduk dengan ayam goreng, nasi rames, nasi padang lengkap dengan kepala ikan, kikil dan sambel padangnya, soto madura, soto jakarta, sate kambing, sate ayam, nasi Minahasa dll. Ada juga panganan sepert pisang goreng, bakwan, misro, combro, siomay, bakso, mpe-mpe, es kelapa muda, cincau, cendol, dan lainnya. Any way, sayang karena saya tidak menemukan cecuer, rabeg, sate bebek, sate bandeng, apalagi gerem asem di arena festival ini. Akhirnya saya hanya minum es Shanghai, tidak tahu dari mana asal minuman ini yang jelas saya haus...he he
Ruangan ke empat adalah dinning room. Disini tersedia beberapa meja-meja tinggi tanpa kursi jadi jika kita makan harus berdiri. Di depannya terpampang layar besar yang memutar film Indonesia selama Pasar malam ini berlangsung. Saat saya di sana, film yang di putar adalah film Laskar Pelangi I yang sangat fenomenal itu. Film ini sangat cocok dengan kondisi kami, mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Eropa karena di film itu ada beberapa statement dan nilai yang sangat baik untuk di tindaklanjuti seperti semangat mencari ilmu, kebijaksanaan dll belum lagi nama Eropa beberapa kali di sebut oleh tokoh-tokohnya.
Sabtu malam itu memang luar biasa ramainya. Pengunjung tidak hanya datang dari kota-kota di Belanda tapi juga dari Jerman dan Belgia. Di Pasar Malam Indonesia itu kami juga sempat berbincang dengan tiga perempuan pencari rokok Sampurna mild yang berasal dari satu daerah yaitu Batak. Setiap ada yang merokok mild yang mereka temui, mereka akan memintanya termasuk kepada teman saya Kang Hilman dan Kun. Mereka berasal dari tiga kota berbeda di Eropa dan mereka bertiga punya suami yang berasal dari Berlin, Hamburg dan Rotterdam. Jadi, intinya selain mengingatkan warga Belanda dengan serba serbi Indonesia, pasar itu juga sebetulnya mempertemukan anak-anak bangsa yang bercerai berai di negeri orang.
Waktu menunjukan pukul 20.10 ketika kami putuskan untuk keluar dari arena itu. Karena hari masih seperti sore (karena musim semi dan panas membuat siang lebih panjang) kami sempatkan untuk ke restoran China di Den Haag yang menjual juga makanan cita rasa Indonesia dengan harga terjangkau. Sebelum masuk restoran, saya penasaran ingin ke toko China yang katanya lebih besar dan lengkap bahan makanan Indonesianya dari toko China yang ada di Leiden. Sehingga kesempatan itu saya gunakan untuk membeli beberapa bahan makanan.
Di restoran china itu kami habiskan 37 euro dan karena berdelapan maka masing-masing hanya mengeluarkan dana 4, 6 euro saja untuk makan cah kangkung, cah sawi dan tahu, ayam goreng dan nasinya. wah alhamdulillah pulang ke Leiden dengan perut kenyang...
Leiden, 5 April 2010
Cuaca awalnya memang agak mendung dan bahkan jam satu siang hujan sempat mengguyur kota Leiden namun satu jam kemudian hujan berhenti dan hanya menyisakan sisa guyuran hujan di jalanan yang basah dan burung-burung hitam dan bebek kepala hijau yang tampak kedinginan di pinggiran kanal dekat Smaragdlaan. Jam 15 kurang seperempat, saya sudah di Leiden Centraal karena khawatir ketinggalan rombongan. Teman-teman yang ada di sini tampaknya sudah sangat menyesuaikan diri dengan budaya tepat waktu ala barat yang benar-benar ketat. Sehingga akan sangat malu jika sampai terlambat datang. Pernah di minggu-minggu awal kuliah saya sebetulnya datang tepat waktu bahkan 5 menit sebelum dosen datang, saya sudah di dalam kelas. Satu jam pertama saya lewati dengan baik karena saya ikut aktif berdiskusi.
Dosen itu kemudian menawarkan untuk break 10 menit. Nah, waktu itu saya gunakan untuk mengkopi beberapa lembar buku di sebelah kelas dan sayangnya saya telat selama 2 menit tapi akibatnya saya langsung di tegur oleh dosen itu. Wah, malu campur bersalah deh. Makanya belajar dari pengalaman itu, jangan sampai telat jika janjian sama orang luar kecuali kita mau di permalukan luar dalam. he he...
Tapi berbicara masalah telat-menelati sebetulnya ada yang jauh lebih parah dari pengalaman saya. Waktu di tanah air saya pernah baca koran yang isinya berita tentang telatnya salah satu mentri kabinet SBY yang punya janji dengan mentri perindustrian Jepang dalam beberapa jam ( lebih parah kan?) yang akibatnya mentri Jepang itu memutuskan untuk pergi ke departemen yang lain. Menurut saya ini kesalahan fatal yang dampaknya bukan hanya kepada mentri dan departemen itu tapi juga kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan misalnya mentri Jepang itu membawa kontrak kerjasama investasi di Indonesia untuk membuat pabrik kimia atau industri manufaktur padat karya, maka jika sampai gagal MoUnya maka berapa ribu rakyat kita yang kehilangan kesempatan untuk bekerja disana. Sekali lagi jangan main-main dengan waktu lah karena bukankah waktu adalah modal terbesar kita, manusia yang terlahir ke alam ini?
Sambil menunggu di depan stasiun, saya ketiban rizki karena saat itu ada promosi "snack" (makanan ringan) bermerek "Lays". Rupanya Lays adalah pabrik chiki baru yang sedang mempromosikan produknya, snack rasa pizza pepperoni, Italia. Saya, alhamdulillah, dapat dua bungkus. Rasanya lumayan enak seperti rasa pizza pada umumnya hanya menurut saya saja agak asin. Menurut seorang teman, biasanya pabrik-pabrik makanan baru mempromosikan produk makanan/snack di Leiden Centraal dengan membagi-bagikannya secara gratis. Bahkan teman saya bisa dapat lebih dari 5 bungkus jika melalui pintu keluar-masuk yang berbeda. promotion girlnya pun cuek aja, ga akan mengingat wajah kita karena yang penting bagi dia kan snack dalam satu mobil box itu habis. Kalo tiap hari ada budget untuk beli snackbisa di pangkas beberapa euro nih...handal!
Tak lama kemudian, mobile saya berdering. kang Hilman mengontek saya katanya mereka dalam perjalanan dari "Selera Anda", restoran Indonesia yang harganya sesuai dengan kantong mahasiswa Indonesia, menuju Centraal. Waktu itu yang ikut Saya, Kang Hilman, Kun, Syahril (ketua PPI Leiden yang baru), Riri, Ima, Prima, dan mba Nining. Tepat pukul 15.15, kereta meuju Den Haag Centraal melaju meninggalkan Leiden. Kira-kira 20 menit kemudian, kami sampai di Leiden Centraal dengan dingin yang cukup menyengat tubuh. Ini sebetulnya agak aneh karena seminggu sebelumnya cuaca di musim semi ini sudah sangat bagus bahkan bisa sampai 15 derajat. Tapi beberapa hari terakhir cuaca dingin lagi walau tidak sedingin waktu winter.
Kami keluar dari pintu samping sebelah kanan Den Haag Centraal karena tempat di selenggarakannya Pasar Malam Indonesia letaknya tidak jauh dari pintu stasiun itu. Beberapa ratus meter di depan pintu masuk stasiun, nampak tenda putih besar yang menjadi tempat perhelatan acara itu berdiri kokoh, menggoda orang-orang yang melewati pagar lapangan untuk masuk ke dalam arena. Wajah-wajah Indonesia, baik yang asli Indonesia maupun yang telah menikah dengan orang Belanda nampak hilir mudik di depan pagar lapangan. Sepertinya dari wajah-wajah mereka tampak puas dan senang. Saya dan teman-teman ikut dalam antrian di pintu masuk sebelum seorang yang berbadan tegap meminta kami untuk langsung masuk dan meminta hanya salah satu dari kami yang mengantri karena sore itu rintik-rintik hujan kembali turun.
Ternyata, harga tiket tidak sama. Untuk senioren (orang tua) harga tiketnya 5 euro, untuk Studenten (pelajar/mahasiswa) 4 euro, dan untuk kinderen seharga 3 euro. Tentu saja saya masuk dengan tiket studenten. Sayangnya, di pintu pengecekan ternyata untuk mahasiswa Indonesia tidak ada pengecekan tiket. Waktu itu kalau tidak salah hanya di tanya oleh petugas di pintu masuk: "mahasiswa indonesia ya?" tanpa memerikasa ID bisa langsung masuk. wah tahu gini saya tidak beli tiket karena kan bisa untuk jajan di dalam arena.
Tenda Pasar Malam Indonesia ini terbagi dalam empat tenda besar. Bagian pertama di depan, diisi oleh stand-stand dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Sumatra Selatan, jawa Timur, Jawa Barat, Minahasa, dan provinsi-provinsi di Kalimantan. Saya sempat memutar dua kali ruangan ini karena penasaran ingin bertemu dengan stand Banten. Tapi setelah berputar-putar dan sempat bertanya kepada seorang panitia akhirnya saya benar-benar yakin jika stand provinsi Banten tidak ikut. Ada beberapa kemungkinan menurut saya. Pertama bisa jadi karena ini merupakan Pasar Malam Indonesia yang pertama di gelar (karena ada pasar malam Tong-tong yang jauh lebih besar dan jauh lebih dahulu di selenggarakan) sehingga tidak semua provinsi bisa ikut serta. Kedua, bisa juga informasi sampai tapi tidak di tindaklanjuti oleh dinas pariwisata setempat.
Sayang, karena Banten punya sumberdaya pariwisata yang luar biasa yang bisa di jual ke masyarakat Belanda. Potensi pantai di selatan dan barat misalnya, saya pikir tidak kalah dengan pantai Sanur di Bali atau Lombok. Belum lagi dengan potensi lain semisal aspek kesejarahan Banten yang punya hubungan lama dengan Belanda dan warganya. Ketika transit di bandara Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbicara kepada seorang tua Belanda dan saya kaget karena menurutnya banyak sekali warga belanda yang lebih memilih Malaysia sebagai tempat berlibur dari pada Indonesia terutama karena aspek infrastruktur dari pada aspek keamanan. Padahalkan alam Malaysia ya relative sama dengan kita dan harusnya secara emosional warga Belanda lebih memilih Indonesia karena faktor hubungan kesejarahan yang cukup panjang.
Bagian kedua dari tenda besar ini adalah ruang live music dan tari-tarian. didalam ruangan ini terdapat panggung besar dengan saund system yang biasa digunakan untuk konser-konser musik. Di ruangan ini, artis Indonesia seperti Andre Hehanusa dan lainnya menghibur pengunjung dengan lagu-lagu nostalgia tahun 60, 70, dan 80an. Lagu-lagu daerah juga di tampilkan seperti beberapa lagu dari Ambon dan Papua yang saya tidak hapal judulnya. di ruangan ini pengunjung bisa bernyanyi, berjoged, dan berdansa bersama. Karena saya cuma bisa joged dangdut dan itupun belum terlalu lentur, maka saya tidak ikutan "turun".
Bagian ke tiga yang merupakan ruangan yang paling besar adalah ruangan tempat wisata kuliner. Di ruangan ini, secara melingkar, berjenis-jenis makanan dan minuman asal Indonesia di jual dengan harga paling murah 2 eoro dan paling mahal 9 euro. Makanan yang saya temukan antara lain: nasi uduk dengan ayam goreng, nasi rames, nasi padang lengkap dengan kepala ikan, kikil dan sambel padangnya, soto madura, soto jakarta, sate kambing, sate ayam, nasi Minahasa dll. Ada juga panganan sepert pisang goreng, bakwan, misro, combro, siomay, bakso, mpe-mpe, es kelapa muda, cincau, cendol, dan lainnya. Any way, sayang karena saya tidak menemukan cecuer, rabeg, sate bebek, sate bandeng, apalagi gerem asem di arena festival ini. Akhirnya saya hanya minum es Shanghai, tidak tahu dari mana asal minuman ini yang jelas saya haus...he he
Ruangan ke empat adalah dinning room. Disini tersedia beberapa meja-meja tinggi tanpa kursi jadi jika kita makan harus berdiri. Di depannya terpampang layar besar yang memutar film Indonesia selama Pasar malam ini berlangsung. Saat saya di sana, film yang di putar adalah film Laskar Pelangi I yang sangat fenomenal itu. Film ini sangat cocok dengan kondisi kami, mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Eropa karena di film itu ada beberapa statement dan nilai yang sangat baik untuk di tindaklanjuti seperti semangat mencari ilmu, kebijaksanaan dll belum lagi nama Eropa beberapa kali di sebut oleh tokoh-tokohnya.
Sabtu malam itu memang luar biasa ramainya. Pengunjung tidak hanya datang dari kota-kota di Belanda tapi juga dari Jerman dan Belgia. Di Pasar Malam Indonesia itu kami juga sempat berbincang dengan tiga perempuan pencari rokok Sampurna mild yang berasal dari satu daerah yaitu Batak. Setiap ada yang merokok mild yang mereka temui, mereka akan memintanya termasuk kepada teman saya Kang Hilman dan Kun. Mereka berasal dari tiga kota berbeda di Eropa dan mereka bertiga punya suami yang berasal dari Berlin, Hamburg dan Rotterdam. Jadi, intinya selain mengingatkan warga Belanda dengan serba serbi Indonesia, pasar itu juga sebetulnya mempertemukan anak-anak bangsa yang bercerai berai di negeri orang.
Waktu menunjukan pukul 20.10 ketika kami putuskan untuk keluar dari arena itu. Karena hari masih seperti sore (karena musim semi dan panas membuat siang lebih panjang) kami sempatkan untuk ke restoran China di Den Haag yang menjual juga makanan cita rasa Indonesia dengan harga terjangkau. Sebelum masuk restoran, saya penasaran ingin ke toko China yang katanya lebih besar dan lengkap bahan makanan Indonesianya dari toko China yang ada di Leiden. Sehingga kesempatan itu saya gunakan untuk membeli beberapa bahan makanan.
Di restoran china itu kami habiskan 37 euro dan karena berdelapan maka masing-masing hanya mengeluarkan dana 4, 6 euro saja untuk makan cah kangkung, cah sawi dan tahu, ayam goreng dan nasinya. wah alhamdulillah pulang ke Leiden dengan perut kenyang...
Leiden, 5 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar