Jumat, 16 April 2010

Oleh-oleh dari Vrije University Amsterdam

Kemarin sore kira-kira jam 16.30 sewaktu saya di kantin Lipsius, saya menerima email dari Marise van Amersfoort, koordinator Indonesian Young Leaders, bahwa hari Jum'at (hari ini) jam 13.15 akan diadakan Opening Conference of the Interuniversity Research School for Islam Studies (ISIS) ‘Studying Islam: Text and Context’, sebuah lembaga kajian Islam baru yang berisi 8 universitas papan atas di Belanda diantaranya:Vrije University Amsterdam, Amsterdam University, Groningen, Ultrecth, Leiden, Nijmegen, Tilburg, dan Twente.
Untuk hadir di acara ini, saya harus membatalkan dua janji yang sebelumnya sudah saya arrange lebih dahulu karena saya sadar bahwa sebagai calon akademisi, forum-forum ilmiah seperti ini merupakan kesempatan emas yang harus saya maksimalkan selama saya berkesempatan studi di Eropa. Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, forum ini juga memberi saya kesempatan untuk memperbanyak kolega dari berbagai macam bidang dan disiplin ilmu.
Kebetulan cuaca hari Jumat ini menurut saya cukup bersahabat, matahari tidak terlalu menyorot seperti kemarin dan angin juga tidak begitu kuat berhembus sehingga atmosfernya sangat ideal untuk keluar kamar dan jalan-jalan. saya sebetulnya janjian ketemu teman-teman yang lain di depan Leiden Centraal pukul 11.30 namun karena saya ada janji dengan mas najib untuk meminjamkan buku untuknya di KITLV pukul 09.45 maka saya terpaksa tidak bisa datang tepat waktu di tambah Kang Hilman yang akan berangkat ke sana juga masih bersama saya di perpus itu.
Jam 12 kurang 5 saya memarkir sepeda di tempat parkir sepeda depan stasiun (di dekat stasiun Leiden tidak ada parkiran mobil lo) dan rupanya kereta menuju Amsterdam Zuid akan berangkat tepat pada pukul 12.00. sehingga, setelah tiket selesai di urus, saya dan teman-teman langsung cabut menuju ke spur intercity menuju Amsterdam. Kami turun di stasiun Schipol lalu melanjutkan perjalanan menuju stasiun Amsterdam Zuid di platform No.3. Letak Vrije University Amsterdam tidak terlalu jauh dari stasiun hanya beberapa ratus meter dari pintu keluar stasiun.
Jika bangunan Universitas ini di bandingkan dengan Leiden dari sisi modernitas interior, maka saya pikir Leiden masih tertinggal karena universitas ini sudah seperti hotel berbintang. Auditorium, kantin, toilet, ruang resepsi dan ruang kelas didesain sedemikian rupa dengan konstruk interior modern yang indah. Di dalam gedung juga terdapat taman yang walaupun tidak besar namun beberapa pohon sakura yang sudah mulai berbunga di tengah gedung itu menambah kesan asri dan nyaman. Toiletnya menggunakan sensor sama seperti di toilet Leiden Central dan stasiun lain untuk mengeluarkan air.
Kantinnya mungkin 10 kali lebih luas dari kantin Leiden belum lagi makanan yang tersedia disini lebih variatif. Mulai dari nasi kuning, (tapi bukan made in indonesia lo), soup yang bermacam-macam pilihannya, sayuran, minuman, roti, kentang goreng (patat), buah-buahan, dan minumannya sangat komplit. Sampai-sampai saya jadi bingung untuk memilih makanan. Nilai plusnya adalah untuk makanan seperti soup, patat, nasi, dan sayuran dibuat systim prasmanan sehingga untuk yang makannya agak banyak bisa sedikit menguntungkan.
Saat mengantri di kasir untuk membayar makanan untuk makan siang, saya sempat berbincang dengan seorang mahasiswi Indonesia di universitas itu. pada kesempatan itu, dia hanya memastikan dengan bertanya "mas dari Indonesia ya?" saya jawab : Iya mba...saya dari Leiden...oke bye. saya lalu langsung menuju meja dimana kang Hilman, kang Yasrul dan mba Dini sudah menunggu.
Perbincangan singkat itu intinya menegaskan bahwa dihampir universitas di Belanda, terdapat mahasiswa Indonesia walaupun dengan jumlah yang bervariasi.
Tidak seperti acara-acara seminar, diskusi, dan acara resmi lain di negara kita, opening conference di sini tidak memerlukan MC. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.50, Prof. Busken sebagai Direktur ISIS langsung meminta perhatian audience kemudian memberikan selintas latar belakang program yang di danai oleh menteri pendidikan Belanda ini yang menurut beliau sejumlah 6 juta Euro selama 6 tahun. Jika tidak ada halangan, program ini akan membuka kesempatan untuk program PhD.
Menariknya, di acara-acara formal-ilmiah seperti ini tidak menyediakan transport atau sertifikat seperti di Indonesia karena mungkin systim penggajian dan kenaikan pangkat mereka berbeda dengan kita yang mensyaratkan banyaknya sertifikat untuk meningkatkan gaji dan poin kepangkatan.
Jadi saya berkeyakinan bahwa kedatangan audiens yang sebagian besar dosen-dosen dan mahasiswa S2 dan S3 dari kedelapan universitas itu adalah murni untuk menambah ilmu dan berdiskusi dengan pakar-pakar yang sudah lebih dahulu malang melintang di tengah belantara akademis.
Jalannya conference
Setelah mengungkapkan latar belakang program, Prof. Leon langsung mempersilahkan pembicara pertama, Prof. Brinkley Messick dari Columbia University, USA, untuk memaparkan hasil studynya selama beberapa tahun di Yaman. kuliahnya berjudul: "Islamic Texts: the Antrophology as a reader". Menurutnya, menjadi seorang antropolog mengharuskannya untuk tidak hanya mendalami sikap, prilaku, tradisi, budaya dan adat masyarakat namun juga di haruskan untuk dapat membaca teks-teks yang menjadi rujukan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosialnya.
selama melakukan field work di Yaman, dia banyak sekali bercengkrama dengan sumber-sumber tulisan tentang masyarakat yaman, quran, hadist, dan hukum-hukum yang di buat oleh mufti dan ulama setempat untuk lebih mendalami kehidupan masyarakat. Beliau juga menjelaskan latarbelakang kenapa Yaman yang dipilih untuk menjalankan field work karena menuerutnya Yaman adalah satu negara dengan tradisi Islam yang kuat namun pengaruh barat, hukum dan budayanya, tidak dapat menjangkaunya. Sehingga Yaman dianggap negara paling "perawan" dari kolonialisasi barat.
Setelah Prof. Messick, pembicara selanjutnya adalah seorang ahli hukum Islam asal universitas Amsterdam, Prof. Ruud Peters. Peters menyajikan judul kuliah yang sangat provokative: Sharia Criminal Law and Human Rights: Are They Compatible?. Peters memulai slidenya dengan mendeskripsikan pemahaman tentang Sharia baik menurut kacamata westerners maupun dalam kacamata muslim seperti pendapat Tarik Ramadhan tentang sharia.
Selanjutnya, Peters yang ahli hukum Islam menjelaskan tentang had (hudud) sebagai Sharia Criminal Law (SCL) dalam islam seperti dalam kasus pencurian, perampokan, perzinahan, minum alkohol, dan kemunafikan sebagai pelanggaran yang dapat berakibat di jatuhinya had. Yang menarik adalah ketika Peters cendrung memberi gambaran hukum Islam hanya dengan yang berhubungan dengan had. Terlebih beberapa slide bergambar yang di tampilkan lebih bayak merepresentasikan "kekejaman" hukum Islam dengan menyajikan gambar-gambar poster penerapan Sharia di negara-negara Afrika seperti Sudan dan Nigeria yang memang menyeramkan dan bagi manusia normal pamplet dan poster itu pasti membuat bulu kuduk berdiri.
Di pamplet tentang penerapan sharia di Sudan misalnya, gambar yang ditampilkan adalah gambar yang ketika mencuri maka sebelah kanannya ada gambar di potong tangan, ketika berzina disebelah kanannya akan di lempari batu sampai mati dan untuk ghoiru muhkson akan di cambuk. Di slide yang lain terdapat gambar larangan seorang perempuan menaiki ojek atau motor bukan dengan mukhrimnya dan di gambarkan bahwa si perempuan akan dihukum rajam (stoning). Nah gambar-gambar ini yang menurut saya berat sebelah dan mengakibatkan generalisasi terhadap Islam dimata barat sehingga berdampak pada asosiasi kekerasan dan anti HAM terhadap Islam semakin kental. Padahal gambar-gambar penyiksaan orang-orang muslim di Guantanamo, korban perang di Irak dan Afganistan misalnya yang dilakukan oleh barat dan sekutunya tidak ditampakkan padahal dampaknya sama atau bahkan lebih tidak berprikemanusiaan. Diskusi ini saya kira sudan sering diperdebatkan dalam dua dasawarsa terakhir dan masih belum menemui titik temu.
Dalam beberapa hal, Peters berhasil menjelaskan beberapa aspek hukum Islam misalnya permasalahan masih tersedianya ruang bagi kaum muslimin dalam wilayah fiqh untuk berijtihad. kemudian beliau juga menggarisbawahi motive-motive di balik implementasi sharia yang lebih cendrung di gunakan untuk tujuan-tujuan politik dari pada keagamaan. Dan yang paling penting, diakhir presentasi, Peters mengajukan beberapa hal tentang hubungan simbiotik antara Islam dan HAM (Human Rights), pertama dengan mengintegrasikan nilai-nilai sharia kedalam convensi Human Rights, kemudian nilai-nilai Human Rights harus di kampanyekan oleh orang-orang Muslim sendiri untuk menghindari sterotipe negative terhadap barat. Kemudian, ilmuwan ini juga menganjurkan agar ruang ijtihad di buka lebar dengan menggunakan metode takhayyur (by selecting existing opinions of classical scholars).
Setelah kedua penyaji memaparkan materinya, Prof. Leon kemudian mempersilahkan dua orang profesor pembanding dari Universitas Amsterdam dan Groningen dan tentu saja membuat semakin seru dan menarik dengan dibumbui respon dari audiens. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat diskusinya tidak terlalu tajam, (aktual dan terpercaya he he) karena jawaban-jawaban dari penyaji sangat nominal dan normative.
Rohman Al Bantani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar