Tadi sore jam 18.00, menurut informasi yang kami terima di miling list "Leideners" beberapa hari yang lalu, pa Andi Mallarangeng, menteri Pemuda dan Olahraga, akan mengunjungi Leiden dan sekaligus berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang ada di Leiden tentang tema-tema kepemudaan dan kebangsaan. Namun, beberapa menit sebelum acara di mulai, seorang teman berbisik bahwa pa Andi tidak jadi datang karena masih sibuk berkampanye dan berkonsentrasi untuk kemenangannya pada pemilihan ketua umum Demokrat yang akan dilaksanakan tahun ini.
Ya sebenarnya buat saya tidak ada masalah siapapun yang datang karena yang terpenting itu adalah silaturahmi antara teman-teman dengan Bapak-bapak Kedutaan Belanda pasti akan semakin dekat dan akrab dan tentu saja efek lainnya adalah bisa makan malam gratis di restoran Budha bermenu Asia yang segar dan maknyos...he he
Setelah beberapa menit menunggu, datanglah rombongan kementrian Pemuda dan Olahraga yang di komandoi oleh pa Zulkifli, salah seorang deputi di kementrian Pemuda dan olahraga. Pa Zul, menyampaikan permintaan maaf karena pa Andi tidak bisa hadir dalam pertemuan ini dan mendelegasikan beliau untuk "menyapa" teman-teman di Leiden.
Mengawali diskusi, pa Zul membukanya dengan latar belakang mengapa inisiasi dialog pemuda ini muncul. Menurut beliau, ketika pa SBY berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yanga ada di Australia, pa SBY kaget ketika mendengar pendapat mahasiswa Indonesia yang berpendapat bahwa Republik Indonesia lebih baik dirubah kedalam bentuk federal sehingga jalannya pemerintahan akan lebih efektif. Nah, pendapat inilah yang menurut pa Zul kemudian mendasari apa yang saya sebut dengan "politik sapa menyapa".
Pa Zul kemudian menambahkan, jika saja Australia yang jaraknya tidak begitu jauh dari RI bisa berpendapat demikian, apalagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada di Eropa, Amerika atau tempat lain yang lebih jauh? Itulah asumsi pa SBY yang kemudian memerintahkan kementrian pemuda dan olah raga untuk "menyapa" pemuda-pemuda/mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri dengan tujuan agar jangan sampai nasionalisme Indonesia luntur hanya karena jarak yang jauh dari tanah air.
Mahasiswa dan Beasiswa ke luar negeri
Beberapa bulan sebelum saya berangkat ke Leiden, saya sempat berdiskusi dengan teman sekaligus pembimbing saya di Serang yang inti dari diskusi itu adalah sebuah pertanyaan yang cukup mendasar. Sanggupkah pemerintah kita, pusat atau daerah, membiayai anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan akademik untuk bersekolah di pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia seperti Harvard, Oxford, Leiden, Kyoto, Amsterdam, Sorbonne, Mc Gill, Sydney, dan universitas-universitas berqualitas di dunia lain untuk level S2 dan S3 setiap tahun? menurut saya pertanyaan ini penting terutama ketika menyaksikan fenomena semakin banyaknya pemuda Indonesia yang sekolah di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa.
Secara umum, saya membagi mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama yang paling besar (saya prediksi sekitar 90%) adalah "kelompok mahasiswa penerima beasiswa funding" baik funding negara asing langsung (USAID, AUSAID, NESO) maupun lembaga-lembaga donor seperti Ford, Toyota, dll. Kelompok mahasiswa S2 dan S3 ini lolos dan mendapatkan beasiswa penuh termasuk biaya hidup selama masa studi tanpa khawatir adanya pemotongan-pemotongan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah melalui serangkaian tes ketat yang sudah terstandarisasi dan tentu jauh dari anasir-anasir konspirasi, nepotisme, dan lainnya.
Kelompok kedua adalah mereka yang belajar di luar negeri dengan ongkos sendiri. Artinya, seluruh biaya baik biaya kuliah, kursus, dan biaya hidup mereka bayar dengan biaya mandiri baik dari orang tua maupun dengan harus bekerja part time. Saya prediksi jumlah ini sekitar 5% dan kelomopok ke tiga adalah kelompok penerima beasiswa PNS yang di biayai oleh APBN atau APBD karena programnya dirancang khusus untuk PNS dengan skema biaya dari anggaran negara. Jumlahnya saya taksir sekitar 5 %.
Dari prediksi ini (mudah-mudahan salah) terlihat bahwa jumlah dana APBN ataupun APBD yang dikeluarkan untuk "memproduksi" manusia Indonesia yang berkualitas sangat timpang sekali (1:20). Dari asumsi ini, saya berpendapat bahwa perhatian pemerintah kita "kalah" jauh dengan funding-funding asing yang tiap tahun mengirimkan anak-anak bangsa ke hampir seluruh fakultas-fakultas dan universitas-universitas terbaik di dunia. Inilah yang kemudian menurut saya sebuah ironi ketika misalnya pemerintah menginginkan manusia-manusia terbaik bangsa ini untuk mempertebal nasionalisme sementara beasiswa yang didapat untuk mereka dan bahkan keluarga mereka di tanah air berasal dari funding-funding asing.
Lebih jauh, yang saya khawatirkan adalah bahwa suatu saat nanti, 20-30 tahun mendatang, ketika teman-teman yang pernah di biayai oleh funding-funding itu sudah menempati posisi-posisi kunci negara, funding-funding tersebut bisa saja menagih dan bahkan mengintervensi kebijakan. dalam diskusi malam tadi saya contohkan misalnya kang Hilman jadi presiden RI ke -20, karena funding itu pernah punya jasa kepada kang Hilman bukan tidak mungkin funding tersebut akan mengintervensi kebijakan. Apalagi jika mengingat kultur bangsa ini yang terkenal dengan budaya "ewuh pakewuh (ga enakan)". Disinilah letak kegelisahan itu ketika membayangkan akan dibanjirinya negeri ini oleh kepentingan-kepentingan funding.
Saya jadi teringat diskusi-diskusi dengan Prof. Bambang di rumah Pa Min. Beliau mengatakan bahwa bangsa ini selalu memainkan politik "tangan di bawah dari pada tangan di atas" terutama terhadap negara-negara yang pernah memiliki hubungan kolonialisme seperti Belanda dan Jepang. Kita selalu meminta "jatah" karena beranggapan bahwa Sumber daya alam negara kita sudah dieksploitasi dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga kita merasa berhak untuk mendapatkan kembali hak kita.
Pemikiran inilah yang harus di dekonstruksi. Negara yang besar adalah negara yang mandiri, independent, yang sebetulnya terminologi ini selalu di gembar-gemborkan politisi kita namun pada prakteknya sebetulnya kita tidak pernah benar-benar mandiri. Bahkan saya berani merefleksikan kengerian saya akan masa depan bangsa ini dalam kasus beasiswa mahasiswa S2 maupun S3 yang saya sebutkan perbandingannya diatas.
Karena saya sudah berada di sini (Laiden), maka saya kemudian berani untuk menghitung-hitung rupiah yang harus di keluarkan pemerintah. Secara kasar, katakan misalnya untuk satu orang mahasiswa S2 program IYL biaya yang harus di keluarkan untuk tahap I, masa karantina bahasa inggris adalah 11 juta yang terdiri dari 2 bulan kursus intensive TOEFL sebesar 8 juta dan allowance untuk calon mahasiswa untuk dua bulan sekitar 3 juta. Sedangkan untuk biaya asuransi dan pengurusan visa saya tidak tahu pasti jumlahnya (jika ada yang tahu silahkan tambahkan sendiri).
Nah, ketika pertama kali datang setiap mahasiswa yang mendapat beasiswa akan mendapatkan uang pertama yang jumlahnya sangat variatif tergantung dari budget funding. untuk program IYL dana awal yang di terima untuk pembelian alat tulis dsb itu sejumlah 580 euro (jika kurs euro 12500 maka jika dirupiahkan akan mendapat 7,25 juta). untuk bulanannya setiap mahasiswa mendapat 870 euro (10,9 jt) selama 18 bulan. Berarti jika di jumlah kan kurang lebih sekitar 220 juta per mahasiswa. jika di tambah dengan program "pemantapan" bahasa (bahasa Inggris untuk program IYL dan bahasa Belanda untuk program Encompass) maka setiap mahasiswa S2 bisa menghabiskan lebih dari 230-250 juta.
Jika jumlah ini dikalikan dengan jumlah penerima beasiswa S2 asal Indonesia yang saat ini tersebar di seluruh dunia maka dana yang dikeluarkan funding untuk "menyekolahkan" putra putri terbaik bangsa ini dari tahun ke tahun cukup besar belum lagi untuk program S3 yang angka allowancenya jauh lebih besar.
Jadi kesimpulannya adalah pemerintah kita harus berani untuk mengeluarkan dana sendiri untuk menyekolahkan anak-anak bangsa ke luar negeri untuk menjaga kehormatan sekaligus independensi bangsa terhadap bangsa-bangsa lain karena bukankah hanya dengan mengeluarkan biaya sendiri pemerintah dan penerima beasiswa akan saling memiliki sense of belonging terhadap tanah air? Wallahua'alam.
Smaragdlaan, 00.35 9 April 2010.
Ya sebenarnya buat saya tidak ada masalah siapapun yang datang karena yang terpenting itu adalah silaturahmi antara teman-teman dengan Bapak-bapak Kedutaan Belanda pasti akan semakin dekat dan akrab dan tentu saja efek lainnya adalah bisa makan malam gratis di restoran Budha bermenu Asia yang segar dan maknyos...he he
Setelah beberapa menit menunggu, datanglah rombongan kementrian Pemuda dan Olahraga yang di komandoi oleh pa Zulkifli, salah seorang deputi di kementrian Pemuda dan olahraga. Pa Zul, menyampaikan permintaan maaf karena pa Andi tidak bisa hadir dalam pertemuan ini dan mendelegasikan beliau untuk "menyapa" teman-teman di Leiden.
Mengawali diskusi, pa Zul membukanya dengan latar belakang mengapa inisiasi dialog pemuda ini muncul. Menurut beliau, ketika pa SBY berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yanga ada di Australia, pa SBY kaget ketika mendengar pendapat mahasiswa Indonesia yang berpendapat bahwa Republik Indonesia lebih baik dirubah kedalam bentuk federal sehingga jalannya pemerintahan akan lebih efektif. Nah, pendapat inilah yang menurut pa Zul kemudian mendasari apa yang saya sebut dengan "politik sapa menyapa".
Pa Zul kemudian menambahkan, jika saja Australia yang jaraknya tidak begitu jauh dari RI bisa berpendapat demikian, apalagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada di Eropa, Amerika atau tempat lain yang lebih jauh? Itulah asumsi pa SBY yang kemudian memerintahkan kementrian pemuda dan olah raga untuk "menyapa" pemuda-pemuda/mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri dengan tujuan agar jangan sampai nasionalisme Indonesia luntur hanya karena jarak yang jauh dari tanah air.
Mahasiswa dan Beasiswa ke luar negeri
Beberapa bulan sebelum saya berangkat ke Leiden, saya sempat berdiskusi dengan teman sekaligus pembimbing saya di Serang yang inti dari diskusi itu adalah sebuah pertanyaan yang cukup mendasar. Sanggupkah pemerintah kita, pusat atau daerah, membiayai anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan akademik untuk bersekolah di pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia seperti Harvard, Oxford, Leiden, Kyoto, Amsterdam, Sorbonne, Mc Gill, Sydney, dan universitas-universitas berqualitas di dunia lain untuk level S2 dan S3 setiap tahun? menurut saya pertanyaan ini penting terutama ketika menyaksikan fenomena semakin banyaknya pemuda Indonesia yang sekolah di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa.
Secara umum, saya membagi mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama yang paling besar (saya prediksi sekitar 90%) adalah "kelompok mahasiswa penerima beasiswa funding" baik funding negara asing langsung (USAID, AUSAID, NESO) maupun lembaga-lembaga donor seperti Ford, Toyota, dll. Kelompok mahasiswa S2 dan S3 ini lolos dan mendapatkan beasiswa penuh termasuk biaya hidup selama masa studi tanpa khawatir adanya pemotongan-pemotongan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah melalui serangkaian tes ketat yang sudah terstandarisasi dan tentu jauh dari anasir-anasir konspirasi, nepotisme, dan lainnya.
Kelompok kedua adalah mereka yang belajar di luar negeri dengan ongkos sendiri. Artinya, seluruh biaya baik biaya kuliah, kursus, dan biaya hidup mereka bayar dengan biaya mandiri baik dari orang tua maupun dengan harus bekerja part time. Saya prediksi jumlah ini sekitar 5% dan kelomopok ke tiga adalah kelompok penerima beasiswa PNS yang di biayai oleh APBN atau APBD karena programnya dirancang khusus untuk PNS dengan skema biaya dari anggaran negara. Jumlahnya saya taksir sekitar 5 %.
Dari prediksi ini (mudah-mudahan salah) terlihat bahwa jumlah dana APBN ataupun APBD yang dikeluarkan untuk "memproduksi" manusia Indonesia yang berkualitas sangat timpang sekali (1:20). Dari asumsi ini, saya berpendapat bahwa perhatian pemerintah kita "kalah" jauh dengan funding-funding asing yang tiap tahun mengirimkan anak-anak bangsa ke hampir seluruh fakultas-fakultas dan universitas-universitas terbaik di dunia. Inilah yang kemudian menurut saya sebuah ironi ketika misalnya pemerintah menginginkan manusia-manusia terbaik bangsa ini untuk mempertebal nasionalisme sementara beasiswa yang didapat untuk mereka dan bahkan keluarga mereka di tanah air berasal dari funding-funding asing.
Lebih jauh, yang saya khawatirkan adalah bahwa suatu saat nanti, 20-30 tahun mendatang, ketika teman-teman yang pernah di biayai oleh funding-funding itu sudah menempati posisi-posisi kunci negara, funding-funding tersebut bisa saja menagih dan bahkan mengintervensi kebijakan. dalam diskusi malam tadi saya contohkan misalnya kang Hilman jadi presiden RI ke -20, karena funding itu pernah punya jasa kepada kang Hilman bukan tidak mungkin funding tersebut akan mengintervensi kebijakan. Apalagi jika mengingat kultur bangsa ini yang terkenal dengan budaya "ewuh pakewuh (ga enakan)". Disinilah letak kegelisahan itu ketika membayangkan akan dibanjirinya negeri ini oleh kepentingan-kepentingan funding.
Saya jadi teringat diskusi-diskusi dengan Prof. Bambang di rumah Pa Min. Beliau mengatakan bahwa bangsa ini selalu memainkan politik "tangan di bawah dari pada tangan di atas" terutama terhadap negara-negara yang pernah memiliki hubungan kolonialisme seperti Belanda dan Jepang. Kita selalu meminta "jatah" karena beranggapan bahwa Sumber daya alam negara kita sudah dieksploitasi dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga kita merasa berhak untuk mendapatkan kembali hak kita.
Pemikiran inilah yang harus di dekonstruksi. Negara yang besar adalah negara yang mandiri, independent, yang sebetulnya terminologi ini selalu di gembar-gemborkan politisi kita namun pada prakteknya sebetulnya kita tidak pernah benar-benar mandiri. Bahkan saya berani merefleksikan kengerian saya akan masa depan bangsa ini dalam kasus beasiswa mahasiswa S2 maupun S3 yang saya sebutkan perbandingannya diatas.
Karena saya sudah berada di sini (Laiden), maka saya kemudian berani untuk menghitung-hitung rupiah yang harus di keluarkan pemerintah. Secara kasar, katakan misalnya untuk satu orang mahasiswa S2 program IYL biaya yang harus di keluarkan untuk tahap I, masa karantina bahasa inggris adalah 11 juta yang terdiri dari 2 bulan kursus intensive TOEFL sebesar 8 juta dan allowance untuk calon mahasiswa untuk dua bulan sekitar 3 juta. Sedangkan untuk biaya asuransi dan pengurusan visa saya tidak tahu pasti jumlahnya (jika ada yang tahu silahkan tambahkan sendiri).
Nah, ketika pertama kali datang setiap mahasiswa yang mendapat beasiswa akan mendapatkan uang pertama yang jumlahnya sangat variatif tergantung dari budget funding. untuk program IYL dana awal yang di terima untuk pembelian alat tulis dsb itu sejumlah 580 euro (jika kurs euro 12500 maka jika dirupiahkan akan mendapat 7,25 juta). untuk bulanannya setiap mahasiswa mendapat 870 euro (10,9 jt) selama 18 bulan. Berarti jika di jumlah kan kurang lebih sekitar 220 juta per mahasiswa. jika di tambah dengan program "pemantapan" bahasa (bahasa Inggris untuk program IYL dan bahasa Belanda untuk program Encompass) maka setiap mahasiswa S2 bisa menghabiskan lebih dari 230-250 juta.
Jika jumlah ini dikalikan dengan jumlah penerima beasiswa S2 asal Indonesia yang saat ini tersebar di seluruh dunia maka dana yang dikeluarkan funding untuk "menyekolahkan" putra putri terbaik bangsa ini dari tahun ke tahun cukup besar belum lagi untuk program S3 yang angka allowancenya jauh lebih besar.
Jadi kesimpulannya adalah pemerintah kita harus berani untuk mengeluarkan dana sendiri untuk menyekolahkan anak-anak bangsa ke luar negeri untuk menjaga kehormatan sekaligus independensi bangsa terhadap bangsa-bangsa lain karena bukankah hanya dengan mengeluarkan biaya sendiri pemerintah dan penerima beasiswa akan saling memiliki sense of belonging terhadap tanah air? Wallahua'alam.
Smaragdlaan, 00.35 9 April 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar