tag:blogger.com,1999:blog-75031630792422562652024-03-13T08:26:29.335-07:00ROHMAN ALBANTANIkumpulan catatan, gambar, dan data yang terserakrohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-79433677556812939442010-08-28T10:16:00.000-07:002010-08-29T03:13:10.111-07:00Ramadhan in The Netherlands; Penentuan Awal PuasaSalah satu isu penting dalam menyambut bulan Ramadhan adalah penentuan kapan mengawali dan mengakhiri puasa. Untuk hal yang satu ini tidak jarang perbedaan terjadi dalam tubuh umat Islam karena memang ada dua metode penentuan awal bulan yang berbeda yang bisa jadi tidak akan bertemu satu dengan yang lainnya.<br />Tentang "kapan" ini tentu berkaitan dengan waktu, makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Tulisan ini bukan bertujuan untuk mempertajam perbedaan juga bukan untuk menyatukan perbedaan namun diharapkan agar kita lebih arif dan dapat menjembatani perbedaan itu.<br /><span style="font-weight: bold;">Urgensi waktu dalam Islam</span><br />Dalam beberapa ayat al Quran (QS 89;1, 91;1, 93;1, 84; 16-20, 103; 1-3) Allah SWT banyak menyinggung dan memperingatkan kaum muslimin tentang urgensi waktu. Kenapa Allah SWT menekankan umat Islam agar memperhatikan waktu dan kenapa waktu begitu penting dalam Islam?<br />Sebagai agama yang komprehensive dan universal Islam ternyata tidak hanya melihat waktu sebagai sebuah fenomena kesejarahan yang tidak boleh dilupakan karena di dalamnya terkandung ibroh (pelajaran) bagi umat setelahnya namun juga penting karena hampir seluruh ritual keagamaan dalam Islam berkaitan dengan waktu.<br />Dalam ritual sholat misalnya Islam mewajibkan pemeluknya untuk mendirikan sholat pada lima waktu yang berbeda yang kelimanya tidak bisa ditawar atau di negosiasi ulang dalam hal waktu pelaksanaanya. Waktu juga menentukan dalam pelaksanaan ritual yang lain seperti haji, zakat fitrah termasuk berpuasa pada bulan Ramadan. Sehingga jelas bahwa waktu menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslimin.<br />Seperti kita ketahui, kalender penanggalan (tarikh) dalam Islam dinamakan dengan kalender hijriah (dalam bahasa inggris disebut dengan <span style="font-style: italic;">hegira</span> dan dalam bahasa latin, kalender islam disebut <span style="font-style: italic;">anno hegirae</span> (A.H.) dimana peristiwa sangat penting dalam Islam ketika hijrahnya kaum muslimin untuk memisahkan diri dari kaum musyrikin Mekah ke Madinah (Yastrib) pada tanggal 16 Juli (solar calender) ditetapkan sebagai awal penanggalan Islam yaitu 1 Muharram. Kita juga mengenal 11 bulain yang lain mulai dari Safar sampai Zulhijjah.<br />Namun, tidak seperti penentuan awal bulan lainnya yang begitu soft dan nyaris tak terdengar, penentuan awal bulan ke sembilan dalam kalender Islam (Ramadan) hampir selalu diwarnai dengan perbedaan pandangan. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di Belanda.<br />Perbedaannya, jika di Indonesia kita mengenal ada Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang biasa menjembatani perbedaan dua ormas Islam terbesar (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) dalam penentuan awal dan akhir Ramadan, maka di Belanda tidak ada yang namanya Majlis Ulama Belanda atau sejenisnya yang mengatur dan mengkomunikasikan perbedaan itu. Sehingga rapat penentuan awal bulan Ramadan (sidang isbat) tidak di kenal oleh kelompok-kelompok Islam di Belanda yang tersebar di masjid-masjid yang berbeda.<br /><span style="font-weight: bold;">Metode Penaggalan Bulan Komariyah</span> <span style="font-weight: bold;">(Lunar system): Pengalaman di Belanda</span><br />Dalam penggunaan tehnik untuk menentukan awal bulan (terutama Ramadan), ada dua metode atau pendapat yang berbeda. Metode pertama adalah dengan menggunakan <span style="font-style: italic;">rukyat</span> (penglihatan telanjang) untuk melihat bulan baru (<span style="font-style: italic;">new moon</span>).<br />Menurut metode yang pertama, tidak semua orang bisa dipercayai sebagai perukyat karena ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki seorang perukyat diantaranya menurut mazhab Syafi'i adalah muslim, telah baligh, adil, sehat rohani, dan wajib bersumpah. Pendapat pertama ini digunakan oleh masjid As-Soennah, masjid kelompok salafi yang ada di Den Haag.<br />Sehingga ketika saya bertanya kepada salah seorang pengurus masjid As Soennah beberapa hari sebelum Ramadan tentang awal puasa, ketika itu dia menjawab bahwa kami harus menunggu <span style="font-style: italic;">rukyatu hilal</span> yang ketika itu tentu tidak bisa dipastikan.<br />Metode pertama ini bersandarkan kepada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi:"<span style="font-style: italic;">shumu li ru'yatihi wa afthiru liru'yatihi...."</span> yang artinya berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berbukalah ketika melihat bulan dan jika bulan tidak terlihat maka genapkanlah (Sya'ban) menjadi 30 hari.<br />Pandangan kedua berpendapat bahwa penggunaan <span style="font-style: italic;">rukyatu hilal</span> secara fisik dengan mata telanjang amat sulit dilakukan di jaman modern ini. Untuk itu, pendapat kedua menekankan penggunaan hisab (perhitungan) dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.<br />Menurut pendapat ke dua, <span style="font-style: italic;">rukyatu hilal</span> digunakan oleh nabi Muhammad dan para sahabat ketika udara di jazirah Arab masih bersih, tidak ada polusi, berbeda dengan jaman modern di mana langit sudah dipenuhi oleh asap polusi.<br />Selain itu, umat muslimin saat ini di anggap sudah dapat menguasai ilmu hitung (hisab) yang dianggap lebih precise (tepat) dalam mengukur datangnya bulan baru. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Abduh dan Rashid Rida, dua orang pengusung modernisme di dunia Islam.<br />Nah, Muslim di Belanda sebetulnya lebih banyak yang menggunakan metode ini. Masjid al Hijra yang didirikan oleh muslimin Maroko dan masjid Turki (didirikan oleh orang Turki) di Leiden misalnya menggunakan metode ini. Tidak heran jauh sebelum Ramadan datang, masjid-masjid itu sudah membagikan selebaran yang berisi jadwal sholat di bulan Ramadhan.<br />Metode kedua ini juga nampaknya di gunakan juga oleh masjid al Hikmah, masjid komunitas muslim asal Indonesia di Den Haag di mana pengurus masjid membuka komunikasi dengan pa Prof. Dr. Thomas Jamaludin, ahli Astrofisika dari Departemen Agama RI.<br />Namun nampaknya perbedaan tetap terjadi tahun ini di Belanda. Menurut perhitungan pa Thomas, di Belanda posisi bulan masih di bawah ufuk pada tanggal 10 Agustus 2010 sehingga bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari. Sehingga awal puasa jatuh pada tanggal 12 Agustus 2010.<br />Sedangkan di hari terakhir jelang puasa, masjid al Hikmah mengumumkan bahwa puasa jatuh pada tanggal 11 Agustus 2010 karena mempertimbangkan fatwa dari majlis fatwa Eropa. Ya kita memang akhirnya tetap harus memilih mana yang sesuai dan diyakini oleh hati nurani.<br />Tanggal 10 Agustus 2010 (28 Sya'ban sore) itu di sebagian besar Belanda, langit diselimuti oleh awan hitam yang jika menggunakan metode pertama maka bulan Sya'ban harus di genapkan menjadi 30 hari.<br />Lepas dari pengalaman diatas, perbedaan itu adalah rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muslim termasuk yang tinggal di Belanda. Dalam konteks penentuan awal dan akhir Ramadan, adalah hal yang hampir mustahil menyatukan penanggalan hijriah termasuk penentuan awal dan akhir Ramadan karena bumi yang terbagi dalam zona-zona waktu yang menyebabkan hingga saat ini belum ada konsensus tentang kalender Islam global.<br /><br />Wassenaarsweg 29 Agustus 2010<br /><br /><br />Rohman Al Bantani<br /><br /><br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-63289111905184723432010-08-27T02:21:00.000-07:002010-08-28T07:58:59.598-07:00Ramadhan in The Netherlands; Masjid-masjid di Belanda ISuara azan mengalun merdu dibawa angin yang berhembus deras mengisi ruang-ruang kosong dan gang-gang sempit di jalanan sekitar Brestraat, Leiden. Hari Jumat itu seperti biasa, muslimin dan muslimat berduyun-duyun baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda bergegas menuju salah satu masjid yang ada di Leiden, Al Hijra namanya.<br />Masjid ini letaknya hanya dua ratusan meter dari centrum kota Leiden dan sekitar limapuluh meter dari belakang perpustakaan KITLV di lingkari oleh bangunan-bangunan yang mirip disebelah kanan dan kirinya.<br />Masjid yang didirikan oleh muslim Maroko ini bentuknya tidak sama dengan masjid-masjid yang bisa ditemui dengan mudah di tanah air. Masjid ini misalnya berbentuk khas seperti toko-toko dan perumahan Belanda yang bermotif tumpukan bata berwarna merah tua tanpa gerbang utama dan kubah.<br />Masjid ini juga tidak punya halaman parkir sehingga puluhan sepeda yang dibawa oleh jamaah terpaksa harus menutupi trotoar jalan di depan masjid.<br />Sayangnya tidak semua ruas trotoar depan masjid bisa digunakan oleh jamaah. Beberapa ruas trotoar di pasangi garis pembatas berwarna merah dan putih yang menandakan ruas itu tidak boleh digunakan untuk memarkir sepeda sehingga kadang-kadang jika parkiran sepeda sudah penuh, saya lebih memilih untuk memarkirkan sepeda di parkiran KITLV.<br />Masjid ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama dibagi kedalam empat bagian. Bagian pertama adalah ruangan tempat sholat yang agak gelap namun cukup luas sebagai cadangan jika lantai dua dan tiga penuh oleh jamaah. Ruangan ini biasanya digunakan ketika sholat Jumat dimana jumlah jamaah bisa lebih dari 300an orang. Di sebelah kiri ruangan itu juga terdapat pintu yang menghubungkan jamaah ke tempat berwudhu dan kamar mandi.<br />Di masjid ini cara berwudhunya cukup unik karena di setiap keran yang berjumlah 6-7 buah (salah satunya keran khusus air panas) terdapat ember kecil untuk menampung air. Jadi air yang kita gunakan untuk berwudhu, di batasi oleh satu ember kecil itu. Ajaran Islam untuk tidak berlaku boros, nampaknya di praktekkan dalam aspek berwudhu.<br />Di depan ruangan cadangan ini, terdapat ruangan kecil yang berfungsi sebagai kantor pengurus masjid (DKM lah kalo di indonesia). Diruang inilah situs resmi masjid Alhijra yang beralamat di www.alhijra.nl dikelola oleh pengurus masjid. Seluruh kegiatan di informasikan kepada seluruh jama'ah melalui situs ini. Mulai dari jadwal sholat, pengajian rutin, artikel-artikel keislaman sampai dengan pengumuman hendak di bangunnya masjid al hijra di tempat yang baru yang hingga saat ini masih membutuhkan dana dari para jama'ah.<br />Sedangkan bergeser kesebelah kiri ruangan ini, terdapat pintu masuk ke ruangan yang khusus digunakan untuk jamaah wanita. Karena saya tidak bisa memasukinya saya tidak bisa mendeskripsikan lebih jauh tentang ruangan itu yang jelas tempat berwudhu dan kamar mandinya terpisah dari jamaah pria.<br />Ketika memasuki masjid, disebelah kiri terdapat tangga yang akan membawa kita ke ruang utama masjid al hijra. Di lantai dua inilah tempat dimana sholat lima waktu biasa di kerjakan. Luasnya kira-kira 10 x 12 meteran. Di pojok depan, terdapat mimbar tempat khotib jumat biasa berkhutbah.<br />Walaupun kecil, masjid ini ternyata punya perpustakaan <span style="font-style: italic;">loh</span>. Letaknya di pojok belakang ruangan utama. Koleksi bukunya tidak hanya al quran, namun juga kitab-kitab tafsir, syiroh nabawiyah, dan kitab-kitab hadist tersedia di sini. Memang jama'ah tidak bisa meminjam kitab-kitab itu ke rumah, jadi hanya untuk di baca <span style="font-style: italic;">on the spot</span>. Namun yang jelas, pengurus masjid rupanya memperhatikan dengan serius minat jamaah yang haus akan ilmu keislaman.<br />Lantai ketiga yang paling atas digunakan untuk menampung jamaah jumatan. Ruangan ini merupakan tempat favorit mahasiswa indonesia yang sholat disini karena selain lebih longgar nampaknya khutbah yang berbahasa Arab plus terjemahan dalam bahasa Belanda yang cukup panjang membuat mahasiswa indonesia lebih nyaman menempati lantai ini.(juga bisa sambil agak terkantuk-kantuk he he he).<br />Di lantai ini juga terdapat ruang khusus imam masjid. Jika diperhatikan, Imam masjid memiliki peran yang sangat <span style="font-style: italic;">pivotal</span> terutama dalam hal ritual keagamaan. Tidak seperti di Indonesia yang setiap sholat berjamaah bisa berganti-ganti imam, disini imam dan khatib hanya satu orang yang dianggap oleh jamaah memiliki ilmu keislaman yang tinggi. Selain memimpin sholat berjamaah dan menjadi khotib jumat, Imam juga memberikan tausiyah setiap selesai sholat lima waktu.<br /><br />Nah dari masjid al hijra ini kita bisa belajar tentang bagaimana keterbatasan ruang tidak menghalangi aktivis masjid untuk mengelolanya secara efektif dan efisien. Sehingga walaupun berukuran kecil, namun jamaah bisa menikmati layanan masjid dan beribadah dengan tenang dan khusu'.<br /><br />Wassenaarsweg 6, 28 Agustus 2010<br /><br />Rohman Al Bantani<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-81652699407537314002010-07-15T12:06:00.000-07:002010-08-25T20:57:49.657-07:00Jalan-Jalan di Kota-Kota Belanda: Hijaunya BelandaKetika sudah mendapatkan kepastian berangkat ke Belanda, saya sebelum tidur selalu membayangkan akan sumpeknya kehidupan di kota-kota Belanda karena yang saya tahu sejak SD, Belanda adalah negeri kecil namun termasuk dalam negara berindustri maju.<br />Bayangan saya, kondisinya akan tidak jauh beda dengan kawasan Industri di tanah air yang akrab dengan polusi udara, air dan tanah, lalulintas akan semerawut yang menghasilkan tingkat emisi diluar ambang batas dan gersang karena jarang di temui pepohonan.<br />Namun prejudice saya ternyata salah 100 %. Selama hampir tujuh bulan tinggal di Leiden, saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Belanda. Mulai dari indahnya negeri bawah angin Maastrich, kota di paling ujung selatan, hingar bingar dan gemerlapnya Amsterdam, sibuknya The Hague, berwibawanya istana Paleis Het Loo di Apeldoorn, metropolisnya Ultrect dan Eindhoven, lengangnya Hoorn, bersejarahnya Delft, sampai hiruk pikuknya Groningen di ujung paling utara Belanda.<br />Setelah mengunjungi kota-kota utama di Belanda, dari sisi seorang environmentalist amatir, saya memberanikan diri untuk menyimpulkan Belanda dengan satu kata: hijau. Ini bisa di buktikan dengan kasat mata misalnya ketika kita menggunakan kereta yang mengantar kita dari kota yang satu ke kota lainnya, kita dapati sepanjang perjalanan setelah keluar dari kota padang rumput hijau yang sangat luas yang di dalamnya terdapat ribuah hewan ternak mulai dari domba, kuda, sampai sapi.<br />Padang rumput yang luas ini biasanya ditemani dengan hutan-hutan kecil yang memisahkan padang rumput yang satu dengan padang rumput yang lain. Kadang-kadang, antara padang rumput juga dipisahkan oleh kanal-kanal kecil yang bisa di masuki oleh perahu-perahu yang berukuran kecil yang berfungsi untuk transportasi mengangkut makanan tambahan ternak, pupuk, dan lain sebagainya. Jadi fungsinya mirip dengan galengan sawah-sawah di Indonesia yang luasnya berkurang dari waktu ke waktu.<br />Selain itu, lahan luas di sebelah kiri dan kanan rel biasanya digunakan untuk lahan pertanian baik kentang, sayuran maupun bunga. untuk yang terakhir, Belanda memang negeri yang sangat luar biasa dalam memanfaatkan bunga sebagai komoditi ekspor unggulan. Selain taman Keukenhof yang berisi ribuan jenis bunga berwarna warni yang sangat indah di musim semi, kita bisa menyaksikan ladang-ladang bunga lainnya dari atas kereta.<br />Sebelum memasuki kota tujuan, biasanya hutan-hutan kecil menyelimuti kota-kota tersebut. Jadi sepotong hutan seolah-olah menyambut kedatangan siapapun yang berkunjung ke kota-kota di Belanda.<br />Tidak heran, dengan lingkungan yang begitu asri, burung-burung cantik yang belum pernah saya lihat sebelumnya bisa dengan mudah kita temui di hutan-hutan kota malahan bisa juga di jalan-jalan. Bahkan burung-burung kerap membangunkan tidur saya di pagi hari dengan kicauan-kicauannya yang ramai ketika masih tinggal di Smaragdlaan.<br />Bisa jadi selain karena pepohonan yang nyaman, burung-burung itu juga merasa aman dari gangguan manusia paling tidak karena tidak seorangpun yang bisa memburu, memelihara apalagi membunuhnya dengan serampangan. Disini hubungan antara manusia, alam, dan satwa yang hidup didalamnya sangat sinergis.<br />Kecuali kawasan centrum kota yang biasanya berupa lapangan yang luas dengan sedikit pepohonan, praktis kita akan menemukan kembali pohon-pohon besar yang berjejer rapih di kanan dan kiri jalan ketika sedikit keluar dari centrum.<br />Sisi lainnya adalah taman-taman kota yang rata-rata seluas alun-alun kota Serang berciri khas adanya tanah undakan yang agak luas di tanami rumput dan pohon (lagi?) seolah-olah seperti bukit mini yang landai tempat bermain, bercengkrama, public sphere untuk keluarga.<br /><br />Dengan udara segar yang diproduksi oleh pepohonan baik di dalam dan diluar kota maka tidak heran jika anak-anak disini lebih memiliki ketahanan tubuh di bandingkan dengan anak-anak pendatang dari Asia misalnya (pendapat ini saya dapatkan dari seorang ibu beranak satu, mahasiswa s3 jurusan biologi dari Iran).<br />Hal ini juga dibuktikan dengan lebih tingginya angka ketahanan hidup manusia yang tinggal di Belanda karena selain gemar bersepeda, udara segar juga akan membantu untuk bertahan hidup.<br />Nah, mau hidup sehat? mulailah tanami kampung-kampung dan kota-kota anda dengan pohon dan mulai bersinergilah dengan alam.<br /><br />Wassenaarsweg 26 August 2010,<br />Rohman Al Bantani<br /><br /><br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-81383475262840951262010-07-04T01:06:00.000-07:002010-08-25T02:17:07.139-07:00Seputar Kunci-Kunci di Leiden<div style="text-align: justify;">Kunci dalam bahasa Arab bisa di samakan dengan kata <span style="font-style: italic;">miftah</span> (<span style="font-style: italic;">fataha-yaftahu-fathan</span>) yang berarti pembuka. Sedangkan, dalam kamus besar bahasa Indonesia, kunci di maknai sebagai alat yang terbuat dari logam untuk membuka atau mengancing (mengunci) pintu, peti, dsb.<br />Kunci memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. alat ini sangat diperlukan untuk menjamin keamanan sekaligus menenangkan hati. Kita misalnya akan merasa lebih tenang jika meninggalkan rumah, mobil, motor bahkan sepeda dalam keadaan terkunci. Sebaliknya, jika sampai meninggalkan rumah dan aset-aset kita dalam keadaan tidak terkunci maka hati kita akan diliputi kecemasan, kegundahan, dan bahkan dalam tingkatan tertentu akan menimbulkan ketidaknyamanan.<br />Banyaknya jumlah kunci juga menunjukkan tingkat kekayaan seseorang. Tokoh Qorun misalnya seorang konglomerat yang hidup di jaman nabi Musa, digambarkan oleh Allah SWT sebagai seorang kaya raya yang kunci-kunci gudang kekayaannya di panggul oleh keledai-keledai menggambarkan betapa banyaknya kunci yang dimiliki oleh Qorun.<br />Lebih jauh, sebuah kunci juga akan menunjukkan privasi seseorang. Pemilik kamar A misalnya tidak bisa menggunakan kuncinya untuk membuka pintu kamar B pun sebaliknya. Hal inipun berlaku di dunia maya ketika era digitalisasi mengharuskan masing-masing individu memiliki "kunci"nya sendiri baik untuk membuka PC, email, atau account facebooknya.<br />Di dunia perbankan apalagi, fungsi "kunci" yang berbentuk <span style="font-style: italic;">Personal Identification Number</span> memainkan peran yang sangat penting tidak hanya bagi mahasiswa namun juga untuk seluruh lapisan masyarakat yang melakukan transaksi keuangan lewat jalur on line.<br />Dalam kehidupan nyata, fungsi kunci jelas tidak hanya sebatas alat pembuka benda dan tempat seperti lemari, motor, kamar, dan rumah. Nyatanya kunci juga berperan dalam kehidupan beragama, Islam misalnya, "kunci" berbentuk dua kalimat syahadat yang wajib untuk dibaca sebagai pembuka bagi konkretnya keislaman seseorang. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang akan secara legal formal telah sah menjadi seorang Muslim. Dalam kaitan ini, kunci memainkan peran sebagai alat identitas seseorang.<br />Hal-hal diatas menggambarkan betapa kunci memainkan peran yang tidak kecil dalam kehidupan dan peradaban umat manusia dari jaman ke jaman selanjutnya.<br /></div>Selama enam bulan berjalan, ada beberapa kunci yang sangat penting bersama masing-masing pengalaman uniknya selama saya studi "Indonesian Islam atau Islam in Indonesia" di Leiden.<br />Selama tinggal di Smaragdlaan, saya menerima tiga macam kunci yaitu kunci kamar, kunci kotak post dan kunci main gate. ketiga kunci ini di gabung menjadi satu.<br />Pengalaman uniknya adalah ketika seminggu pertama kedatangan, waktu itu musim dingin salju turun hampir setiap hari dan melihat matahari menjadi kegiatan yang langka karena langit selalu di tutupi awan hitam pekat, kunci yang saya pegang dan zay pegang, tertinggal di kamar ketika kami berdua pergi mencuci baju. masalahnya, karena dorongan angin, pintu kamar kami kemudian menutup dan mengunci sendiri secara otomatis.<br />Ali, teman senior yang tinggal bersama kami mencoba memasuki kamar lewat jalur balkon dengan melewati beberapa kamar tetangga yang tentu saja sangat beresiko. sayangnya, pintu balkon juga terkunci dari dalam. jadilah kami gelandangan dengan hanya bermodalkan pakaian yang ada di badan.<br />Untungnya, tetangga depan kamar kami adalah ariza dan cucu yang bersedia menampung kami selama beberapa hari termasuk meminjamkan barang-barang dan menghibahkan makanannya. saya harus melewati hari sabtu dan minggu yang dingin di kamar mereka dengan sedikit malu-malu.<br />Pengalaman kedua saya adalah ketika kunci loker UB tidak seperti biasanya saya bawa pulang. entah bagaimana kunci itu hilang dari kantong jeans saya. tidak pelak, kepanikan melanda jiwa. mulai dari kekhawatiran di denda oleh petugas UB sampai tidak bisa lagi dipercaya untuk menjadi anggota perpus UB. stressful sekali waktu itu. namun ternyata, alhamdulillah, kunci lokernya saya temukan di kolong tempat tidur seorang teman yang waktu itu memang saya sempat bermalam di kamarnya karena kamar saya kedatangan senior.<br />Pengalaman ketiga ketika kunci main gate, kamar, dan kotak pos lupa saya ambil setelah mengambil surat di kotak pos. ini terjadi dua kali dan untungnya di temukan oleh dua orang teman yaitu ariza dan zay. yang ini jelas lebih deg-degan lagi karena jika benar-benar hilang atau di ambil orang maka konsequensinya adalah seluruh kunci yang ada di smaragdlaan harus di ganti mulai dari kunci main gate sampai kunci kamar masing-masing agar pencuri tidak bisa masuk.<br />Terkait kunci sepeda, ada pengalaman yang cukup unik yang dialami oleh seorang teman dari Syiria. seperti kita ketahui, sepeda mamainkan posisi yang pivotal selama kita hidup di belanda. tidak seperti di indonesia yang setiap saat bisa menggunakan jasa ojek motor, angkot yang beraneka ragam, becak dsb. di sini sangat mustahil untuk mencari service semacam itu. dalam artian public transport yang bisa langsung saat itu juga bisa kita gunakan.<br />Untuk menggunakan bis dari smaragdlaan misalnya, kita harus menunggu karena bis lewat 30menit sekali dan semakin malam semakin jarang bisa 1 jam sekali. makanya, dengan sepeda aktivitas kita jadi lancar tanpa harus menunggu bis.<br />Masalahnya ternyata di Belanda kita wajib melindungi sepeda kita dengan kunci yang memadai. jika tidak maka jangan salahkan orang jika sepeda kita raib dicuri. nah, pengalaman teman Syiria ini unik karena setelah dia mengunci sepedanya kemudian dia kehilangan kunci untuk membuka gemboknya. sehingga sepedanya tidak bisa dipakai karena tidak bisa bergerak dan diam di tempat sampai menunggu bantuan dari teman-teman indonesia. akhirnya setelah beberapa hari, Turjiboy berhasil membuka gembok sepedanya dengan menggunakan gergaji besi. haha...hardwork!<br /><br />Dari pengalaman-pengalaman ini paling tidak ibrah pentingnya adalah kunci bisa menjadi sahabat yang sangat akrab ketika dia selalu ada disamping kita. jangan sekali-kali meninggalkan kunci lebih-lebih melupakannya karena jika itu dilakukan maka "ketiwasan" akan menimpa pemilik kunci-kunci tersebut.<br />Duwo 25 Agustus 2010<br />Rohman Al Bantani<br /><br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="if(typeof(jsCall)=='function'){jsCall();}else{setTimeout('jsCall()',500);}" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-31741887419143823252010-06-06T12:33:00.000-07:002010-06-06T22:52:17.780-07:00Cultural Festival: Pertemuan Lima Benua<div style="text-align: justify;">Tidak seperti Sabtu kemarin yang cerah dan panas, udara hari minggu ini terasa lebih sejuk karena matahari sama sekali tidak menampakkan dirinya, tertutupi oleh tebalnya awan hitam yang beberapa kali menjatuhkan butiran-butiran air ke seluruh penjuru Leiden. Minggu yang mendung di awal bulan Juni ini merupakan hari yang penting paling tidak untuk mahasiswa internasional yang ada di Leiden karena hari ini Cultural Festival, sebuah acara yang didesain oleh ISNR (<span style="font-style: italic;">International Student Network Representation</span>) Leiden University untuk mempertemukan budaya, cita rasa, pakaian tradisional, nyanyian, tarian, dan beragam ciri khas bangsa-bangsa di dunia yang bersekolah di Leiden University diselenggarakan.<br />Tercatat paling tidak 20 bangsa yang mengikuti cultural festival tahun ini diantaranya: Romania, China, Afganistan, Costa Rica, Kroasia, Syprus, Jerman, Yunani, India, Indonesia, Iran, Kenya, Belanda, Pakistan, Rusia, Srilanka, Suriname, Syiria, Turki dan Venezuaela. Sebetulnya ada beberapa negara lain seperti Singapura, Spanyol, Siera Leone, Italia, Belgia, Vietnam, Perancis dan USA yang mahasiswanya sekolah disini namun karena alasan teknis mereka enggan ikut. Namun yang jelas komposisi keikutsertaan peserta pada event ini sudah merepresentasikan hadirnya warga dari hampir semua benua.<br />Ditemani sepeda pinjaman dari kawan <leo_highlight style="border-bottom: 2px solid rgb(255, 255, 150); background-color: transparent; background-image: none; background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 50%; -moz-background-size: auto auto; cursor: pointer; display: inline; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" id="leoHighlights_Underline_0" onclick="leoHighlightsHandleClick('leoHighlights_Underline_0')" onmouseover="leoHighlightsHandleMouseOver('leoHighlights_Underline_0')" onmouseout="leoHighlightsHandleMouseOut('leoHighlights_Underline_0')" leohighlights_keywords="phd" leohighlights_url_top="http%3A//shortcuts.thebrowserhighlighter.com/leonardo/plugin/highlights/3_1/tbh_highlightsTop.jsp?keywords%3Dphd%26domain%3Dwww.blogger.com" leohighlights_url_bottom="http%3A//shortcuts.thebrowserhighlighter.com/leonardo/plugin/highlights/3_1/tbh_highlightsBottom.jsp?keywords%3Dphd%26domain%3Dwww.blogger.com" leohighlights_underline="true">PhD</leo_highlight> yang sedang pulang ke Indonesia, kususuri jalanan di samping Smaragdlaan yang sepi menuju rumah masa depan, apartemen Duwo, tepatnya di kamar G3 untuk mengambil bubur sum-sum dan tahu gejrot buatan mba Ning dan mba Dinar untuk di sajikan di stand Indonesia. Selain dua makanan itu, stand Indonesia juga menyediakan makanan khas lain seperti martabak, risoles, es kopyor, dan pisang goreng plus sorenya sebagai additional food untuk mahasiswa Indonesia sajian sop buntut buatan pa Mintardjo yang kebetulan berulang tahun di tanggal yang sama turut di sajikan.<br />Tidak seramai pernak pernik stand Yunani yang di dominasi warna biru atau stand China dengan warna merah di hampir seluruh bagian standnya, stand kami cukup sederhana kalo tidak mau dibilang prihatin. Dengan tenda yang disediakan panitia, sebetulnya kami tinggal mengisi saja dengan pernak pernik dan beragam hal tentang Indonesia namun sayangnya kami kekurangan pajangan sehingga jika di bandingkan dengan dua negara itu jelas kami agak kalah. Saya sendiri tidak paham kenapa pernak pernik yang dipajang kebanyakan milik teman-teman seperti Ela yang membawa angklung, topeng-topeng dan pajangan bergantung. Padahal, ajang ini merupakan "tumpangan" untuk mempromosikan budaya dan pariwisata Indonesia untuk teman-teman mahasiswa Internasional di Leiden dan tentu saja warga Leiden yang untuk masuk ke arena festival harus membayar 4,5 euro. <span style="font-style: italic;">Anyway, the show must go on</span>, kami harus memperbaiki dekorasi dan seluruh hiasannya tahun depan agar lebih menarik.<br />Saya mulai kegiatan pertama dengan acara eksplorasi kuliner yang saya mulai dari stand Pakistan karena waktu makan siang sudah hampir lewat. Disini saya mencoba makanan khas Pakistan yaitu paduan nasi, rempah rempah dan daging kambing yang di Indonesia, mirip dengan nasi kebuli. Saya juga mencoba gorengan pakistan yang mirip bakwan atau bala-bala namun rasanya agak aneh karena mungkin bumbu (atau vetsinnya) tidak sama dengan di negeri kita. Untuk menghindari kekenyangan yang premature, saya pindah ke stand Yunani yang letaknya persis di berada diantara stand Pakistan dan Indonesia. Yunani menyajikan banyak sekali makanan mulai dari makanan yang seperti martabak yang di dalamnya terdapat makaroni dan daging sapi giling, kue manis yang campuran roti, madu, gula, dan pecahan kacangn almond, beberapa jenis roti, minuman sampai buah-buahan seperti anggur, kiwi, dan apricot termasuk barbecue dengan memanggang daging khasnya. Disini saya mencicipi kue manis dan buah-buahanya saja.<br />Setelah beristirahat beberapa saat, penjelajahan dilanjutkan ke stand China yang letaknya paling depan. Makanan di sini, semuanya sama dengan di Indonesia yaitu gorengan seperti lumpia, pangsit, dan kroket dan tidak seperti Yunani yang bebas mengambil apapun, disini pengunjung hanya di perbolehkan mengambil dua jenis saja. Kemudian kaki saya langkahkan menuju Syiria untuk menyicipi bubur putih dengan campuran kacang dan salad. Beberapa saat sebelum ke stand Rumania, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk berfoto bersama model-model dari Indonesia yang akan pentas di catwalk dengan memakai pakaian pernikahan adat Betawi, Sumatra Barat dan Ambon. Di stand Rumania saya mencicipi campuran minuman khasnya berupa campuran air es, susu, vanila dan telur yang bernama Lapte de Pasare. wah segar sekali lo rasanya...he he.<br />Untuk menambah keseimbangan asupan gizi, saya kemudian pindah ke stand India untuk mencoba makanan berupa sate ayam dan nasi Biriyani yang mirip nasi di Pakistan bedanya di India nasinya berwarna warni ada yang kuning, kecoklatan dan putih. Di stand Kroasia saya menyicipi biskuit dengan pasta ikan di atasnya. Sedangkan di stand Iran dan Kenya saya hanya mencicipi kue-kue kecilnya yang manis bertaburan wijen dan almond. Untuk menutup penjelajahan kuliner ini, saya memilih stand Costa Rica yang menyajikan buah-buahan tropis seperti Nanas dan Melon yang manisnya <span style="font-style: italic;">subhanallah</span>. <span style="font-style: italic;">Alhamdulillah</span>...<br />Setelah penjelajahan kuliner selesai, saya dan teman-teman menuju panggung utama untuk melihat <span style="font-style: italic;">fashion show</span> yang menggambarkan keanekaragaman pakaian tradisional ke duapuluh negara. Nah, sebagai calon antropolog, ada yang menarik dari pagelaran pakaian tradisional ini bahwa tidak seperti pakaian di jaman modern yang serba "terbuka", pakaian tradisional dari Yunani, Rusia, Belanda, China dan bahkan hampir semua kontestan sangat tertutup dengan tangan panjang dan jahitan yang menjulur ke bawah hingga mata kaki. Dari tampilan singkat itu tampak telah terjadinya <span style="font-style: italic;">shifthing</span> dalam pola berpakaian dari jaman tradisional menuju jaman modern.<br />Tampilan yang lain adalah pagelaran seni tari yang sayangnya tim Indonesia tidak bisa tampil karena beberapa penari Indonesia masih sibuk dengan final papernya. Padahal mba Ning, Dinar, Syndy, Oxal, dan Linda sebetulnya bisa saja di pasang di stage karena mereka bisa memberi workshop tarian Jawa yang gemulai dan halus itu. Untuk tampil di panggung itu sebetulnya hanya butuh confidence saja karena beberapa tampilan seperti dari Syprus dengan nyanyian falsnya dan dari Belanda dengan tarian "asal" geraknya bisa tampil impresive. Saya membayangkan jika tarian jawa itu bisa ditampilkan, publik akan sangat terpana oleh alunan gamelan dan gerakan-gerakan khas tarian Jawa.<br />Cultural festival kemudian ditutup dengan pengumuman pemenang yang didasarkan oleh penilaian dua orang juri yang tidak jelas alias di samarkan yang menurut Neda Wassie, ketua panitia, jumlahnya hanya dua orang. Mereka berkeliling ke seluruh stage dan stand untuk menilai tampilan seluruh peserta. Terpilih sebagai pemenang ajang tahunan ke-4 ini adalah kontestan asal China menyisihkan Pakistan yang tiga kali berturut-turut menjuarai festival ini. Walaupun tim Indonesia kalah, kami tetap bangga karena paling tidak kami sudah maksimal untuk mengibarkan merah putih di negeri Belanda. Satu hal yang tertinggal, kepanitiaan festival ini di handle seluruhnya oleh perempuan dan tidak satupun pria bahkan di akhir acara saya melihat beberapa panitia perempuan sedang membongkar tenda-tenda stand. wah luar biasa...<br />Leiden, 7 Juni 2010...<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><span id="leoHighlights_iframe_modal_span_container"><div id="leoHighlights_iframe_modal_div_container" style="position: absolute; visibility: hidden; display: none; width: 520px; height: 391px; z-index: 2147483647;" onmouseover="leoHighlightsHandleIFrameMouseOver();" onmouseout="leoHighlightsHandleIFrameMouseOut();"> <!-- Top iFrame --> <iframe id="leoHighlights_top_iframe" name="leoHighlights_top_iframe" title="leoHighlights_top_iframe" src="about:blank" vspace="0" hspace="0" marginwidth="0" marginheight="0" allowtransparency="true" style="position: absolute; top: 0px; left: 0px; width: 520px; height: 294px; z-index: 2147483647;" width="520" frameborder="0" height="294" scrolling="no"> </iframe> <!-- Bottom iFrame --> <iframe id="leoHighlights_bottom_iframe" name="leoHighlights_bottom_iframe" title="leoHighlights_bottom_iframe" src="about:blank" vspace="0" hspace="0" marginwidth="0" marginheight="0" allowtransparency="true" style="position: absolute; top: 294px; left: 96px; z-index: 2147483647;" width="" frameborder="0" height="" scrolling="no"> </iframe> </div> <script defer="defer" type="text/javascript"> var LEO_HIGHLIGHTS_INFINITE_LOOP_COUNT = 300; var LEO_HIGHLIGHTS_MAX_HIGHLIGHTS = 50; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_ID = "leoHighlights_top_iframe"; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_ID = "leoHighlights_bottom_iframe"; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_DIV_ID = "leoHighlights_iframe_modal_div_container"; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_COLLAPSED_WIDTH = 520; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_COLLAPSED_HEIGHT = 391; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_EXPANDED_WIDTH = 520; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_EXPANDED_HEIGHT = 665; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_POS_X = 0; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_POS_Y = 0; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_WIDTH = 520; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_HEIGHT = 294; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_POS_X = 96; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_POS_Y = 294; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_COLLAPSED_WIDTH = 425; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_COLLAPSED_HEIGHT = 97; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_EXPANDED_WIDTH = 425; var LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_EXPANDED_HEIGHT = 371; var LEO_HIGHLIGHTS_SHOW_DELAY_MS = 300; var LEO_HIGHLIGHTS_HIDE_DELAY_MS = 750; var LEO_HIGHLIGHTS_BACKGROUND_STYLE_DEFAULT = "transparent none repeat scroll 0% 0%"; var LEO_HIGHLIGHTS_BACKGROUND_STYLE_HOVER = "rgb(245, 245, 0) none repeat scroll 0% 0%"; var LEO_HIGHLIGHTS_ROVER_TAG = "711-36858-13496-14"; createInlineScriptElement("var%20LEO_HIGHLIGHTS_DEBUG%20%3D%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20false%3B%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_DEBUG_POS%20%3D%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20false%3B%0A%20%20%20%0Avar%20_leoHighlightsPrevElem%20%3D%20null%3B%0A%0A/**%0A%20*%20Checks%20if%20the%20passed%20in%20class%20exists%0A%20*%20@param%20c%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsClassExists%28c%29%20%7B%0A%20%20%20return%20typeof%28c%29%20%3D%3D%20%22function%22%20%26%26%20typeof%28c.prototype%29%20%3D%3D%20%22object%22%20?%20true%20%3A%20false%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Checks%20if%20the%20firebug%20console%20is%20available%0A%20*%20@param%20c%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsFirebugConsoleAvailable%28c%29%20%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20if%28_leoHighlightsClassExists%28_FirebugConsole%29%20%26%26%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20window.console%20%26%26%20console.log%20%26%26%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%28console%20instanceof%20_FirebugConsole%29%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20return%20true%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%7B%7D%0A%20%20%20%0A%20%20%20return%20false%3B%0A%7D%20%0A%0A%0A/**%0A%20*%20General%20method%20used%20to%20debug%20exceptions%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20location%0A%20*%20@param%20e%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsReportExeception%28location%2Ce%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20if%28_leoHighlightsFirebugConsoleAvailable%28%29%20||LEO_HIGHLIGHTS_DEBUG%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20logString%3Dlocation+%22%3A%20%22+e+%22%5Cn%5Ct%22+e.name+%22%5Cn%5Ct%22+%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%28e.number%260xFFFF%29+%22%5Cn%5Ct%22+e.description%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%28_leoHighlightsFirebugConsoleAvailable%28%29%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20console.error%28logString%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20console.trace%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20if%28LEO_HIGHLIGHTS_DEBUG%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20alert%28logString%29%3B%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%7B%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20log%20a%20string%20to%20the%20firebug%20console%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20str%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsDebugLog%28str%29%0A%7B%20%20%20%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20if%28_leoHighlightsFirebugConsoleAvailable%28%29%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20console.log%28typeof%28_FirebugConsole%29+%22%20%22+str%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsDebugLog%28%29%20%22+str%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20get%20an%20attribute%20and%20decode%20it.%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20elem%0A%20*%20@param%20id%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsGetAttrib%28elem%2Cid%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20var%20val%3Delem.getAttribute%28id%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20return%20decodeURI%28val%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsGetAttrib%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20return%20null%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20is%20a%20dimensions%20object%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20width%0A%20*%20@param%20height%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20LeoHighlightsDimension%28width%2Cheight%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09this.width%3Dwidth%3B%0A%20%20%20%09this.height%3Dheight%3B%0A%20%20%20%09this.toString%3Dfunction%28%29%20%7B%20return%20%28%22%28%22+this.width+%22%2C%22+this.height+%22%29%22%29%3B%7D%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22new%20LeoHighlightsDimension%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20is%20a%20Position%20object%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20x%0A%20*%20@param%20y%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20LeoHighlightsPosition%28x%2Cy%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09this.x%3Dx%3B%0A%20%20%20%09this.y%3Dy%3B%0A%20%20%20%09this.toString%3Dfunction%28%29%20%7B%20return%20%28%22%28%22+this.x+%22%2C%22+this.y+%22%29%22%29%3B%7D%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22new%20LeoHighlightsPosition%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_ADJUSTMENT%20%3D%20new%20LeoHighlightsPosition%283%2C3%29%3B%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_SIZE%20%3D%20new%20LeoHighlightsDimension%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_WIDTH%2CLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_HEIGHT%29%3B%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_HOVER_SIZE%20%3D%20new%20LeoHighlightsDimension%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_COLLAPSED_WIDTH%2CLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_COLLAPSED_HEIGHT%29%3B%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_CLICK_SIZE%20%3D%20new%20LeoHighlightsDimension%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_EXPANDED_WIDTH%2CLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_EXPANDED_HEIGHT%29%3B%0A%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_DIV_HOVER_SIZE%20%3D%20new%20LeoHighlightsDimension%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_COLLAPSED_WIDTH%2CLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_COLLAPSED_HEIGHT%29%3B%0Avar%20LEO_HIGHLIGHTS_DIV_CLICK_SIZE%20%3D%20new%20LeoHighlightsDimension%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_EXPANDED_WIDTH%2CLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOTAL_EXPANDED_HEIGHT%29%3B%0A%0A%0A/**%0A%20*%20Sets%20the%20size%20of%20the%20passed%20in%20element%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20elem%0A%20*%20@param%20dim%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsSetSize%28elem%2Cdim%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09//%20Set%20the%20popup%20location%0A%20%20%20%09elem.style.width%20%3D%20dim.width%20+%20%22px%22%3B%0A%20%20%20%09if%28elem.width%29%0A%20%20%20%09%09elem.width%3Ddim.width%3B%0A%20%20%20%09elem.style.height%20%20%3D%20dim.height%20+%20%22px%22%3B%0A%20%20%20%09if%28elem.height%29%0A%20%20%20%09%09elem.height%3Ddim.height%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsSetSize%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20can%20be%20used%20for%20a%20simple%20one%20argument%20callback%0A%20*%0A%20*%20@param%20callName%0A%20*%20@param%20argName%0A%20*%20@param%20argVal%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsSimpleGwCallBack%28callName%2CargName%2C%20argVal%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20var%20gwObj%20%3D%20new%20Gateway%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28argName%29%0A%20%20%20%20%20%20%09gwObj.addParam%28argName%2CargVal%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.callName%28callName%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsSimpleGwCallBack%28%29%20%22+callName%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20gets%20a%20url%20argument%20from%20the%20current%20document.%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsGetUrlArg%28url%2C%20name%20%29%0A%7B%0A%09%20%20name%20%3D%20name.replace%28/[%5C[]/%2C%22%5C%5C%5C[%22%29.replace%28/[%5C]]/%2C%22%5C%5C%5C]%22%29%3B%0A%09%20%20var%20regexS%20%3D%20%22[%5C%5C?%26]%22+name+%22%3D%28[^%26%23]*%29%22%3B%0A%09%20%20var%20regex%20%3D%20new%20RegExp%28%20regexS%20%29%3B%0A%09%20%20var%20results%20%3D%20regex.exec%28url%29%3B%0A%09%20%20if%28%20results%20%3D%3D%20null%20%29%0A%09%20%20%20%20return%20%22%22%3B%0A%09%20%20else%0A%09%20%20%20%20return%20results[1]%3B%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20allows%20to%20redirect%20the%20top%20window%20to%20the%20passed%20in%20url%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsRedirectTop%28url%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%20%20%09%0A%20%20%20%09top.location%3Durl%3B%09%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsRedirectTop%28%29%22%2Ce%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20find%20an%20element%20by%20Id%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20elemId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsFindElementById%28elemId%2Cdoc%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%20%20%20if%28doc%3D%3Dnull%29%0A%09%20%20%20%20%20%20doc%3Ddocument%3B%0A%09%20%20%20%0A%09%09var%20elem%3Ddoc.getElementById%28elemId%29%3B%0A%09%09if%28elem%29%0A%09%09%09return%20elem%3B%0A%09%09%0A%09%09/*%20This%20is%20the%20handling%20for%20IE%20*/%0A%09%09if%28doc.all%29%0A%09%09%7B%0A%09%09%09elem%3Ddoc.all[elemId]%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%28elem%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09return%20elem%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20for%20%28%20var%20i%20%3D%20%28document.all.length-1%29%3B%20i%20%3E%3D%200%3B%20i--%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09elem%3Ddoc.all[i]%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09if%28elem.id%3D%3DelemId%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20return%20elem%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%0A%09%09%7D%0A%09%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsFindElementById%28%29%22%2Ce%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%09return%20null%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Get%20the%20location%20of%20one%20element%20relative%20to%20a%20parent%20reference%0A%20*%0A%20*%20@param%20ref%0A%20*%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20the%20reference%20element%2C%20this%20must%20be%20a%20parent%20of%20the%20passed%20in%0A%20*%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20element%0A%20*%20@param%20elem%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsGetLocation%28ref%2C%20elem%29%20%7B%0A%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22_leoHighlightsGetLocation%20%22+elem.id%29%3B%0A%20%20%20%0A%20%20%20var%20count%20%3D%200%3B%0A%20%20%20var%20location%20%3D%20new%20LeoHighlightsPosition%280%2C0%29%3B%0A%20%20%20var%20walk%20%3D%20elem%3B%0A%20%20%20while%20%28walk%20%21%3D%20null%20%26%26%20walk%20%21%3D%20ref%20%26%26%20count%20%3C%20LEO_HIGHLIGHTS_INFINITE_LOOP_COUNT%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20location.x%20+%3D%20walk.offsetLeft%3B%0A%20%20%20%20%20%20location.y%20+%3D%20walk.offsetTop%3B%0A%20%20%20%20%20%20walk%20%3D%20walk.offsetParent%3B%0A%20%20%20%20%20%20count++%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20%0A%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22Location%20is%3A%20%22+elem.id+%22%20-%20%22+location%29%3B%0A%0A%20%20%20return%20location%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20is%20used%20to%20update%20the%20position%20of%20an%20element%20as%20a%20popup%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20IFrame%0A%20*%20@param%20anchor%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsUpdatePopupPos%28iFrame%2Canchor%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20//%20Gets%20the%20scrolled%20location%20for%20x%20and%20y%0A%20%20%20%20%20%20var%20scrolledPos%3Dnew%20LeoHighlightsPosition%280%2C0%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28%20self.pageYOffset%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.x%20%3D%20self.pageXOffset%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.y%20%3D%20self.pageYOffset%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20if%28%20document.documentElement%20%26%26%20document.documentElement.scrollTop%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.x%20%3D%20document.documentElement.scrollLeft%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.y%20%3D%20document.documentElement.scrollTop%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20if%28%20document.body%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.x%20%3D%20document.body.scrollLeft%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20scrolledPos.y%20%3D%20document.body.scrollTop%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Get%20the%20total%20dimensions%20to%20see%20what%20scroll%20bars%20might%20be%20active%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20totalDim%3Dnew%20LeoHighlightsDimension%280%2C0%29%0A%20%20%20%20%20%20if%20%28document.all%20%26%26%20document.documentElement%20%26%26%20%0A%20%20%20%20%20%20%09document.documentElement.clientHeight%26%26document.documentElement.clientWidth%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%09totalDim.width%20%3D%20document.documentElement.scrollWidth%3B%0A%20%20%20%20%20%20%09totalDim.height%20%3D%20document.documentElement.scrollHeight%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20else%20if%20%28document.all%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%20/*%20This%20is%20in%20IE%20*/%0A%20%20%20%20%20%09%20%09totalDim.width%20%3D%20document.body.scrollWidth%3B%0A%20%20%20%20%20%20%09totalDim.height%20%3D%20document.body.scrollHeight%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20else%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%09%20totalDim.width%20%3D%20document.width%3B%0A%20%20%20%20%20%20%09%20totalDim.height%20%3D%20document.height%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%0A%20%20%20%20%20%20//%20Gets%20the%20location%20of%20the%20available%20screen%20space%0A%20%20%20%20%20%20var%20centerDim%3Dnew%20LeoHighlightsDimension%280%2C0%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28self.innerWidth%20%26%26%20self.innerHeight%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.width%20%3D%20self.innerWidth-%28totalDim.height%3Eself.innerHeight?16%3A0%29%3B%20//%20subtracting%20scroll%20bar%20offsets%20for%20firefox%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.height%20%3D%20self.innerHeight-%28totalDim.width%3Eself.innerWidth?16%3A0%29%3B%20%20//%20subtracting%20scroll%20bar%20offsets%20for%20firefox%0A%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20if%28%20document.documentElement%20%26%26%20document.documentElement.clientHeight%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.width%20%3D%20document.documentElement.clientWidth%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.height%20%3D%20document.documentElement.clientHeight%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20if%28%20document.body%20%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.width%20%3D%20document.body.clientWidth%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20centerDim.height%20%3D%20document.body.clientHeight%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20//%20Get%20the%20current%20dimension%20of%20the%20popup%20element%0A%20%20%20%20%20%20var%20iFrameDim%3Dnew%20LeoHighlightsDimension%28iFrame.offsetWidth%2CiFrame.offsetHeight%29%0A%20%20%20%20%20%20if%20%28iFrameDim.width%20%3C%3D%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%09iFrameDim.width%20%3D%20iFrame.style.width.substring%280%2C%20iFrame.style.width.indexOf%28%27px%27%29%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%20%28iFrameDim.height%20%3C%3D%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%09iFrameDim.height%20%3D%20iFrame.style.height.substring%280%2C%20iFrame.style.height.indexOf%28%27px%27%29%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Calculate%20the%20position%2C%20lower%20right%20hand%20corner%20by%20default%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20position%3Dnew%20LeoHighlightsPosition%280%2C0%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20position.x%3DscrolledPos.x+centerDim.width-iFrameDim.width-LEO_HIGHLIGHTS_ADJUSTMENT.x%3B%0A%20%20%20%20%20%20position.y%3DscrolledPos.y+centerDim.height-iFrameDim.height-LEO_HIGHLIGHTS_ADJUSTMENT.y%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20if%28anchor%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20//centerDim%20in%20relation%20to%20the%20anchor%20element%20if%20available%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20topOrBottom%20%3D%20false%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20anchorPos%3D_leoHighlightsGetLocation%28document.body%2C%20anchor%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20anchorScreenPos%20%3D%20new%20LeoHighlightsPosition%28anchorPos.x-scrolledPos.x%2CanchorPos.y-scrolledPos.y%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20anchorDim%3Dnew%20LeoHighlightsDimension%28anchor.offsetWidth%2Canchor.offsetHeight%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28anchorDim.width%20%3C%3D%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09anchorDim.width%20%3D%20anchor.style.width.substring%280%2C%20anchor.style.width.indexOf%28%27px%27%29%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28anchorDim.height%20%3C%3D%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09anchorDim.height%20%3D%20anchor.style.height.substring%280%2C%20anchor.style.height.indexOf%28%27px%27%29%29%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20//%20Check%20if%20the%20popup%20can%20be%20shown%20above%20or%20below%20the%20element%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28centerDim.height%20-%20anchorDim.height%20-%20iFrameDim.height%20-%20anchorScreenPos.y%20%3E%200%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09//%20Show%20below%2C%20formula%20above%20calculates%20space%20below%20open%20iFrame%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20position.y%20%3D%20anchorPos.y%20+%20anchorDim.height%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20topOrBottom%20%3D%20true%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20if%20%28anchorScreenPos.y%20-%20anchorDim.height%20-%20iFrameDim.height%20%3E%200%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09//%20Show%20above%2C%20formula%20above%20calculates%20space%20above%20open%20iFrame%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09position.y%20%3D%20anchorPos.y%20-%20iFrameDim.height%20-%20anchorDim.height%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20topOrBottom%20%3D%20true%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22_leoHighlightsUpdatePopupPos%28%29%20-%20topOrBottom%3A%20%22+topOrBottom%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28topOrBottom%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20//%20We%20attempt%20top%20attach%20the%20window%20to%20the%20element%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09position.x%20%3D%20anchorPos.x%20-%20iFrameDim.width%20/%202%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28position.x%20%3C%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09position.x%20%3D%200%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20else%20if%20%28position.x%20+%20iFrameDim.width%20%3E%20scrolledPos.x%20+%20centerDim.width%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09position.x%20%3D%20scrolledPos.x%20+%20centerDim.width%20-%20iFrameDim.width%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22_leoHighlightsUpdatePopupPos%28%29%20-%20topOrBottom%3A%20%22+position%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%20else%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20//%20Attempt%20to%20align%20on%20the%20right%20or%20left%20hand%20side%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20if%20%28centerDim.width%20-%20anchorDim.width%20-%20iFrameDim.width%20-%20anchorScreenPos.x%20%3E%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20position.x%20%3D%20anchorPos.x%20+%20anchorDim.width%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20else%20if%20%28anchorScreenPos.x%20-%20anchorDim.width%20-%20iFrameDim.width%20%3E%200%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%09position.x%20%3D%20anchorPos.x%20-%20anchorDim.width%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20else%20%20//%20default%20to%20below%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20position.y%20%3D%20anchorPos.y%20+%20anchorDim.height%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22_leoHighlightsUpdatePopupPos%28%29%20-%20sideBottom%3A%20%22+position%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Make%20sure%20that%20we%20don%27t%20go%20passed%20the%20right%20hand%20border%20*/%0A%20%20%20%20%20%20if%28position.x+iFrameDim.width%3EcenterDim.width-20%29%0A%20%20%20%20%20%20%09position.x%3DcenterDim.width-%28iFrameDim.width+20%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%09%09%0A%20%20%20%20%20%20//%20Make%20sure%20that%20we%20didn%27t%20go%20passed%20the%20start%0A%20%20%20%20%20%20if%28position.x%3C0%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20position.x%3D0%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28position.y%3C0%29%0A%20%20%20%20%20%20%09position.y%3D0%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22Popup%20info%20id%3A%20%20%20%20%20%20%20%22%20+iFrame.id+%22%20-%20%22+anchor.id%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5Cnscrolled%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%22%20+%20scrolledPos%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5Cncenter/visible%20%20%20%20%22%20+%20centerDim%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5Cnanchor%20%28absolute%29%20%22%20+%20anchorPos%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5Cnanchor%20%28screen%29%20%20%20%22%20+%20anchorScreenPos%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5CnSize%20%28anchor%29%20%20%20%20%20%22%20+%20anchorDim%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5CnSize%20%28popup%29%20%20%20%20%20%20%22%20+%20iFrameDim%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20+%20%22%5CnResult%20pos%20%20%20%20%20%20%20%20%22%20+%20position%29%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20//%20Set%20the%20popup%20location%0A%20%20%20%20%20%20iFrame.style.left%20%3D%20position.x%20+%20%22px%22%3B%0A%20%20%20%20%20%20iFrame.style.top%20%20%3D%20position.y%20+%20%22px%22%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsUpdatePopupPos%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20show%20the%20passed%20in%20element%20as%20a%20popup%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20anchorId%0A%20*%20@param%20size%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsShowPopup%28anchorId%2Csize%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09var%20popup%3Dnew%20LeoHighlightsPopup%28anchorId%2Csize%29%3B%0A%20%20%20%09popup.show%28%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22_leoHighlightsShowPopup%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20transform%20the%20passed%20in%20url%20to%20a%20rover%20url%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsGetRoverUrl%28url%29%0A%7B%0A%09var%20rover%3DLEO_HIGHLIGHTS_ROVER_TAG%3B%0A%09var%20roverUrl%3D%22http%3A//rover.ebay.com/rover/1/%22+rover+%22/4?%26mpre%3D%22+encodeURI%28url%29%3B%0A%09%0A%09return%20roverUrl%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Sets%20the%20size%20of%20the%20bottom%20windown%20part%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20size%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20_leoHighlightsSetBottomSize%28size%2CclickId%29%0A%7B%0A%20%20%20/*%20Get%20the%20elements%20*/%0A%20%20%20var%20iFrameBottom%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_ID%29%3B%0A%20%20%20var%20iFrameDiv%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_DIV_ID%29%3B%0A%0A%20%20%20/*%20Figure%20out%20the%20correct%20sizes%20*/%0A%20%20%20var%20iFrameBottomSize%3D%28size%3D%3D1%29?LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_CLICK_SIZE%3ALEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_HOVER_SIZE%3B%0A%20%20%20var%20divSize%3D%28size%3D%3D1%29?LEO_HIGHLIGHTS_DIV_CLICK_SIZE%3ALEO_HIGHLIGHTS_DIV_HOVER_SIZE%3B%0A%0A%20%20%20/*%20Refresh%20the%20iFrame%27s%20url%2C%20by%20removing%20the%20size%20arg%20and%20adding%20it%20again%20*/%0A%20%20%20leoHighlightsUpdateUrl%28iFrameBottom%2Csize%2CclickId%29%3B%0A%0A%20%20%20/*%20Clear%20the%20hover%20flag%2C%20if%20the%20user%20shows%20this%20at%20full%20size%20*/%0A%20%20%20_leoHighlightsPrevElem.hover%3Dsize%3D%3D1?false%3Atrue%3B%0A%0A%20%20%20_leoHighlightsSetSize%28iFrameBottom%2CiFrameBottomSize%29%3B%0A%20%20%20_leoHighlightsSetSize%28iFrameDiv%2CdivSize%29%3B%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20Class%20for%20a%20Popup%20%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20anchorId%0A%20*%20@param%20size%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20LeoHighlightsPopup%28anchorId%2Csize%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22LeoHighlightsPopup%28%29%20%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%09this.anchorId%3DanchorId%3B%0A%20%20%20%09this.anchor%3D_leoHighlightsFindElementById%28this.anchorId%29%3B%0A%20%20%20%09this.topIframe%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_ID%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20this.bottomIframe%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_ID%29%3B%0A%20%20%20%09this.iFrameDiv%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_DIV_ID%29%3B%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%09this.topIframe.src%3Dunescape%28this.anchor.getAttribute%28%27leoHighlights_url_top%27%29%29%3B%3B%0A%20%20%20%20%20%20this.bottomIframe.src%3Dunescape%28this.anchor.getAttribute%28%27leoHighlights_url_bottom%27%29%29%3B%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%221%29%20LeoHighlightsPopup%28%29%20%28%22+this.topIframe.style.top+%22%2C%20%22+this.topIframe.style.left+%22%29%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%222%29%20LeoHighlightsPopup%28%29%20%28%22+this.bottomIframe.style.top+%22%2C%20%22+this.bottomIframe.style.left+%22%29%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%09leoHighlightsSetSize%28size%29%3B%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%09this.updatePos%3Dfunction%28%29%20%7B%20_leoHighlightsUpdatePopupPos%28this.iFrameDiv%2Cthis.anchor%29%7D%3B%0A%20%20%20%20%20%20this.show%3Dfunction%28%29%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20this.updatePos%28%29%3B%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20this.iFrameDiv.style.visibility%20%3D%20%22visible%22%3B%20%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20this.iFrameDiv.style.display%20%3D%20%22block%22%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20this.updatePos%28%29%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%223%29%20LeoHighlightsPopup%28%29%20%28%22+this.topIframe.style.top+%22%2C%20%22+this.topIframe.style.left+%22%29%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%224%29%20LeoHighlightsPopup%28%29%20%28%22+this.bottomIframe.style.top+%22%2C%20%22+this.bottomIframe.style.left+%22%29%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7D%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%09this.scroll%3Dfunction%28%29%20%7B%20this.updatePos%28%29%3B%7D%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22new%20LeoHighlightsPopup%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20updates%20the%20url%20for%20the%20iFrame%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20iFrame%0A%20*%20@param%20size%0A%20*%20@param%20clickId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsUpdateUrl%28iFrame%2Csize%2CclickId%2CdestUrl%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsUpdateUrl%28%29%20%22+destUrl%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20var%20url%3DiFrame.src%3B%0A%20%20%20%20%20%20var%20idx%3Durl.indexOf%28%22%26size%3D%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28idx%3E%3D0%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20url%3Durl.substring%280%2Cidx%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A//%20%20%20%20%20%20size%3D1%3B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsUpdateUrl%28%29%20size%3D%22+size+%22%20%20%22+url%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20if%28size%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20url+%3D%28%22%26size%3D%22+size%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28clickId%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20url+%3D%28%22%26clickId%3D%22+clickId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28destUrl%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20url+%3D%28%22%26url%3D%22+destUrl%29%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsUpdateUrl%28%29%20%22+url%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20iFrame.src%3Durl%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsUpdateUrl%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A%0A%0A/**%0A*%0A*%20This%20can%20be%20used%20to%20close%20an%20iframe%0A*%0A*%20@param%20id%0A*%20@return%0A*/%0Afunction%20leoHighlightsSetSize%28size%2CclickId%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09/*%20Get%20the%20element%20*/%0A%20%20%09%09var%20iFrameTop%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_ID%29%3B%0A%0A%20%20%09%09/*%20Figure%20out%20the%20correct%20sizes%20*/%0A%20%20%09%09var%20iFrameTopSize%3DLEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_SIZE%3B%0A%20%20%09%09%0A%20%20%09%09/*%20Refresh%20the%20iFrame%27s%20url%2C%20by%20removing%20the%20size%20arg%20and%20adding%20it%20again%20*/%0A%20%20%09%09leoHighlightsUpdateUrl%28iFrameTop%2Csize%2CclickId%29%3B%0A%20%20%09%09%0A%20%20%09%09_leoHighlightsSetSize%28iFrameTop%2CiFrameTopSize%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsSetBottomSize%28size%2CclickId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Clear%20the%20hover%20flag%2C%20if%20the%20user%20shows%20this%20at%20full%20size%20*/%0A%20%20%20%20%20%20if%28size%3D%3D1%26%26_leoHighlightsPrevElem%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsPrevElem.hover%3Dfalse%3B%20%20%20%20%20%20%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsSetSize%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Start%20the%20popup%20a%20little%20bit%20delayed.%0A%20*%20Somehow%20IE%20needs%20some%20time%20to%20find%20the%20element%20by%20id.%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20anchorId%0A%20*%20@param%20size%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsShowPopup%28anchorId%2Csize%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%09%09var%20elem%3D_leoHighlightsFindElementById%28anchorId%29%3B%0A%20%20%09%09if%28_leoHighlightsPrevElem%26%26%28_leoHighlightsPrevElem%21%3Delem%29%29%0A%20%20%09%09%09_leoHighlightsPrevElem.shown%3Dfalse%3B%0A%20%20%09%09elem.shown%3Dtrue%3B%0A%09%09_leoHighlightsPrevElem%3Delem%3B%0A%09%09%0A%09%09_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsShowPopup%28%29%20%22+_leoHighlightsPrevElem%29%3B%09%09%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%09/*%20FF%20needs%20to%20find%20the%20element%20first%20*/%0A%20%20%20%09_leoHighlightsFindElementById%28anchorId%29%3B%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%09setTimeout%28%22_leoHighlightsShowPopup%28%5C%27%22+anchorId+%22%5C%27%2C%5C%27%22+size+%22%5C%27%29%3B%22%2C10%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsShowPopup%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A/**%0A*%0A*%20This%20can%20be%20used%20to%20close%20an%20iframe%0A*%0A*%20@param%20id%0A*%20@return%0A*/%0Afunction%20leoHighlightsHideElem%28id%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09/*%20Get%20the%20appropriate%20sizes%20*/%0A%20%20%09%09var%20elem%3D_leoHighlightsFindElementById%28id%29%3B%0A%20%20%09%09if%28elem%29%0A%20%20%09%09%09elem.style.visibility%3D%22hidden%22%3B%0A%20%20%09%09%0A%20%20%09%09/*%20Clear%20the%20page%20for%20the%20next%20run%20through%20*/%0A%20%20%09%09var%20iFrame%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_ID%29%3B%0A%20%20%09%09if%28iFrame%29%0A%20%20%09%09%09iFrame.src%3D%22about%3Ablank%22%3B%0A%20%20%20%20%20%20var%20iFrame%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_ID%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28iFrame%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20iFrame.src%3D%22about%3Ablank%22%3B%0A%20%20%09%09%0A%20%20%09%09%0A%20%20%09%09if%28_leoHighlightsPrevElem%29%0A%20%20%09%09%7B%0A%20%20%09%09%09_leoHighlightsPrevElem.shown%3Dfalse%3B%0A%20%20%09%09%09_leoHighlightsPrevElem%3Dnull%3B%0A%20%20%09%09%7D%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHideElem%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A*%0A*%20This%20can%20be%20used%20to%20close%20an%20iframe.%0A*%20Since%20the%20iFrame%20is%20reused%20the%20frame%20only%20gets%20hidden%0A*%0A*%20@return%0A*/%0Afunction%20leoHighlightsIFrameClose%28%29%0A%7B%0A%20%20try%0A%20%20%7B%0A%09%20%20_leoHighlightsSimpleGwCallBack%28%22LeoHighlightsHideIFrame%22%29%3B%0A%20%20%7D%0A%20%20catch%28e%29%0A%20%20%7B%0A%09%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsIFrameClose%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20should%20handle%20the%20click%20events%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20anchorId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleClick%28anchorId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%09%09var%20anchor%3D_leoHighlightsFindElementById%28anchorId%29%3B%0A%20%20%09%09anchor.hover%3Dfalse%3B%0A%20%20%09%09if%28anchor.startTimer%29%0A%20%20%09%09%09clearTimeout%28anchor.startTimer%29%3B%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Report%20the%20click%20event%20*/%0A%20%20%20%20%20%20leoHighlightsReportEvent%28%22clicked%22%2C%20window.document.domain%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_keywords%27%29%2Cnull%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_accept%27%29%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_reject%27%29%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%09leoHighlightsShowPopup%28anchorId%2C1%29%3B%0A%20%20%20%09return%20false%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleClick%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20should%20handle%20the%20hover%20events%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20anchorId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleHover%28anchorId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%09%09var%20anchor%3D_leoHighlightsFindElementById%28anchorId%29%3B%0A%20%20%09%09anchor.hover%3Dtrue%3B%0A%20%20%09%09%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Report%20the%20hover%20event%20*/%0A%20%20%20%20%20%20leoHighlightsReportEvent%28%22hovered%22%2C%20window.document.domain%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_keywords%27%29%2Cnull%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_accept%27%29%2C%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsGetAttrib%28anchor%2C%27leohighlights_reject%27%29%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%09leoHighlightsShowPopup%28anchorId%2C0%29%3B%0A%20%20%20%09return%20false%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleHover%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%09%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20handle%20the%20mouse%20over%20setup%20timers%20for%20the%20appropriate%20timers%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20id%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleMouseOver%28id%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09var%20anchor%3D_leoHighlightsFindElementById%28id%29%3B%09%09%0A%0A%09%09/*%20Clear%20the%20end%20timer%20if%20required%20*/%0A%09%09if%28anchor.endTimer%29%0A%09%09%09clearTimeout%28anchor.endTimer%29%3B%0A%09%09anchor.endTimer%3Dnull%3B%0A%09%09%0A%09%09anchor.style.background%3DLEO_HIGHLIGHTS_BACKGROUND_STYLE_HOVER%3B%0A%09%09%0A%09%09/*%20The%20element%20is%20already%20showing%20we%20are%20done%20*/%0A%09%09if%28anchor.shown%29%0A%09%09%09return%3B%0A%09%09%0A%09%09/*%20Setup%20the%20start%20timer%20if%20required%20*/%0A%09%09anchor.startTimer%3DsetTimeout%28function%28%29%7B%0A%09%09%09leoHighlightsHandleHover%28anchor.id%29%3B%0A%09%09%09anchor.hover%3Dtrue%3B%0A%09%09%09%7D%2C%0A%09%09%09LEO_HIGHLIGHTS_SHOW_DELAY_MS%29%3B%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleMouseOver%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20handle%20the%20mouse%20over%20setup%20timers%20for%20the%20appropriate%20timers%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20id%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleMouseOut%28id%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%09%0A%09%09var%20anchor%3D_leoHighlightsFindElementById%28id%29%3B%0A%09%09%0A%09%09/*%20Clear%20the%20start%20timer%20if%20required%20*/%0A%09%09if%28anchor.startTimer%29%0A%09%09%09clearTimeout%28anchor.startTimer%29%3B%0A%09%09anchor.startTimer%3Dnull%3B%0A%09%09%0A%09%09anchor.style.background%3DLEO_HIGHLIGHTS_BACKGROUND_STYLE_DEFAULT%3B%0A%09%09if%28%21anchor.shown||%21anchor.hover%29%0A%09%09%09return%3B%0A%09%09%0A%09%09/*%20Setup%20the%20start%20timer%20if%20required%20*/%0A%09%09anchor.endTimer%3DsetTimeout%28function%28%29%7B%0A%09%09%09leoHighlightsHideElem%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_DIV_ID%29%3B%0A%09%09%09anchor.shown%3Dfalse%3B%0A%09%09%09_leoHighlightsPrevElem%3Dnull%3B%0A%09%09%09%7D%2CLEO_HIGHLIGHTS_HIDE_DELAY_MS%29%3B%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleMouseOut%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20handles%20the%20mouse%20movement%20into%20the%20currently%20opened%20window.%0A%20*%20Just%20clear%20the%20close%20timer%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleIFrameMouseOver%28%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09if%28_leoHighlightsPrevElem%26%26_leoHighlightsPrevElem.endTimer%29%0A%09%09%09clearTimeout%28_leoHighlightsPrevElem.endTimer%29%3B%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleIFrameMouseOver%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20handles%20the%20mouse%20movement%20into%20the%20currently%20opened%20window.%0A%20*%20Just%20clear%20the%20close%20timer%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20id%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsHandleIFrameMouseOut%28%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09if%28_leoHighlightsPrevElem%29%0A%09%09%09leoHighlightsHandleMouseOut%28_leoHighlightsPrevElem.id%29%3B%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsHandleIFrameMouseOut%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A/**%0A%20*%20This%20is%20a%20method%20is%20used%20to%20make%20the%20javascript%20within%20IE%20runnable%0A%20*/%0Avar%20leoHighlightsRanUpdateDivs%3Dfalse%3B%0Afunction%20leoHighlightsUpdateDivs%28%29%0A%7B%0A%09try%0A%09%7B%0A%09%09/*%20Check%20if%20this%20is%20an%20IE%20browser%20and%20if%20divs%20have%20been%20updated%20already%20*/%0A%09%09if%28document.all%26%26%21leoHighlightsRanUpdateDivs%29%0A%09%09%7B%0A%09%09%09leoHighlightsRanUpdateDivs%3Dtrue%3B%20//%20Set%20early%20to%20prevent%20running%20twice%0A%09%09%09for%28var%20i%3D0%3Bi%3CLEO_HIGHLIGHTS_MAX_HIGHLIGHTS%3Bi++%29%0A%09%09%09%7B%0A%09%09%09%09var%20id%3D%22leoHighlights_Underline_%22+i%3B%0A%09%09%09%09var%20elem%3D_leoHighlightsFindElementById%28id%29%3B%0A%09%09%09%09if%28elem%3D%3Dnull%29%0A%09%09%09%09%09break%3B%0A%09%09%09%09%0A%09%09%09%09if%28%21elem.leoChanged%29%0A%09%09%09%09%7B%0A%09%09%09%09%09elem.leoChanged%3Dtrue%3B%0A%09%09%09%09%0A%09%09%09%09%09/*%20This%20will%20make%20javaScript%20runnable%20*/%09%09%09%09%0A%09%09%09%09%09elem.outerHTML%3Delem.outerHTML%3B%0A%09%09%09%09%7D%0A%09%09%09%7D%0A%09%09%7D%0A%09%7D%0A%09catch%28e%29%0A%09%7B%0A%09%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsUpdateDivs%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%09%7D%0A%7D%0A%0Aif%28document.all%29%0A%09setTimeout%28leoHighlightsUpdateDivs%2C200%29%3B%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20is%20used%20to%20report%20events%20to%20the%20plugin%0A%20*%20@param%20key%0A%20*%20@param%20domain%0A%20*%20@param%20keywords%0A%20*%20@param%20vendorId%0A%20*%20@param%20accept%0A%20*%20@param%20reject%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsReportEvent%28key%2C%20domain%2Ckeywords%2CvendorId%2Caccept%2Creject%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20var%20gwObj%20%3D%20new%20Gateway%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22key%22%2Ckey%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28domain%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22domain%22%2Cdomain%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28keywords%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22keywords%22%2Ckeywords%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28vendorId%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22vendorId%22%2CvendorId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28accept%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22accept%22%2Caccept%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28reject%21%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22reject%22%2Creject%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.callName%28%22LeoHighlightsEvent%22%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlights%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20expand%20or%20collapse%20the%20window%20base%20on%20it%20prior%20state%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsToggleSize%28clickId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsToggleSize%28%29%20%22+_leoHighlightsPrevElem%29%3B%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Get%20the%20hover%20flag%20and%20change%20the%20status%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20size%3D_leoHighlightsPrevElem.hover?1%3A0%3B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsSetBottomSize%28size%2CclickId%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsToggleSize%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Call%20into%20the%20kvm%20that%20will%20then%20do%20a%20callback%20into%20the%20top%20window%0A%20*%20The%20top%20window%20will%20then%20call%20leoH%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsSetSecondaryWindowUrl%28url%2C%20customerId%2C%20phraseId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrl%28%29%20%22+url%29%3B%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20var%20gwObj%20%3D%20new%20Gateway%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22url%22%2C%20url%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22phraseId%22%2C%20phraseId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22customerId%22%2C%20customerId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.callName%28%22LeoHighlightsSetSecondaryWindowUrl%22%29%3B%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrl%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20Call%20into%20the%20kvm%20that%20will%20then%20do%20a%20callback%20into%20the%20top%20window%0A%20*%20The%20top%20window%20will%20then%20call%20leoH%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsSetSecondaryWindowUrlCallback%28url%2C%20customerId%2C%20phraseId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrlCallback%28%29%20%22+url%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Clear%20the%20hover%20flag%2C%20if%20the%20user%20shows%20this%20at%20full%20size%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20size%3D_leoHighlightsPrevElem.hover?0%3A1%3B%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrlCallback%28%29%20%22+_leoHighlightsPrevElem+%22%20--%20%22+_leoHighlightsPrevElem.hover%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Get%20the%20elements%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20iFrameBottom%3D_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_BOTTOM_ID%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20leoHighlightsUpdateUrl%28iFrameBottom%2Csize%2Cnull%2Curl%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrlCallback%28%29%20%22+url%29%3B%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsSetSecondaryWindowUrlCallback%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20set%20the%20text%20to%20the%20Top%20%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20txt%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHighlightsSetExpandTxt%28txt%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%0A%20%20%20%20%20%20var%20topIFrame%20%3D%20_leoHighlightsFindElementById%28LEO_HIGHLIGHTS_IFRAME_TOP_ID%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28topIFrame%3D%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20return%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Get%20the%20current%20url%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20url%3DtopIFrame.src%3B%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20if%28url%3D%3Dnull%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20return%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Extract%20the%20previous%20hash%20if%20present%20*/%0A%20%20%20%20%20%20var%20idx%3D-1%3B%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20if%28%28idx%3Durl.indexOf%28%27%23%27%29%29%3E0%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20url%3Durl.substring%280%2Cidx%29%3B%0A%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Append%20the%20text%20to%20the%20end%20*/%0A%20%20%20%20%20%20url+%3D%22%23%22+encodeURI%28txt%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20/*%20Set%20the%20iframe%20with%20the%20new%20url%20that%20contains%20the%20hash%20tag%20*/%0A%20%20%20%20%20%20topIFrame.src%3Durl%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHighlightsSetExpandTxt%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/*----------------------------------------------------------------------*/%0A/*%20Methods%20provided%20to%20the%20highlight%20providers...%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20*/%0A/*----------------------------------------------------------------------*/%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20set%20the%20expand%20text%20for%20the%20Top%20window%0A%20*/%0Afunction%20leoHL_SetExpandTxt%28txt%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsDebugLog%28%22leoHL_SetExpandTxt%28%29%20%22+txt%29%3B%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsSimpleGwCallBack%28%22LeoHighlightsSetExpandTxt%22%2C%22expandTxt%22%2Ctxt%29%3B%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHL_SetExpandTxt%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20redirect%20the%20top%20window%20to%20the%20passed%20in%20url%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@param%20parentId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHL_RedirectTop%28url%2CparentId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%0A%20%20%20%20%20%20try%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20domain%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22domain%22%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20keywords%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22keywords%22%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20vendorId%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22vendorId%22%29%0A%20%20%20%20%20%20leoHighlightsReportEvent%28%22clickthrough%22%2C%20domain%2Ckeywords%2C%20vendorId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7Dcatch%28e%29%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHL_RedirectTop%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%09%09%0A%20%20%20%09_leoHighlightsRedirectTop%28url%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHL_RedirectTop%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20redirect%20the%20top%20window%20to%20the%20passed%20in%20url%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@param%20parentId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20LeoHL_RedirectTop%28url%2CparentId%29%0A%7B%0A%20%20%20leoHL_RedirectTop%28url%2CparentId%29%3B%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20redirect%20the%20top%20window%20to%20the%20passed%20in%20url%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@param%20parentId%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHL_RedirectTopAd%28url%2CparentId%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%20%0A%20%20%20%20%20%20try%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20domain%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22domain%22%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20keywords%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22keywords%22%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20var%20vendorId%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28window.document.URL%2C%22vendorId%22%29%0A%20%20%20%20%20%20leoHighlightsReportEvent%28%22advertisement.click%22%2C%20domain%2Ckeywords%2C%20vendorId%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20%7Dcatch%28e%29%7B%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHL_RedirectTopAd%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20%7D%0A%20%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsRedirectTop%28url%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHL_RedirectTopAd%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20set%20the%20size%20of%20the%20iframe%0A%20*%20%0A%20*%20@param%20url%0A%20*%20@param%20parentId%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHl_setSize%28size%2Curl%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09/*%20Get%20the%20clickId%20*/%0A%20%20%20%09var%20clickId%3D_leoHighlightsGetUrlArg%28%20url%2C%22clickId%22%29%0A%20%20%20%09%0A%20%20%20%20%20%20var%20gwObj%20%3D%20new%20Gateway%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22size%22%2Csize%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20if%28clickId%29%0A%20%20%20%20%20%20%20%20%20gwObj.addParam%28%22clickId%22%2CclickId+%22_blah%22%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.callName%28%22LeoHighlightsSetSize%22%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%09_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHl_setSize%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%09%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A/**%0A%20*%20This%20will%20toggle%20the%20size%20of%20the%20window%0A%20*%20%0A%20*%20@return%0A%20*/%0Afunction%20leoHl_ToggleSize%28%29%0A%7B%0A%20%20%20try%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20var%20gwObj%20%3D%20new%20Gateway%28%29%3B%0A%20%20%20%20%20%20gwObj.callName%28%22LeoHighlightsToggleSize%22%29%3B%0A%20%20%20%7D%0A%20%20%20catch%28e%29%0A%20%20%20%7B%0A%20%20%20%20%20%20_leoHighlightsReportExeception%28%22leoHl_ToggleSize%28%29%22%2Ce%29%3B%20%20%20%20%20%0A%20%20%20%7D%0A%7D%0A%0A"); </script> </span>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-53343791626432053632010-04-30T00:05:00.000-07:002010-05-01T04:34:20.585-07:00Koninginnenedag; Pesta dan Karnaval Jalanan di Belanda<div style="text-align: justify;">Kamis sore setelah menjadi notulen rapat JKI (Jaringan Kerja Indonesia) Belanda di KITLV, beberapa teman mengajak saya untuk ikut ke Den Haag atau Amsterdam. Menurut mereka malam tanggal 29 April akan sangat panjang di dua kota itu karena besoknya tanggal 30 dirayakan hari kelahiran ratu Belanda. Karena sudah terlalu letih setelah melawati hari Kamis yang padat (sebelum rapat JKI saya harus presentasi proposal thesis di depan dua orang calon pembimbing) maka saya memilih untuk melihat-lihat acara spesial untuk warga belanda itu di Leiden saja.<br />Jam 23.00 saya dan beberapa orang teman menancap pedal sepeda menuju Leiden town hall dan sekitar 20an menit kemudian kami sampai di Bresstraat. Di jalan menuju town hall di depan kafe Sinai, sebuah panggung dengan live music cadas sudah menyambut kami. saya dan teman-teman hanya nonton ratusan pemuda dan pemudi yang sedang menikmati Heineken sambil berjoged. Tontonan itu semakin menarik untuk saya ketika ada salah seorang pemuda yang sudah teler dan mulai bertingkah (baca;rese). Berguling-gulingan di tengah keramaian, bangun kemudian mendorong siapapun yang menyenggol tubuhnya. Hebatnya, walaupun sama-sama mabuk, tidak sampai terjadi pemukulan, pengeroyokan, atau tawuran antar pengunjung dan geng masing-masing. Mungkin selain sadar hukum, mereka juga sama-sama tidak ingin merusak pesta besar itu.<br />Dengan susah payah karena harus melewati kerumunan orang mabok, saya dan teman-teman kemudian berpindah tempat untuk melihat dari sisi yang lain panggung itu. Ternyata di dekat town hall, ada panggung yang jauh lebih besar di banding yang pertama. Panggung yang paling besar itu terletak di atas jembatan yang menghubungkan kanal di jalan tempat biasa di gelarnya open markt (pasar kaget setiap Rabu dan Sabtu). Panitia mengubah jembatan menjadi seperti panggung konser dengan <span style="font-style: italic;">sound system</span> besar dan lampu-lampu tembak berwarna warni. Ajaibnya ribuan pengunjungnya ada di bawah kanal. Awalnya saya pikir mereka semua pakai ilmu meringankan tubuh yang biasa dimiliki pendekar-pendekar di dunia persilatan dijaman Bramakumbara, Mantili, dan lasmini karena bisa berjoged, berdansa dan berjalan-jalan di atas air, namun perkiraan saya meleset karena nyatanya panitia menutup permukaan kanal dengan lantai besi sehingga ribuan manusia bisa berdiri diatas kanaal tanpa takut tenggelam.<br />Panggung lainnya terletak di Anne Caffe di dekat Harlemstraat. Hampir mirip dengan panggung jembatan town hall, kelebihannya pengunjung masih bisa menggunakan sampan untuk jalan-jalan di atas air dengan iringan musik disco. Malam itu bau alkohol menyelimuti harlemstraal dan bresstraat. Satu hal menarik lain dari pesta malam ini adalah tidak ada anak kecil di bawah 17 atau 18 tahun yang ikut acara ini. Jadi tetap kebebasan itu ada batasnya loh walaupun di negara maju sekalipun...he he.<br />Masalahnya di negeri kita kan terkadang latah. Ingin meniru semirip-miripnya dengan negara maju termasuk dalam gaya hidupnya, sementara identitas bangsa sendiri cendrung dilupakan. Dalam konteks pesta dan life concert music di Serang, Cilegon, Pandeglang dan Lebak misalnya, baik di alun-alun maupun stadion, banyak anak usia SLTP bahkan usia di bawahnya bukan hanya menyaksikan consertnya namun juga malah ikut-ikutan merokok tanpa ada kontrol, sanksi bahkan sekedar teguran dari orang sekelilingnya. ini saya pikir harus menjadi keprihatinan kita bersama.<br /><span style="font-weight: bold;">30 Aprilnya</span><br />Setiap tanggal 30 April, Koningennenedag atau queensday (hari ratu) selalu di rayakan di seluruh kota-kota di Belanda. Karena Amsterdam adalah ibukota dan ratu Belanda beristana di sana, konsentrasi festival, life music, karnaval, dan pesta di pusatkan di kota yang indah itu. Menurut informasi dari beberapa teman, Amsterdam pada tanggal itu akan dipenuhi oleh warga belanda termasuk turis yang tidak hanya datang dari negara-negara tetangga Belanda tapi juga dari hampir seluruh daratan Eropa. Menurut sejarah, queensday ini sudah di selenggarakan sejak 50 tahun yang lalu untuk menghormati kelahiran ratu Juliana (saat ini Belanda dipimpin Ratu Betrix).<br />Saya berencana melihat Queensday ini di The Hague karena Amsterdam menurut sms dari seorang teman sudah sangat <span style="font-style: italic;">crowded</span> bahkan susah jalan. Saya pikir masuk akal karena di Leiden Centraal saja, antriannya sudah sangat parah. Pria wanita yang usianya dibawah 50an (karena saya tidak melihat usia diatas itu) bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak yang saya tidak paham maksudnya. Keratan Heineken tersalip kanan dan kiri muda dan mudi itu.<br />Tidak seperti hari biasa, untuk naik ke tangga platform sangat sulit karena saking padatnya. Petugas kemudian membuat sistem buka dan tutup seperti di Puncak Bogor untuk mengatur penumpang yang datang di Leiden dan berangkat ke Amsterdam.<br />Ketika berjuang menuju platform 9 arah The Hague, ditengah kerumunan massa, petugas di atas tangga memberi sinyal agar calon penumpang di bawah tangga naik keatas menuju platform kereta yang menuju Amsterdam. grubug-grubug-grubug..., terjebak dalam kerumunan massa, saya hampir mati terinjak-injak para "hooligan pria dan wanita" yang berbadan tinggi dan bertampang sangar ketika mereka menyerbu untuk naik ke tangga di platform menuju Amsterdam centraal. saya terseret massa keatas platform Amsterdam padahal tujuan saya adalah ke The Hague yang letak platformnya berbeda. Gila!!! mirip bonek!!! sampai di kereta The Hague ngos-ngosan...cape deh...<br />Setelah Jumatan di masjid Al HIkmah milik jama'ah Indonesia, saya melanjutkan perjalanan ke Cartesiusstraat dan mengelilingi The Hague selama beberapa jam. Di jalanan, banyak penduduk yang berjualan tidak hanya makanan tapi juga barang-barang bekas rumah tangga seperti kulkas, sofa, sepatu, mainan anak, televisi, tas, dll. harga yang ditawarkanpun sangat jauh dibawah standar. Misalnya harga jam tangan yang paling murah biasanya sekitar 15 euro di sini bisa dapat 2 dan paling mahal 5. Bukan tanpa minat untuk membeli, tapi saya pikir karena saya insyallah masih lama di sini maka keinginan untuk membeli barang-barang itu saya tunda sampai tahun depan.<br />Jam 00.02 kereta jurusan Amsterdam yang melewati Leiden tertunda beberapa menit karena menurut petugas yang sempat saya obroli, banyaknya penumpang yang mabuk menyebabkan kerusakan beberapa kereta dan terhambatnya laju kereta karena kendaraan dan antrian di pintu-pintu perlintasan kereta api. Dini hari itu Leiden Centraal masih di padati penumpang yang baru datang dari Amsterdam dengan cerita, pengalaman, dan tingkat kemabukan masing-masing.<br />Smaragdlaan, 1 May 2010 (bertepatan dnegan hari buruh sedunia)<br />Hidup Buruh!!!<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;"><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-86344398451881582552010-04-25T10:59:00.000-07:002010-04-25T12:21:11.305-07:00Khutbah-Khutbah di Belanda (Bag. I)<div style="text-align: justify;">Mengawali Khutbah ini marilah kita bersama-sama panjatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat sehat, iman dan Islam sehingga kita bisa ber<span style="font-style: italic;">muajahah</span>, bersilaturahim, sekaligus melaksanakan salah satu kewajiban kita yaitu menjalankan ibadah sholat Jum'at di masjid yang mulia ini.<br />Sholawat beserta salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat ini dari alam kegelapan, kejahiliyahan dan kemaksiatan ke alam pencerahan melalui ajaran tauhid yang beliau sampaikan. Semoga Allah SWT juga memberikan berkah dan nikmatnya kepada para sahabat, keluarga dan pengikutnya yang setia menjalankan seluruh ajarannya hingga akhir jaman.<br />Pada kesempatan khutbah ini, khatib ingin berpesan dan berwasiat terutama pada diri pribadi dan kepada jama'ah jum'at sekalian agar terus meningkatkan, meninggikan dan mempertajam ketakwaan kita kepada Allah SWT karena hanya dengan modal ketakwaanlah kita bisa menghadap Allah SWT kelak dan <span style="font-style: italic;">insyallah</span> kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa. amin ya robbal'alamin.<br />Jama'ah sidang Juma'at yang dimuliakan oleh Allah SWT, Dalam salah satu surat Al quran yaitu surat Al Asr, Allah SWT berfirman yang artinya:<br />1. Demi masa/waktu<br />2. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian<br />3. Kecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menjalankan amal sholeh serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.<br />Surat ini termasuk dalam surat Makiyyah yang diturunkan di Mekah.<br />Menarik untuk kita garis bawahi ikhwan fiddin sekalian bahwa dalam beberapa surat, Allah mengawalinya dengan huruf "<span style="font-style: italic;">wau qosam</span>" yang menurut kaidah bahasa Arab berarti sumpah untuk memastikan, menguatkan atau menekankan. Dalam beberapa surat, Allah SWT selalu menyertakan huruf <span style="font-style: italic;">wau</span> ini termasuk dalam surat Al Asr. Pertanyaannya, kenapa Allah SWT menekankan kepada manusia agar kita mengingat waktu, makhluk yang ia ciptakan? apa urgensinya?<br /><span style="font-style: italic;">Ikhwan fiddin rohimakumullah</span>, dengan mengingatkan kita semua akan waktu, Allah SWT sebetulnya menunjukkan dan mengingatkan kepada kita semua bahwa hidup kita di dunia ini hanya sementara, sama sekali tidak kekal dan memang tidak ada yang kekal di dunia ini. Semua makhluk dimuka bumi ini hanya "diberi" kesempatan olehNya dengan kesempatan hidup yang tidak lama, sementara, dan temporer. Semua makluk Allah diciptakan dengan permulaan dan sekaligus pasti ada akhirnya. Wajar jika kemudian Allah mengatakan bahwa "sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi" bagi orang-orang yang malalaikan waktu.<br />Jadi konsep Allah tentang kerugian, tidak seperti dalam dunia perdagangan yang mendefinisikan kerugian hanya sebatas berkurangnya modal setelah proses perdagangan berlangsung. Konsep kerugian yang Allah tawarkan adalah kerugian yang tidak hanya berdampak pada kekurangan harta namun juga akan berimplikasi pada masa depan umat manusia yang akan kekal di akhirat kelak.<br />Sidang Jum'ah yang di muliakan Allah SWT, makhluk Allah yang bernama waktu itu melesat bak anak panah, sangat cepat. Saya sendiri merasakan bahwa sepertinya saya belum lama lulus SMA namun hari ini tenyata usia saya sudah 28 artinya 10 tahun sudah saya lewati tanpa terasa. Kita semua mungkin juga merasakan hal yang sama dengan pengalaman hidup yang beraneka ragam dan seluruhnya sesunguhnya sedang menuju satu point yaitu ajal yang kita tidak pernah tahu kapan akan menjemput. Di awal ayat ini Allah mengajarkan kepada kita semua agar waktu yang menjadi modal hidup kita yang terbesar harus di gunakan dengan sebaik-baiknya dengan menggunakan waktu hidup ini untuk mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, dengan menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya karena bukankah Allah SWT berfirman dalam surat Adzariyaat ayat 56 yang artinya:<br />"<span style="font-style: italic;">Dan tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu</span>."<br />Sehingga sebagai seorang muslim, tidak ada kata lain selain menjadikan seluruh aspek kehidupan kita bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.<br />Dalam konteks kehidupan di negara-negara barat sesungguhnya budaya untuk menghormati waktu sangat terasa. Kita akan merasa sangat malu jika terlambat menepati janji, terlambat masuk kelas, dan lainnya. Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Belanda, saya sangat kagum dengan orang-orang yang masih harus berjalan cepat ketika melalui eskalator yang sebetulnya sudah berputar cukup cepat. Ini membuktikan bahwa waktu sudah menjadi bagian kehidupan yang sangat penting untuk mereka.<br /><span style="font-style: italic;">Nah</span>, muslim yang bertempat tinggal dan hidup di negara-negara barat sebetulnya memiliki nilai plus karena budaya ketepatan waktu disandingkan dengan keimanan kepada Allah SWT adalah kombinasi yang sempurna. Dalam kaitan inilah kemudian ayat selanjutnya dalam surat Al Asr berkolerasi. Setelah Allah SWT mengingatkan kita akan kerugian yang diakibatkan oleh lalainya kita akan waktu, Allah kemudian menjelaskan tentang siapa sesungguhnya orang-orang yang tidak merugi.<br />MenurutNya, orang-orang yang tidak merugi adalah orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Jadi tidak cukup berhenti ketika kita menyatakan beriman dengan bersyahadat saja. Allah jelas-jelas menginginkan agar keimanan itu di ikuti oleh amal sholeh, baik yang bersifat ritual-religius maupun seluruh perbuatan-perbuatan positif yang memiliki implikasi sosial dan komunal di masyarakat.<br />Dan ternyata, Allah meminta kita tidak hanya cukup dengan beriman dan melakukan amal sholeh, namun juga harus diikuti dengan nasehat-menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. Artinya sebagai sebuah kesatuan "ummatan wahidah", umat yang sudah sama-sama menyatakan keimanan dan sudah beramal sholeh, di minta untuk saling mempererat silaturahim, persaudaraan, dan persatuan dengan jalan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dengan jalan itulah insyallah kita semua terlepas dari kategori sebagai orang-orang yang merugi di dunia ini.<br />Smaragdlaan, di sampaikan dalam khutbah di Masjid Al Ikhlas, Amsterdam.<br /><span style="font-style: italic;">wallahu'alam</span><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-90464686557592655952010-04-17T11:30:00.000-07:002010-04-17T13:51:27.190-07:00Keukenhof: Secuil Taman Surga Di Daratan Eropa<div style="text-align: justify;">Saya sebetulnya mendengar nama Keukenhof baru ketika menginjakkan kaki beberapa hari di Belanda, waktu itu musim dingin masih sangat ektrem dengan salju yang turun hampir setiap hari. Menurut seorang teman kuliah asal Belanda, setelah musim dingin, akan datang musim semi yang indah karena bunga-bunga di taman, jalanan dan di manapun di Belanda akan mekar. Lidia, mahasiswi Belanda itu menambahkan bahwa di musim semi, Belanda akan kebanjiran turis-turis manca negara yang ingin menyaksikan secara langsung keindahan bunga-bunga di Keukenhof yang letaknya hanya 30 menit dengan menggunakan bus dari Leiden Centraal.<br />Pembicaraan masalah Keukenhof berlanjut tidak hanya melalui Lidia namun beberapa dosen juga selalu memotivasi kami dengan mengatakan bahwa "<span style="font-style: italic;">the weather will be better soon and you have to visit Keukenhof at the end of April</span>". Mungkin mereka melihat begitu tersiksanya kami, mahasiswa Indonesia dengan udara dingin yang belum pernah kami rasakan selama di Indonesia. Padahal, orang-orang sinipun ternyata merasakan hal yang sama. Mereka tidak suka dengan udara dingin. Makanya untuk sebagianbesar penduduk Belanda, musim dingin kebanyakan mereka habiskan di dalam rumah dari pada <span style="font-style: italic;">keluyuran</span>.<br />Kegiatan hari ini untuk berkunjung ke Keukenhof, sebetulnya tidak ada dalam jadwal kegiatan saya. Teman-teman mengajak saya untuk berangkat ke Keukenhof karena menurut mereka Keukenhof sudah di buka tanpa harus menunggu akhir April seprti saran Nico, dosen saya. Menurut perkiraan cuaca, hari sabtu ini cuaca akan cerah dan artinya liburan ini akan sangat bermakna jika kita habiskan di luar kamar. Oh iya, taman bunga Keukenhof hanya di buka pada musim semi, karena di musim yang lain bunga-bunga tidak mekar.<br /><span style="font-weight: bold;">Prosedur ke Keukenhof</span><br />Menurut sejarah, taman bunga Tulip Keukonhof dahulu adalah taman berburu pada abad ke 15 yang luasnya mencapai 32 hektar. Terletak tidak jauh dari bandara Schipol Amsterdam, memudahkan turis dari seluruh dunia untuk mampir menikmati ribuan jenis bunga beraneka warna dari jenis tulips, daffodils, hyacinths, narcissi, dan gladioli. Tentu saja kebanyakan adalah jenis Tulip yang menyebabkan terkenalnya Belanda oleh bunga itu. Adalah J.D. dan L.P. Zother, arsitek landscape Amsterdam yang telah menyulap halaman kastel Jacoba van Beieren ini menjadi taman bunga yang eksotik.<br />Prosedur ke Keukenhof tidaklah rumit karena di setiap stasiun dan terminal bis, pemerintah Belanda menyediakan beberapa loket yang khusus diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin berwisata ke taman bunga Keukenhof. Tiketnya dapat di beli dengan harga 21 euro sudah termasuk ongkos pulang-pergi dengan bis connexxtion yang sudah disediakan khusus bagi pengunjung di terminal-terminal bus dekat stasiun. Harga tiket ini flat, artinya sama saja antara kita beli di Leiden Central dengan di Amsterdam Centraal harganya tetap sama.<br />Makanya buat yang <span style="font-style: italic;">ga</span> mau rugi mending pergi dulu ke Amsterdam biar puas (he he he). Yang harus diingat, tiket jangan sampai hilang karena ketika akan masuk ke sana, petugas di pintu masuk akan memeriksa kembali tiket kita. Termasuk ketika akan pulang, sopir bis meminta kita untuk menunjukan tiket itu.<br />Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, antrian loket untuk mendapatkan tiket telah dipenuhi oleh turis mancanegara. Dalam antrian saya, warga negara Srilanka, Perancis, Syiria, India, Cina, Jepang, dan Indonesia berbaris menunggu giliran untuk mendapatkan karcis masuk ke Keukenhof. Setelah antri mendapatkan tiket, kita juga harus antri untuk masuk kedalam bus. Kebetulan, saya dan teman-teman harus berdiri didalam bus karena ingin segera sampai disana.<br />Ketika bus melewati kota Lisse, hamparan bunga warna warni di taman yang luas sudah menggoda mata ini untuk tidak mungkin tidak menatapnya. Bunga berwarna ungu, hijau, kuning, merah, pink, krem, dan warna-warna lain yang belum pernah saya lihat sebelumnya membentuk gugusan panjang nan indah seperti hamparan permadani raksasa. Kurang lebih 20 menit kemudian, bus yang mengantar kami sampai di pintu parkir taman. Di sana, ratusan mobil bus dengan karoseri yang beraneka bentuk, ukuran, bendera dan corak berjejer menandakan Keukonhof ini dapat ditempuh lewat jalur darat oleh negara-negara uni eropa lain seperti Jerman, Swiss, italia, Perancis, Belgia, dan Luxemburg. Jarak dari pemberhentian bus ke pintu masuk Keukenhof tidak jauh kurang dari 100 meter dan disini antriannya lebih panjang dari pada ketika mengantri tiket di stasiun.<br />Ketika memasuki Keukenhof, saya merasakan kemiripan dengan ketika masuk Dufan karena pengunjung langsung disambut lagu-lagu yang diputar berulang-ulang. Disebelah kanan dan kiri setelah beberapa meter dari pintu masuk, terdapat kafe-kafe yang dipenuhi pengunjung, sangat <span style="font-style: italic;">crowded</span>. Bahkan beberapa pengunjung terpaksa memilih duduk di pinggir kolam. Belok ke sebelah kanan, saya sudah mulai melihat bunga-bunga warna warni namun jumlahnya masih sedikit. Nah, beberapa ratus meter setelah belok kanan, terdapat petunjuk arah apakah pengunjung ingin ke area Betrix, Willem Alexander, atau Juliana (nama-nama ratu dan keluarga kerajaan Belanda) tempat beberapa areal taman. Permadani raksasa yang saya temui di Lisse, tedapat di belakang kincir angin. <span style="font-style: italic;">wah subhanallah</span> indah banget <span style="font-style: italic;">deh</span>. Suatu saat saya harus bawa keluarga ke sini untuk bersama menikmati Tulip dan teman-temannya...<br />Jika melihat pohon-pohon besar yang sudah berlumut situasinya mirip dengan Kebun Raya Bogor. Bedanya di sini terdapat kanal yang mengelilingi taman dan sampan yang bisa disewa pengunjung untuk berkeliling menikmati Keukenhof lewat aliran air. Harga tiket untuk menaiki sampan besar itu seharga 7.5 euro.<br />Setelah 3 jam lebih mengelilingi taman, saya dan teman-teman memutuskan untuk pulang karena perut sudah keroncongan dan disini tidak ada makanan berat. Di sini, pedagang kaki lima hanya menjajakan waffel, ice cream, dan bibit-bibit bunga jadi tidak bisa kenyang. Tepat jam 4 siang, di tengah matahari yang bersinar sangat terik, kami meninggalkan Keukenhof kembali menuju Leiden dengan memori yang tidak mungkin terlupakan: mengunjungi secuil taman surga di daratan Eropa.<br />Rohman Al Bantani, Smaragdlaan 17 April 2010, 22.40 WB (Waktu Belanda).<br /><br /></div><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-27853854017811101642010-04-16T12:41:00.000-07:002010-04-16T15:08:06.119-07:00Oleh-oleh dari Vrije University Amsterdam<div style="text-align: justify;">Kemarin sore kira-kira jam 16.30 sewaktu saya di kantin Lipsius, saya menerima email dari Marise van Amersfoort, koordinator Indonesian Young Leaders, bahwa hari Jum'at (hari ini) jam 13.15 akan diadakan Opening Conference <span style="font-family:Arial;">of the Interuniversity Research School for Islam Studies (ISIS) ‘Studying Islam: Text and Context’, sebuah lembaga kajian Islam baru yang berisi 8 universitas papan atas di Belanda diantaranya:Vrije University Amsterdam, Amsterdam University, Groningen, Ultrecth, Leiden, Nijmegen, Tilburg, dan Twente. </span><br /><span style="font-family:Arial;">Untuk hadir di acara ini, saya harus membatalkan dua janji yang sebelumnya sudah saya arrange lebih dahulu karena saya sadar bahwa sebagai calon akademisi, forum-forum ilmiah seperti ini merupakan kesempatan emas yang harus saya maksimalkan selama saya berkesempatan studi di Eropa. Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, forum ini juga memberi saya kesempatan untuk memperbanyak kolega dari berbagai macam bidang dan disiplin ilmu.</span><br /><span style="font-family:Arial;">Kebetulan cuaca hari Jumat ini menurut saya cukup bersahabat, matahari tidak terlalu menyorot seperti kemarin dan angin juga tidak begitu kuat berhembus sehingga atmosfernya sangat ideal untuk keluar kamar dan jalan-jalan. saya sebetulnya janjian ketemu teman-teman yang lain di depan Leiden Centraal pukul 11.30 namun karena saya ada janji dengan mas najib untuk meminjamkan buku untuknya di KITLV pukul 09.45 maka saya terpaksa tidak bisa datang tepat waktu di tambah Kang Hilman yang akan berangkat ke sana juga masih bersama saya di perpus itu.</span><br /><span style="font-family:Arial;">Jam 12 kurang 5 saya memarkir sepeda di tempat parkir sepeda depan stasiun (di dekat stasiun Leiden tidak ada parkiran mobil lo) dan rupanya kereta menuju Amsterdam Zuid akan berangkat tepat pada pukul 12.00. sehingga, setelah tiket selesai di urus, saya dan teman-teman langsung <span style="font-style: italic;">cabut</span> menuju ke spur intercity menuju Amsterdam. Kami turun di stasiun Schipol lalu melanjutkan perjalanan menuju stasiun Amsterdam Zuid di platform No.3. Letak Vrije University Amsterdam tidak terlalu jauh dari stasiun hanya beberapa ratus meter dari pintu keluar stasiun.</span><br /><span style="font-family:Arial;">Jika bangunan Universitas ini di bandingkan dengan Leiden dari sisi modernitas interior, maka saya pikir Leiden masih tertinggal karena universitas ini sudah seperti hotel berbintang. Auditorium, kantin, toilet, ruang resepsi dan ruang kelas didesain sedemikian rupa dengan konstruk interior modern yang indah. Di dalam gedung juga terdapat taman yang walaupun tidak besar namun beberapa pohon sakura yang sudah mulai berbunga di tengah gedung itu menambah kesan asri dan nyaman. Toiletnya menggunakan sensor sama seperti di toilet Leiden Central dan stasiun lain untuk mengeluarkan air.<br />Kantinnya mungkin 10 kali lebih luas dari kantin Leiden belum lagi makanan yang tersedia disini lebih variatif. Mulai dari nasi kuning, (tapi bukan made in indonesia lo), soup yang bermacam-macam pilihannya, sayuran, minuman, roti, kentang goreng (patat), buah-buahan, dan minumannya sangat komplit. Sampai-sampai saya jadi bingung untuk memilih makanan. Nilai plusnya adalah untuk makanan seperti soup, patat, nasi, dan sayuran dibuat systim prasmanan sehingga untuk yang makannya agak banyak bisa sedikit menguntungkan.<br />Saat mengantri di kasir untuk membayar makanan untuk makan siang, saya sempat berbincang dengan seorang mahasiswi Indonesia di universitas itu. pada kesempatan itu, dia hanya memastikan dengan bertanya "mas dari Indonesia ya?" saya jawab : Iya mba...saya dari Leiden...oke bye. saya lalu langsung menuju meja dimana kang Hilman, kang Yasrul dan mba Dini sudah menunggu.</span> Perbincangan singkat itu intinya menegaskan bahwa dihampir universitas di Belanda, terdapat mahasiswa Indonesia walaupun dengan jumlah yang bervariasi.<br /><span style="font-family:Arial;">Tidak seperti acara-acara seminar, diskusi, dan acara resmi lain di negara kita, opening conference di sini tidak memerlukan MC. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.50, Prof. Busken sebagai Direktur ISIS langsung meminta perhatian audience kemudian memberikan selintas latar belakang program yang di danai oleh menteri pendidikan Belanda ini yang menurut beliau sejumlah 6 juta Euro selama 6 tahun. Jika tidak ada halangan, program ini akan membuka kesempatan untuk program PhD.<br />Menariknya, di acara-acara formal-ilmiah seperti ini tidak menyediakan transport atau sertifikat seperti di Indonesia karena mungkin systim penggajian dan kenaikan pangkat mereka berbeda dengan kita yang mensyaratkan banyaknya sertifikat untuk meningkatkan gaji dan poin kepangkatan. </span>Jadi saya berkeyakinan bahwa kedatangan audiens yang sebagian besar dosen-dosen dan mahasiswa S2 dan S3 dari kedelapan universitas itu adalah murni untuk menambah ilmu dan berdiskusi dengan pakar-pakar yang sudah lebih dahulu malang melintang di tengah belantara akademis.<br /><span style="font-weight: bold;font-family:Arial;" >Jalannya conference</span><br /><span style="font-family:Arial;">Setelah mengungkapkan latar belakang program, Prof. Leon langsung mempersilahkan pembicara pertama, Prof. Brinkley Messick dari Columbia University, USA, untuk memaparkan hasil studynya selama beberapa tahun di Yaman. kuliahnya berjudul: "I<span style="font-style: italic;">slamic Texts: the Antrophology as a reader</span>". Menurutnya, menjadi seorang antropolog mengharuskannya untuk tidak hanya mendalami sikap, prilaku, tradisi, budaya dan adat masyarakat namun juga di haruskan untuk dapat membaca teks-teks yang menjadi rujukan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosialnya.</span><br /><span style="font-family:Arial;">selama melakukan <span style="font-style: italic;">field work </span>di Yaman, dia banyak sekali bercengkrama dengan sumber-sumber tulisan tentang masyarakat yaman, quran, hadist, dan hukum-hukum yang di buat oleh mufti dan ulama setempat untuk lebih mendalami kehidupan masyarakat.</span> Beliau juga menjelaskan latarbelakang kenapa Yaman yang dipilih untuk menjalankan field work karena menuerutnya Yaman adalah satu negara dengan tradisi Islam yang kuat namun pengaruh barat, hukum dan budayanya, tidak dapat menjangkaunya. Sehingga Yaman dianggap negara paling "perawan" dari kolonialisasi barat.<br /><span style="font-family:Arial;">Setelah Prof. Messick, pembicara selanjutnya adalah seorang ahli hukum Islam asal universitas Amsterdam, Prof. Ruud Peters. Peters menyajikan judul kuliah yang sangat provokative: Sharia Criminal Law and Human Rights: Are They Compatible?. Peters memulai slidenya dengan mendeskripsikan pemahaman tentang Sharia baik menurut kacamata westerners maupun dalam kacamata muslim seperti pendapat Tarik Ramadhan tentang sharia. </span><br /><span style="font-family:Arial;">Selanjutnya, Peters yang ahli hukum Islam menjelaskan tentang had (hudud) sebagai Sharia Criminal Law (SCL) dalam islam seperti dalam kasus pencurian, perampokan, perzinahan, minum alkohol, dan kemunafikan sebagai pelanggaran yang dapat berakibat di jatuhinya had. Yang menarik adalah ketika Peters cendrung memberi gambaran hukum Islam hanya dengan yang berhubungan dengan had. Terlebih beberapa slide bergambar yang di tampilkan lebih bayak merepresentasikan "kekejaman" hukum Islam dengan menyajikan gambar-gambar poster penerapan Sharia di negara-negara Afrika seperti Sudan dan Nigeria yang memang menyeramkan dan bagi manusia normal pamplet dan poster itu pasti membuat bulu kuduk berdiri.<br />Di pamplet tentang penerapan sharia di Sudan misalnya, gambar yang ditampilkan adalah gambar yang ketika mencuri maka sebelah kanannya ada gambar di potong tangan, ketika berzina disebelah kanannya akan di lempari batu sampai mati dan untuk ghoiru muhkson akan di cambuk. Di slide yang lain terdapat gambar larangan seorang perempuan menaiki ojek atau motor bukan dengan mukhrimnya dan di gambarkan bahwa si perempuan akan dihukum rajam (stoning). Nah gambar-gambar ini yang menurut saya berat sebelah dan mengakibatkan generalisasi terhadap Islam dimata barat sehingga berdampak pada asosiasi kekerasan dan anti HAM terhadap Islam semakin kental. Padahal gambar-gambar penyiksaan orang-orang muslim di Guantanamo, korban perang di Irak dan Afganistan misalnya yang dilakukan oleh barat dan sekutunya tidak ditampakkan padahal dampaknya sama atau bahkan lebih tidak berprikemanusiaan. Diskusi ini saya kira sudan sering diperdebatkan dalam dua dasawarsa terakhir dan masih belum menemui titik temu.<br />Dalam beberapa hal, Peters berhasil menjelaskan beberapa aspek hukum Islam misalnya permasalahan masih tersedianya ruang bagi kaum muslimin dalam wilayah fiqh untuk berijtihad. kemudian beliau juga menggarisbawahi motive-motive di balik implementasi sharia yang lebih cendrung di gunakan untuk tujuan-tujuan politik dari pada keagamaan. Dan yang paling penting, diakhir presentasi, Peters mengajukan beberapa hal tentang hubungan simbiotik antara Islam dan HAM (Human Rights), pertama dengan mengintegrasikan nilai-nilai sharia kedalam convensi Human Rights, kemudian nilai-nilai Human Rights harus di kampanyekan oleh orang-orang Muslim sendiri untuk menghindari sterotipe negative terhadap barat. Kemudian, ilmuwan ini juga menganjurkan agar ruang ijtihad di buka lebar dengan menggunakan metode takhayyur (<span style="font-style: italic;">by selecting existing opinions of classical scholars</span>).<br />Setelah kedua penyaji memaparkan materinya, Prof. Leon kemudian mempersilahkan dua orang profesor pembanding dari Universitas Amsterdam dan Groningen dan tentu saja membuat semakin seru dan menarik dengan dibumbui respon dari audiens. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat diskusinya tidak terlalu tajam, (aktual dan terpercaya he he) karena jawaban-jawaban dari penyaji sangat nominal dan normative.<br />Rohman Al Bantani<br /></span></div><span style="font-family:Arial;"><br /></span><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-81746224344925698812010-04-08T13:31:00.000-07:002010-04-08T15:33:42.979-07:00Antara Beasiswa Luar negeri dan Independensi Bangsa<div style="text-align: justify;">Tadi sore jam 18.00, menurut informasi yang kami terima di miling list "Leideners" beberapa hari yang lalu, pa Andi Mallarangeng, menteri Pemuda dan Olahraga, akan mengunjungi Leiden dan sekaligus berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang ada di Leiden tentang tema-tema kepemudaan dan kebangsaan. Namun, beberapa menit sebelum acara di mulai, seorang teman berbisik bahwa pa Andi tidak jadi datang karena masih sibuk berkampanye dan berkonsentrasi untuk kemenangannya pada pemilihan ketua umum Demokrat yang akan dilaksanakan tahun ini.<br />Ya sebenarnya buat saya tidak ada masalah siapapun yang datang karena yang terpenting itu adalah silaturahmi antara teman-teman dengan Bapak-bapak Kedutaan Belanda pasti akan semakin dekat dan akrab dan tentu saja efek lainnya adalah bisa makan malam gratis di restoran Budha bermenu Asia yang segar dan maknyos...he he<br />Setelah beberapa menit menunggu, datanglah rombongan kementrian Pemuda dan Olahraga yang di komandoi oleh pa Zulkifli, salah seorang deputi di kementrian Pemuda dan olahraga. Pa Zul, menyampaikan permintaan maaf karena pa Andi tidak bisa hadir dalam pertemuan ini dan mendelegasikan beliau untuk "menyapa" teman-teman di Leiden.<br />Mengawali diskusi, pa Zul membukanya dengan latar belakang mengapa inisiasi dialog pemuda ini muncul. Menurut beliau, ketika pa SBY berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yanga ada di Australia, pa SBY kaget ketika mendengar pendapat mahasiswa Indonesia yang berpendapat bahwa Republik Indonesia lebih baik dirubah kedalam bentuk federal sehingga jalannya pemerintahan akan lebih efektif. Nah, pendapat inilah yang menurut pa Zul kemudian mendasari apa yang saya sebut dengan "politik sapa menyapa". <br />Pa Zul kemudian menambahkan, jika saja Australia yang jaraknya tidak begitu jauh dari RI bisa berpendapat demikian, apalagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada di Eropa, Amerika atau tempat lain yang lebih jauh? Itulah asumsi pa SBY yang kemudian memerintahkan kementrian pemuda dan olah raga untuk "menyapa" pemuda-pemuda/mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri dengan tujuan agar jangan sampai nasionalisme Indonesia luntur hanya karena jarak yang jauh dari tanah air.<br /><span style="font-weight: bold;">Mahasiswa dan Beasiswa ke luar negeri</span><br />Beberapa bulan sebelum saya berangkat ke Leiden, saya sempat berdiskusi dengan teman sekaligus pembimbing saya di Serang yang inti dari diskusi itu adalah sebuah pertanyaan yang cukup mendasar. Sanggupkah pemerintah kita, pusat atau daerah, membiayai anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan akademik untuk bersekolah di pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia seperti Harvard, Oxford, Leiden, Kyoto, Amsterdam, Sorbonne, Mc Gill, Sydney, dan universitas-universitas berqualitas di dunia lain untuk level S2 dan S3 setiap tahun? menurut saya pertanyaan ini penting terutama ketika menyaksikan fenomena semakin banyaknya pemuda Indonesia yang sekolah di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa.<br />Secara umum, saya membagi mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama yang paling besar (saya prediksi sekitar 90%) adalah "kelompok mahasiswa penerima beasiswa funding" baik funding negara asing langsung (USAID, AUSAID, NESO) maupun lembaga-lembaga donor seperti Ford, Toyota, dll. Kelompok mahasiswa S2 dan S3 ini lolos dan mendapatkan beasiswa penuh termasuk biaya hidup selama masa studi tanpa khawatir adanya pemotongan-pemotongan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah melalui serangkaian tes ketat yang sudah terstandarisasi dan tentu jauh dari anasir-anasir konspirasi, nepotisme, dan lainnya.<br />Kelompok kedua adalah mereka yang belajar di luar negeri dengan ongkos sendiri. Artinya, seluruh biaya baik biaya kuliah, kursus, dan biaya hidup mereka bayar dengan biaya mandiri baik dari orang tua maupun dengan harus bekerja part time. Saya prediksi jumlah ini sekitar 5% dan kelomopok ke tiga adalah kelompok penerima beasiswa PNS yang di biayai oleh APBN atau APBD karena programnya dirancang khusus untuk PNS dengan skema biaya dari anggaran negara. Jumlahnya saya taksir sekitar 5 %.<br />Dari prediksi ini (mudah-mudahan salah) terlihat bahwa jumlah dana APBN ataupun APBD yang dikeluarkan untuk "memproduksi" manusia Indonesia yang berkualitas sangat timpang sekali (1:20). Dari asumsi ini, saya berpendapat bahwa perhatian pemerintah kita "kalah" jauh dengan funding-funding asing yang tiap tahun mengirimkan anak-anak bangsa ke hampir seluruh fakultas-fakultas dan universitas-universitas terbaik di dunia. Inilah yang kemudian menurut saya sebuah ironi ketika misalnya pemerintah menginginkan manusia-manusia terbaik bangsa ini untuk mempertebal nasionalisme sementara beasiswa yang didapat untuk mereka dan bahkan keluarga mereka di tanah air berasal dari funding-funding asing. <br />Lebih jauh, yang saya khawatirkan adalah bahwa suatu saat nanti, 20-30 tahun mendatang, ketika teman-teman yang pernah di biayai oleh funding-funding itu sudah menempati posisi-posisi kunci negara, funding-funding tersebut bisa saja menagih dan bahkan mengintervensi kebijakan. dalam diskusi malam tadi saya contohkan misalnya kang Hilman jadi presiden RI ke -20, karena funding itu pernah punya jasa kepada kang Hilman bukan tidak mungkin funding tersebut akan mengintervensi kebijakan. Apalagi jika mengingat kultur bangsa ini yang terkenal dengan budaya "ewuh pakewuh (ga enakan)". Disinilah letak kegelisahan itu ketika membayangkan akan dibanjirinya negeri ini oleh kepentingan-kepentingan funding.<br />Saya jadi teringat diskusi-diskusi dengan Prof. Bambang di rumah Pa Min. Beliau mengatakan bahwa bangsa ini selalu memainkan politik "tangan di bawah dari pada tangan di atas" terutama terhadap negara-negara yang pernah memiliki hubungan kolonialisme seperti Belanda dan Jepang. Kita selalu meminta "jatah" karena beranggapan bahwa Sumber daya alam negara kita sudah dieksploitasi dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga kita merasa berhak untuk mendapatkan kembali hak kita.<br />Pemikiran inilah yang harus di dekonstruksi. Negara yang besar adalah negara yang mandiri, independent, yang sebetulnya terminologi ini selalu di gembar-gemborkan politisi kita namun pada prakteknya sebetulnya kita tidak pernah benar-benar mandiri. Bahkan saya berani merefleksikan kengerian saya akan masa depan bangsa ini dalam kasus beasiswa mahasiswa S2 maupun S3 yang saya sebutkan perbandingannya diatas.<br />Karena saya sudah berada di sini (Laiden), maka saya kemudian berani untuk menghitung-hitung rupiah yang harus di keluarkan pemerintah. Secara kasar, katakan misalnya untuk satu orang mahasiswa S2 program IYL biaya yang harus di keluarkan untuk tahap I, masa karantina bahasa inggris adalah 11 juta yang terdiri dari 2 bulan kursus intensive TOEFL sebesar 8 juta dan allowance untuk calon mahasiswa untuk dua bulan sekitar 3 juta. Sedangkan untuk biaya asuransi dan pengurusan visa saya tidak tahu pasti jumlahnya (jika ada yang tahu silahkan tambahkan sendiri).<br />Nah, ketika pertama kali datang setiap mahasiswa yang mendapat beasiswa akan mendapatkan uang pertama yang jumlahnya sangat variatif tergantung dari budget funding. untuk program IYL dana awal yang di terima untuk pembelian alat tulis dsb itu sejumlah 580 euro (jika kurs euro 12500 maka jika dirupiahkan akan mendapat 7,25 juta). untuk bulanannya setiap mahasiswa mendapat 870 euro (10,9 jt) selama 18 bulan. Berarti jika di jumlah kan kurang lebih sekitar 220 juta per mahasiswa. jika di tambah dengan program "pemantapan" bahasa (bahasa Inggris untuk program IYL dan bahasa Belanda untuk program Encompass) maka setiap mahasiswa S2 bisa menghabiskan lebih dari 230-250 juta.<br />Jika jumlah ini dikalikan dengan jumlah penerima beasiswa S2 asal Indonesia yang saat ini tersebar di seluruh dunia maka dana yang dikeluarkan funding untuk "menyekolahkan" putra putri terbaik bangsa ini dari tahun ke tahun cukup besar belum lagi untuk program S3 yang angka allowancenya jauh lebih besar.<br />Jadi kesimpulannya adalah pemerintah kita harus berani untuk mengeluarkan dana sendiri untuk menyekolahkan anak-anak bangsa ke luar negeri untuk menjaga kehormatan sekaligus independensi bangsa terhadap bangsa-bangsa lain karena bukankah hanya dengan mengeluarkan biaya sendiri pemerintah dan penerima beasiswa akan saling memiliki s<span style="font-style: italic;">ense of belonging </span>terhadap tanah air? Wallahua'alam.<br />Smaragdlaan, 00.35 9 April 2010.<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-91040540736087085892010-04-05T01:36:00.000-07:002010-04-05T04:11:52.730-07:00Pasar Malam Indonesia: stan Banten di mana ya?<div style="text-align: justify;">Beberapa minggu yang lalu, Oksal, mantan ketua PPI ( Persatuan Pelajar Indonesia) Leiden, mengabarkan lewat <span style="font-style: italic;">mailing list</span> 10 nama mahasiswa Leiden asal Indonesia yang berhak untuk mendapatkan tiket masuk ke Pasar Malam Indonesia gratis yang jika tidak masuk list maka harus beli tiket seharga 5 euro. Sayangnya nama saya tidak ada dalam list dan berarti jika saya ingin ke sana maka saya harus bayar tiket seharga itu. Hari sabtu siang itu, lewat <span style="font-style: italic;">facebook</span>, saya janjian dengan teman-teman PPI Leiden yang lain untuk bertemu di depan Leiden Centraal pukul 15.00. Rencanannya, kami akan malam mingguan bersama ke Pasar Malam Indonesia di Den Haag.<br />Cuaca awalnya memang agak mendung dan bahkan jam satu siang hujan sempat mengguyur kota Leiden namun satu jam kemudian hujan berhenti dan hanya menyisakan sisa guyuran hujan di jalanan yang basah dan burung-burung hitam dan bebek kepala hijau yang tampak kedinginan di pinggiran kanal dekat Smaragdlaan. Jam 15 kurang seperempat, saya sudah di Leiden Centraal karena khawatir ketinggalan rombongan. Teman-teman yang ada di sini tampaknya sudah sangat menyesuaikan diri dengan budaya tepat waktu ala barat yang benar-benar ketat. Sehingga akan sangat malu jika sampai terlambat datang. Pernah di minggu-minggu awal kuliah saya sebetulnya datang tepat waktu bahkan 5 menit sebelum dosen datang, saya sudah di dalam kelas. Satu jam pertama saya lewati dengan baik karena saya ikut aktif berdiskusi.<br />Dosen itu kemudian menawarkan untuk <span style="font-style: italic;">break</span> 10 menit. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, waktu itu saya gunakan untuk mengkopi beberapa lembar buku di sebelah kelas dan sayangnya saya telat selama 2 menit tapi akibatnya saya langsung di tegur oleh dosen itu. <span style="font-style: italic;">Wah</span>, malu campur bersalah <span style="font-style: italic;">deh</span>. Makanya belajar dari pengalaman itu, jangan sampai telat jika janjian sama orang luar kecuali kita mau di permalukan luar dalam. he he...<br />Tapi berbicara masalah telat-menelati sebetulnya ada yang jauh lebih parah dari pengalaman saya. Waktu di tanah air saya pernah baca koran yang isinya berita tentang telatnya salah satu mentri kabinet SBY yang punya janji dengan mentri perindustrian Jepang dalam beberapa jam ( lebih parah kan?) yang akibatnya mentri Jepang itu memutuskan untuk pergi ke departemen yang lain. Menurut saya ini kesalahan fatal yang dampaknya bukan hanya kepada mentri dan departemen itu tapi juga kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Bayangkan misalnya mentri Jepang itu membawa kontrak kerjasama investasi di Indonesia untuk membuat pabrik kimia atau industri manufaktur padat karya, maka jika sampai gagal MoUnya maka berapa ribu rakyat kita yang kehilangan kesempatan untuk bekerja disana. Sekali lagi jangan main-main dengan waktu lah karena bukankah waktu adalah modal terbesar kita, manusia yang terlahir ke alam ini?<br />Sambil menunggu di depan stasiun, saya ketiban rizki karena saat itu ada promosi "snack" (makanan ringan) bermerek "Lays". Rupanya Lays adalah pabrik chiki baru yang sedang mempromosikan produknya, snack rasa pizza pepperoni, Italia. Saya, <span style="font-style: italic;">alhamdulillah</span>, dapat dua bungkus. Rasanya lumayan enak seperti rasa pizza pada umumnya hanya menurut saya saja agak asin. Menurut seorang teman, biasanya pabrik-pabrik makanan baru mempromosikan produk makanan/snack di Leiden Centraal dengan membagi-bagikannya secara gratis. Bahkan teman saya bisa dapat lebih dari 5 bungkus jika melalui pintu keluar-masuk yang berbeda. <span style="font-style: italic;">promotion girl</span>nya pun <span style="font-style: italic;">cuek</span> aja, ga akan mengingat wajah kita karena yang penting bagi dia kan snack dalam satu mobil box itu habis. Kalo tiap hari ada budget untuk beli snackbisa di pangkas beberapa euro nih...handal!<br />Tak lama kemudian, mobile saya berdering. kang Hilman mengontek saya katanya mereka dalam perjalanan dari "Selera Anda", restoran Indonesia yang harganya sesuai dengan kantong mahasiswa Indonesia, menuju Centraal. Waktu itu yang ikut Saya, Kang Hilman, Kun, Syahril (ketua PPI Leiden yang baru), Riri, Ima, Prima, dan mba Nining. Tepat pukul 15.15, kereta meuju Den Haag Centraal melaju meninggalkan Leiden. Kira-kira 20 menit kemudian, kami sampai di Leiden Centraal dengan dingin yang cukup menyengat tubuh. Ini sebetulnya agak aneh karena seminggu sebelumnya cuaca di musim semi ini sudah sangat bagus bahkan bisa sampai 15 derajat. Tapi beberapa hari terakhir cuaca dingin lagi walau tidak sedingin waktu <span style="font-style: italic;">winter</span>.<br />Kami keluar dari pintu samping sebelah kanan Den Haag Centraal karena tempat di selenggarakannya Pasar Malam Indonesia letaknya tidak jauh dari pintu stasiun itu. Beberapa ratus meter di depan pintu masuk stasiun, nampak tenda putih besar yang menjadi tempat perhelatan acara itu berdiri kokoh, menggoda orang-orang yang melewati pagar lapangan untuk masuk ke dalam arena. Wajah-wajah Indonesia, baik yang asli Indonesia maupun yang telah menikah dengan orang Belanda nampak hilir mudik di depan pagar lapangan. Sepertinya dari wajah-wajah mereka tampak puas dan senang. Saya dan teman-teman ikut dalam antrian di pintu masuk sebelum seorang yang berbadan tegap meminta kami untuk langsung masuk dan meminta hanya salah satu dari kami yang mengantri karena sore itu rintik-rintik hujan kembali turun. <br />Ternyata, harga tiket tidak sama. Untuk senioren (orang tua) harga tiketnya 5 euro, untuk Studenten (pelajar/mahasiswa) 4 euro, dan untuk kinderen seharga 3 euro. Tentu saja saya masuk dengan tiket studenten. Sayangnya, di pintu pengecekan ternyata untuk mahasiswa Indonesia tidak ada pengecekan tiket. Waktu itu kalau tidak salah hanya di tanya oleh petugas di pintu masuk: "mahasiswa indonesia ya?" tanpa memerikasa ID bisa langsung masuk. <span style="font-style: italic;">wah </span>tahu <span style="font-style: italic;">gini</span> saya tidak beli tiket karena kan bisa untuk jajan di dalam arena.<br />Tenda Pasar Malam Indonesia ini terbagi dalam empat tenda besar. Bagian pertama di depan, diisi oleh stand-stand dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Sumatra Selatan, jawa Timur, Jawa Barat, Minahasa, dan provinsi-provinsi di Kalimantan. Saya sempat memutar dua kali ruangan ini karena penasaran ingin bertemu dengan stand Banten. Tapi setelah berputar-putar dan sempat bertanya kepada seorang panitia akhirnya saya benar-benar yakin jika stand provinsi Banten tidak ikut. Ada beberapa kemungkinan menurut saya. Pertama bisa jadi karena ini merupakan Pasar Malam Indonesia yang pertama di gelar (karena ada pasar malam Tong-tong yang jauh lebih besar dan jauh lebih dahulu di selenggarakan) sehingga tidak semua provinsi bisa ikut serta. Kedua, bisa juga informasi sampai tapi tidak di tindaklanjuti oleh dinas pariwisata setempat.<br />Sayang, karena Banten punya sumberdaya pariwisata yang luar biasa yang bisa di jual ke masyarakat Belanda. Potensi pantai di selatan dan barat misalnya, saya pikir tidak kalah dengan pantai Sanur di Bali atau Lombok. Belum lagi dengan potensi lain semisal aspek kesejarahan Banten yang punya hubungan lama dengan Belanda dan warganya. Ketika transit di bandara Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbicara kepada seorang tua Belanda dan saya kaget karena menurutnya banyak sekali warga belanda yang lebih memilih Malaysia sebagai tempat berlibur dari pada Indonesia terutama karena aspek infrastruktur dari pada aspek keamanan. Padahalkan alam Malaysia <span style="font-style: italic;">ya</span> relative sama dengan kita dan harusnya secara emosional warga Belanda lebih memilih Indonesia karena faktor hubungan kesejarahan yang cukup panjang. <br />Bagian kedua dari tenda besar ini adalah ruang live music dan tari-tarian. didalam ruangan ini terdapat panggung besar dengan saund system yang biasa digunakan untuk konser-konser musik. Di ruangan ini, artis Indonesia seperti Andre Hehanusa dan lainnya menghibur pengunjung dengan lagu-lagu nostalgia tahun 60, 70, dan 80an. Lagu-lagu daerah juga di tampilkan seperti beberapa lagu dari Ambon dan Papua yang saya tidak hapal judulnya. di ruangan ini pengunjung bisa bernyanyi, berjoged, dan berdansa bersama. Karena saya cuma bisa joged dangdut dan itupun belum terlalu lentur, maka saya tidak ikutan "turun".<br />Bagian ke tiga yang merupakan ruangan yang paling besar adalah ruangan tempat wisata kuliner. Di ruangan ini, secara melingkar, berjenis-jenis makanan dan minuman asal Indonesia di jual dengan harga paling murah 2 eoro dan paling mahal 9 euro. Makanan yang saya temukan antara lain: nasi uduk dengan ayam goreng, nasi rames, nasi padang lengkap dengan kepala ikan, kikil dan sambel padangnya, soto madura, soto jakarta, sate kambing, sate ayam, nasi Minahasa dll. Ada juga panganan sepert pisang goreng, bakwan, misro, combro, siomay, bakso, mpe-mpe, es kelapa muda, cincau, cendol, dan lainnya. <span style="font-style: italic;">Any way,</span> sayang karena saya tidak menemukan cecuer, rabeg, sate bebek, sate bandeng, apalagi gerem asem di arena festival ini. Akhirnya saya hanya minum es Shanghai, tidak tahu dari mana asal minuman ini yang jelas saya haus...<span style="font-style: italic;">he he</span><br />Ruangan ke empat adalah <span style="font-style: italic;">dinning room</span>. Disini tersedia beberapa meja-meja tinggi tanpa kursi jadi jika kita makan harus berdiri. Di depannya terpampang layar besar yang memutar film Indonesia selama Pasar malam ini berlangsung. Saat saya di sana, film yang di putar adalah film Laskar Pelangi I yang sangat fenomenal itu. Film ini sangat cocok dengan kondisi kami, mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Eropa karena di film itu ada beberapa statement dan nilai yang sangat baik untuk di tindaklanjuti seperti semangat mencari ilmu, kebijaksanaan dll belum lagi nama Eropa beberapa kali di sebut oleh tokoh-tokohnya.<br />Sabtu malam itu memang luar biasa ramainya. Pengunjung tidak hanya datang dari kota-kota di Belanda tapi juga dari Jerman dan Belgia. Di Pasar Malam Indonesia itu kami juga sempat berbincang dengan tiga perempuan pencari rokok Sampurna mild yang berasal dari satu daerah yaitu Batak. Setiap ada yang merokok mild yang mereka temui, mereka akan memintanya termasuk kepada teman saya Kang Hilman dan Kun. Mereka berasal dari tiga kota berbeda di Eropa dan mereka bertiga punya suami yang berasal dari Berlin, Hamburg dan Rotterdam. Jadi, intinya selain mengingatkan warga Belanda dengan serba serbi Indonesia, pasar itu juga sebetulnya mempertemukan anak-anak bangsa yang bercerai berai di negeri orang.<br />Waktu menunjukan pukul 20.10 ketika kami putuskan untuk keluar dari arena itu. Karena hari masih seperti sore (karena musim semi dan panas membuat siang lebih panjang) kami sempatkan untuk ke restoran China di Den Haag yang menjual juga makanan cita rasa Indonesia dengan harga terjangkau. Sebelum masuk restoran, saya penasaran ingin ke toko China yang katanya lebih besar dan lengkap bahan makanan Indonesianya dari toko China yang ada di Leiden. Sehingga kesempatan itu saya gunakan untuk membeli beberapa bahan makanan.<br />Di restoran china itu kami habiskan 37 euro dan karena berdelapan maka masing-masing hanya mengeluarkan dana 4, 6 euro saja untuk makan cah kangkung, cah sawi dan tahu, ayam goreng dan nasinya. <span style="font-style: italic;">wah alhamdulillah</span> pulang ke Leiden dengan perut kenyang...<br />Leiden, 5 April 2010<br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-85363607297251853952010-03-29T11:01:00.000-07:002010-03-29T14:00:58.923-07:00Perjalanan Ke Amsterdam 28 Maret 2010 bersama Oma Kliesters<div style="text-align: justify;">Hari ahad tanggal 28 Maret kemarin, mas Alfa, dosen Untirta yang mendapat program PhD di Amsterdam University mengundang saya, kang Hilman, mas Agus, bu Yani, bu Alia, bu Asniar, dan bu untuk datang ke rumahnya yang berada di jalan Javaplein dekat Soendastraat, Amsterdam dalam rangka silaturahim dan memperkenalkan anggota keluarganya yang baru tida bulan yang lalu datang. Biasanya dari Leiden saya selalu bareng kang Hilman. Bukan apa-apa, saya cuma ingin nebeng corting card karena ongkos kereta bisa lebih murah, bisa dapat korting 40%.<br />Bagi orang-orang yang memiliki rutinitas yang padat dengan keharusan menggunakan kereta untuk bekerja atau comuter antar kota di Belanda, di sarankan (pada beberapa orang tertentu sepert mahasiswa Indonesia lebih tepat: diwajibkan) untuk membeli corting card seharga 50 euro karena banyak keuntungan yang bisa di dapat apalagi lagi bisa di pakai selama satu tahun. systemnya begini: untuk pemilik kartu corting card, si pemilik hanya akan membayar tiket seharga 60% dari harga normal tanpa corting. Misalnya untuk 1 kali jalan ke Amsterdam (one way), harga ticketnya adalah 8,1 euro. Nah, kalo pakai korting card, harganya cuma 4.9 euro. Nah, si pemilik bisa membawa 3 orang lain agar sama-sama mendapatkan korting ticket.<br />Jangan samakan dengan loket-loket karcis di negeri kita lo....di sini semuanya mandiri dan antara warga dan pemerintahnya di bangun rasa saling percaya yang tinggi.<br />Di stasiun misalnya, untuk membeli ticket tidak harus mengantri di antrian loket tiket seperti di stasiun Taman Sari (Serang) atau stasiun Senen/ Gambir ( Jakarta) apalagi Bus Way. Di sini, petugas stasiun hanya ada di loket bagian informasi, peniup peluit dan petugas keamanan. Tiket di beli lewat mesin seperti ATM yang di setiap stasiun pasti ada empat atau enam buah bahkan di beberapa stasiun besar seperti di Amsterdam dan di Ultrech bisa lebih dari enam buah. Di mesin yang bersistem <span style="font-style: italic;">touch screen</span> itu tersedia petunjuk penggunaan dalam beberapa bahasa yang umum digunakan di dunia. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, untuk yang belum bisa bahasa Belanda jangan khawatir karena bahasa mesin bisa di rubah kedalam bahasa Inggris yang tombol untuk merubahnya terletak di sebelah kiri bawah.<br />Jadi misalnya ketika akan berangkat ke Amsterdam, prosedur keberangkatan adalah; cek jadwal keberangkatan kereta karena di Belanda tidak ada istilah terlambat, yang ada kereta berubah jalur. Kalaupun ada keterlambatan akan segera ada pengumuman yang memberi kabar berapa lama kereta akan terlambat dan biasanya tidak lebih dari 10 menit jika bukan karena badai salju atau peristiwa luarbiasa lainnya. Setelah melihat ke board yang letaknya di depan stasiun dan memastikan pukul berapa kereta akan berangkat, maka kita ke, saya sebut, ATM tiket yang di layarnya terdapat beberapa macam menu. Kemudian kita tekan nama kota yang akan kita tuju ( dilayar tersedia pilihan nama-nama kota dalam bentuk alphabet misalnya A bisa untuk amsterdam, alkmaar, atau kota yang berawalan A lainnya, untuk Den Haag berarti huruf D dst) . Setelah itu, kita pilih tombol yang berurutan ke kanan secara berurut yang masing-masing punya dua pilihan seperti tiketnya untuk 1 atau 2, korting atau tidak, untuk hari ini atau kapan, dan satu arah atau bulak balik. setelah itu kita pilih bank apa yang kita pakai untuk membeli karcis. Kebanyakan mahasiswa asing menggunakan kartu ATM Rabo Bank. kartu ATM kita masukkan kedalam mesin kemudian kita tekan nomor PIN dan tekan ja/yes dua kali. jika kita ingin mendapat kuitansi. Baru kemudian tiketnya keluar.<br /><span style="font-style: italic;">oh iya</span>, jangan lupa untuk selalu menyediakan Nationale Strippen Kaart jika ingin bepergian keluar kota karena akan sangat berguna. Strippen kard adalah kartu yang digunakan untuk menaiki bus atau trem yang ada di kota-kota di Belanda. Sebetulnya bisa pakai uang cash, tapi dengan strippen card bisa lebih murah. Kartunya berbentuk memanjang dengan tulisan berurut 1-15 strip ada juga yang samapai 30 strip. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, untuk jarak yang tidak begitu jauh supir atau petugas di dalam trem hanya akan <span style="font-style: italic;">menyeplok</span> dua strip, tapi untuk perjalanan dari stasiun Amsterdam ke Javaplaein misalnya yang berjarak cukup jauh maka bisa kena 3 strip. Untuk membandingkan dengan uang cash, saya akan ilustrasikan contoh ringan sebagai berikut: Dari stasiun Leiden Centraal ke Smaragdlaan (apartemen saya), ongkos bus cash 1,2 euro yang jaraknya kira-kira 1 KM. Dengan menggunakan strippen kaart supir akan <span style="font-style: italic;">menyeplok</span> 2 strip. Berarti kita bisa gunakan stripen kard yang berisi 15 strip dengan harga 7.6 euro sebanyak 7 kali kesempatan. Jika dibandingkan dengan uang cash yang kita keluarkan untuk perjalanan bulak-balik Leiden Centraal-Smaragdlaan sebanyak 7 kali maka uang cash yang dikeluarkan berjumlah 1.2 x 7 = 8.4 euro. Dengan Strippen Kaart, kita bisa hemat 1.2 euro.<br /><span style="font-weight: bold;">Ke Amsterdam</span><br />Saya berangkat jam 11 dari Smaragdlaan karena ingin mengejar kereta ke Amsterdam yang berangkat jam 11.15. Tapi karena sepeda saya tidak bisa ngebut, akhirnya saya sampai di stasiun sudah sangat mepet, jam 11.13. Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengejar kereta itu karena harus antri beli strippen kaard dan tiket kereta selama beberapa menit. Mau tidak mau saya harus menunggu jadwal kereta berikutnya yang menurut jadwal akan berangkat jam 11.30. Setelah menunggu beberapa menit di peron no. 5, kereta intercity tujuan Amsterdam datang juga. Kereta ini hanya akan berhenti di stasiun Schippol kemudian akan melanjutkan perjalanan ke stasiun terakhir di Amsterdam Centraal.<br />Saya memilih duduk di gerbong paling depan, kursi di kelas 2. Bukan hanya karena lebih leluasa untuk ngobrol, tapi juga karena agaknya kelas 1 tidak jauh berbeda kualitasnya kenyamananya dengan kelas 2. Di kelas 1 biasanya lebih tegang karena penumpangnya lebih suka diam. Satu lagi yang penting, juga karena harga tiketnya lebih murah. Di awal-awal bulan ketika naik kereta, saya kagum dengan kereta yang bersih, tidak ada rokok, pengamen, dan pedagang asongan di dalam kereta. namun, ternyata ada juga pengamen dan pedagang asongan yang masuk ke dalam gerbong kereta. Tentu yang berbeda jauh adalah potongan (life style, fasion, dan tampang) pedagang asongan dan pengamen itu. menurut teman saya, pengamen dan pedagang asongan di sini mirip artis sinetron Indonesia, ganteng-ganteng (seperti saya he he he, saya kan pemuda paling tampang di kampung seperti kata Tora Sudiro di film Preman in Love).<br />Di dalam perjalanan, saya duduk berhadapan dengan Klisters, 77 thn. awalnya Klisters mengira saya warga Belanda juga karena dia membuka percakapan dengan menggunakan bahasa Belanda yang saya sama sekali tidak paham. <span style="font-style: italic;">Sorry I don't speak Dutch.</span>..baru beliau sadar dan menggunakan bahasa Inggris yang sangat fasih.<br />Obrolan kemudian bertambah seru karena beliau ternyata mantan warga negara Indonesia yang sudah beralih menjadi warga negara belanda sejak 52 tahun yang lalu karena suaminya yang merupakan aparat militer Belanda pada pertengahan tahun 50an, harus hengkang dari bumi pertiwi menuju Belanda. Klisters yang merupakan warga Indonesia turunan China beserta ribuan wanita Indonesia lain tidak punya pilihan selain harus ikut suami ke Belanda. Menurutnya, dia dilahirkan tahun 1933 dan dibesarkan di lingkungan menengah atas keluarga China di daerah Kramat, Jakarta. Dia sempat mengenyam pendidikan dasar dan menengah (MULO-AMS). sehingga tidak heran jika Bahasa Inggris, Belanda dan juga bahasa Indonesianya sangat baik.<br />Oma Klisters sudah 20 tahun ditinggal mati suaminya, dia hidup sendiri di apartemen dekat pelabuhan di kota Rotterdam. Hari ahad itu, dia berniat mengunjungi cicitnya (3 tahun) anak dari cucunya yang nomor 3 di Amsterdam. Di hari tuanya, Klisters menghabiskan waktu sendiri dirumahnya, untuk mengisi kekosongan di setiap akhir pekan, Kliesters mengundang teman-teman untuk makan dirumahnya. Biasanya kliesters akan memasak makanan Indonesia seperti rendang, sambal pete, dan tempe oreg. (wah jadi laper nih bu). untuk sajian makan. Menurut Kliesters, orang Belanda seangkatannya suka sekali makanan-makanan Indonesia apalagi di tambah pete yang bisa di dapat di toko China di Rotterdam. Perjalanan 40 menit menuju Amsterdam Centraal jadi tidak terasa kerena mendengarkan cerita masa lalu Oma Kliesters.<br />Kliesters kemudian tertawa terbahak-bahak ketika saya jawab pertanyaan beliau tentang status saya sebagai kepala keluarga dengan 3 anak. Dia rupanya heran karena menurutnya wajah saya masih amat muda tapi sudah punya anak 3 bahkan dia berusaha meyakinkan orang-orang yang duduk di sekitarnya bahwa saya kelihatan masih muda. Di Belanda menurutnya, ada aturan hukum yang jika saya tidak salah dengar hanya membolehkan seorang menikah pada usia matang menurut pemerintah Belanda. Jika kedapatan ada yang menikah di bawah usia tersebut akan di masukkan ke dalam penjara...<span style="font-style: italic;">wah ngeri re'</span> padahal kalo di Indonesia nikah muda sudah biasa.<br />Menjelang stasiun Schipol, tidak seperti biasanya, petugas memeriksa tiket penumpang. selama naik kereta di Belanda, saya baru kali pertama mengalami pemeriksaan tiket dan ini yang kedua. Karena masyarakat dan pemerintah sudah saling percaya, pemeriksaan tiket tidak di lakukan setiap kereta bahkan mungkin tidak setiap hari. Sehingga jika warga yang kurang memiliki tanggungjawab sosial sebetulnya punya kesempatan untuk tidak usah membeli tiket karena belum tentu kena pemeriksaan. Tapi warga negara Belanda, menurut Kliesters, semua taat hukum sehingga pemerintah hanya memeriksa secara acak saja tidak disetiap gerbong di datangi petugas.<br />Namun, ancaman bagi yang tidak membeli tiket sangat berat. bisa di bawa ke kantor polisi dan tidak bisa di selesaikan "secara adat" seperti kasus-kasus hukum di negeri kita. Untuk yang tidak membeli tiket kemudian ketahuan ketika di periksa petugas, dendanya bisa 10 kali lipat harga tiket. Jadi pilih mana hayo? Untungnya sebelum naik kereta tadi saya beli tiket, kalo engga wah bisa <span style="font-style: italic;">roncod</span> (habis) isi dompet. Saya kemudian berfikir dan berandai-andai jika seandainya kebijakan seperti ini diterapkan di Indonesia, <span style="font-style: italic;">wah</span> bisa jadi bonek akan lebih berbondong-bondong, <span style="font-style: italic;">membludak</span> naik karena tiket tidak diperiksa setiap saat. Stasiun-stasiun kereta akan di guyur ribuan bonek tiap hari mungkin. Saya dan Oma Klisters kemudian berpisah di Amsterdam Centraal yang penuh sesak dengan berbagai jenis suku, bahasa, dan ras yang sibuk hilir mudik dengan tujuannya masing-masing.<br />Di depan pintu keluar stasiun Amsterdam Centraal, saya harus menunggu kang Hilman beberapa menit karena kang Hilman baru naik dari stasiun Schipol beberapa menit dan harus mengantar temannya yang pulang ke Indonesia pagi itu. Kami kemudian berjalan keluar stasiun menuju dam dengan melewati kanal yang ramai dengan perahu-perahu sewaan yang akan mengantar para turis mengelilingi Amsterdam melalui kanal-kanalnya. Karena perut mulai keroncongan, saya ajak kang Hilman membeli Patat(kentang goreng) di toko Mannekenpis yang cukup terkenal di Amsterdam karena konsumennya selalu antri setiap jam. Harga patatnya 3 euro (jangan di konversi ke Rupiah ya karena pasti mahal). Saya memilih patat dengan mayonese. lumayan banyak goreng kantangnya dan bisa bikin kenyang. Ditemani burung-burung dara di depan Istana Ratu Belanda, saya habiskan satu persatu potongan kentang goreng (patat) itu tanpa ampun, tidak tersisa sedikitpun, bersih!<br />Di lapangan itu juga banyak sekali turis yang mengambil foto. saya tidak tahu persis mereka dari mana karena rambutnya sama-sama blonde dan bule. Di kota ini, banyak sekali museum-museum mulai dari museum sex sampai museum gereja, kapal laut dan museum lainnya. Karena waktu silaturahim semakin dekat saya tidak sempat mengunjungi museum itu satu persatu. trem No. 14 menuju Javaplein akhirnya datang dan pertemuan itu dilaksanakan dengan beberapa agenda dan diakhiri dengan bagi-bagi kue dan kurma.<br />Jam 19.30 saya sampai kembali di Leiden Centraal dengan matahari yang masih bersinar terang karena siang hari lebih panjang dari malamnya yang mengharuskan kami semua yang ada di daerah 4 musim untuk memutar jam kami satu jam lebih cepat untuk menyesuaikan dengan kondisi di musim ini. Wallahu'alam.<br />Smaragdlaan, 29 March 2010 jam 22.30.<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-69116073240536007472010-03-15T10:18:00.000-07:002010-03-15T13:32:41.016-07:00Boekenweek: Jalan-jalan Keliling Belanda dengan Ongkos Buku<div style="text-align: justify;">Beberapa hari yang lalu sebelum Prof. Busken menutup kelas, beliau berpesan agar kami bisa membeli buku apa saja agar hari minggu tanggal 14 Maret nanti bisa naik kereta gratis kemanapun di Belanda. Hari sabtunya, tanggal 13 maret 2010, saya dan teman-teman merespon nasehat pa profesor. Di Sabtu pagi yang cerah itu saya keluar dari kamar saya di Smaragdlaan jam 9 dengan beberapa tujuan yaitu menukarkan uang 100 dolar terakhir saya untuk biaya hidup sampai akhir Maret, kemudian mencari buku untuk acara besok, dan mengerjakan tugas kuliah di KITLV.<br />Kira-kira 15 menit kemudian saya sampai di pelataran parkir stasiun Leiden Centraal. Seperti stasiun-stasiun kereta api lainnya di Belanda, di dalam Stasiun Leiden Centraal ada beberapa toko dan kios yang disediakan oleh pengelola yang letaknya ada di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Mulai dari toko makanan siap saji, bunga, coffee shop, sampai cendra mata ada di sini. Bahkan hampir disetiap stasiun terdapat money changer, maklum Belanda terkenal sebagai negara yang sangat pluralis dan merupakan salah satu negara tujuan turis asing yang singgah di Eropa. Setelah menukarkan uang, saya kemudian menuju toko buku Leiden Centraal untuk hunting buku yang dimaksud Prof. Busken.<br />Awalnya saya pikir saya bisa membeli buku apa saja untuk acara besok namun ternyata setelah bertanya kepada shop keeper, saya harus belanja minimal 10 euro buku apa saja asal berbahasa Belanda untuk mendapatkan hadiah buku yang berisi tiket <span style="font-style: italic;">zondag 14 maart gratis treinen met uw Boekenweekgeschenk </span>(kira-kira terjemahan bebasnya: gratis tiket kereta pada hari buku tanggal 14 Maret). Setelah naik ke lantai atas dan ke bawah lagi, Saya putuskan untuk tidak membeli buku di toko itu karena saya pikir toko buku lain bisa menyediakan pilihan buku berbahasa Inggris agar bisa dibaca.<br />Saya kemudian memacu sepeda melewati jalanan yang lengang melewati puluhan toko yang belum mulai beraktivitas menuju toko buku Altis, kira-kira 100 meteran dari alun-alun Leiden. Saya berharap mendapatkan buku pelajaran atau minimal buku berbahasa Inggris di toko ini. Tapi ternyata, setelah beberapa ratus meter mengayuh sepeda dengan ratusan kalori yang tumpah, buku yang saya cari tidak didapatkan. Bahkan, sang empunya toko tidak menyediakan buku untuk <span style="font-style: italic;">Boekenweek</span>....cape deh..<br />Namun saya tidak putus asa, saya kemudian menyusuri jalan Brehstraat karena disana ada beberapa toko buku besar. Nah, di toko buku didekat gang menuju Lipsius saya temukan buku untuk <span style="font-style: italic;">Boekenweek</span> besok. Walaupun harganya lebih mahal dari toko buku di Leiden Cetraal. namun tetap saya beli. Disini, saya harus membeli buku minimal 12,5 euro untuk mendapatkan buku novel berjudul "Duel" yang berisi tiket itu. Karena energi sudah terkuras di tambah masih harus memikirkan kunci kamar yang kemungkinan hilang, saya putuskan langsung beli buku berbahasa Belanda seharga 12,5 euro plus titipan tiga orang teman. Jadi saya habiskan dana 50 euro pagi itu.<br />Setelah membeli buku itu, saya mengayuh kembali pedal sepeda model olympic biru saya menuju KITLV yang jaraknya hanya dipisahkan oleh beberapa blok bangunan tua. Saya memang berniat untuk menyelesaikan tugas pa Nico di sana. Namun saya menemukan pagar KITLV, pusat perpustakaan untuk wilayah Asia Tenggara dan Karibia itu terkunci, hari sabtu itu KITLV tutup. Akhirnya saya merubah tempat untuk mengerjakan tugas ke Bibliotek (perpus pusat).<br />Selama beberapa jam di Bibliotek, saya fokus untuk menyelesaikan tugas pa Nico, salah seorang ahli Indonesia di Leiden University yang juga merupakan kordinator program Indonesian Young Leaders. Di kelas pa Nico ini biasanya teman-teman, termasuk saya, agak sedikit tegang karena beliau memiliki wewenang untuk memulangkan "orang" dengan langsung memberikan tiket mudik kepada yang bersangkutan jika memiliki masalah akademik yang tidak bisa di tolelir. Waktu menunjukan pukul 16.30 ketika saya memutuskan untuk kembali ke Smaragdlaan. saya lupa jika hari itu Rana, mahasiswi asal Syiria akan bersilaturaim ke tempat kami di Smaragdlaan. Akhirnya di temani gerimis tipis yang mengguyur kota Leiden dan awan cumulus yang gelap dengan agak tergesa saya memacu sepeda pulang ke Smaragdlaan.<br />Kamar Turjiman ternyata sudah berkumpul teman-teman termasuk Rana Abdoel dan Livia, asal Spanyol mahasiswi PhD yang juga teman sekelas kami. Rana memasak makanan khas Syiria yaitu potongan sayuran yang terdiri dari mentimun, kol, sawi, dan jeruk nipis di tambah garam ditambah roti kering khas Syria. sementara Livia membawa masakan khas Spanyol yang mirip telur dadar di Indonesia hanya bedanya ada isinya berupa potongan-potongan kentang goreng yang di potong tipis dan tidak beraturan. Setelah makan, kami membicarakan teknis keberangkatan untuk besok dalam rangka mengelilingi Belanda dalam satu hari...(apa mungkin?). Minggu subuh kami berlima (saya, cucu, zainal, ariza dan syahrill) plus bintang tamu yaitu Livia dan Elyas, seorang mahasiswa asal Peru teman Livia, sepakat untuk bertemu di Leiden Centraal jam 7 pagi karena kereta pertama menuju Den Haag Centraal akan berangkat pukul 07.20 pagi.<br /><span style="font-weight: bold;">Perjalanan ke Maastrict</span><br />Masstrict merupakan kota di paling ujung selatan negara Belanda berbatasan dengan Belgia yang menurut data dari internet satu malam sebelum kami berangkat, memiliki pemandangan yang indah dan eksotis. Butuh waktu kurang lebih 4 jam untuk dapat mencapai kota itu. Sedangkan, untuk sampai ke sana dari Leiden Centraal, jalur yang harus kami tempuh adalah kami harus ke Den Haag Centraal, dari sana kami naik kereta jurusan Utrect yang merupakan stasiun terbesar di Belanda karena dari Ultrect seluruh kota di Belanda bisa di jangkau. Dari Ultrect kami naik kereta inter city yang mengantarkan kami langsung menuju Maastrict.<br />Kurang lebih dua jam kemudian, kami sampai di sana dengan sambutan hawa dingin yang cukup menggigilkan tubuh. Setelah beberapa minggu di Belanda, saya menyimpulkan bahwa stasiun sebagai tulang punggung transportasi publik di Belanda memang di desain untuk berada di tengah-tengah kota. Sehingga, ketika keluar stasiun kami selalu langsung masuk ke jantung kota. Kami menyempatkan untuk berpose dengan beberapa gaya standar di depan stasiun Maastrict sebelum menyebrang jalan menuju kanal besar yang membelah kota Maastrict yang letaknya 500an meter dari stasiun Maastrict. Di kanal besar itu, banyak turis asing yang juga sedang berfoto ria saya melihat beberapa orang bermata sipit, mungkin asal Asia Timur yang sedang berlibur. Sebetulnya di kanal besar itu, ada kapal-kapal laut yang bisa di sewa untuk berkeliling Maastrict lewat jalur air namun karena agak mahal kami memutuskan untuk berkeliling Maastrict dengan on foot alias berjalan kaki.<br />Ciri lain dari setiap kota di Belanda adalah adanya Town Hall atau alun-alun dengan tanah lapang yang cukup luas dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan khas abad 16/17 ditambah dengan gereja dengan puncak yangi menjulang menancap langit-langit kota. Di salah satu lapangan setelah kami melewati beberapa blok toko-toko fashion, kami jumpai penjual makanan khas Belanda yang di Indonesia mirip "Gulang-galing" makanan dari tepung yang diberi ragi kemudian di goreng. Bedanya, di Maastrict gulang-galing itu memiliki isi. ada isi pasta pisang, keju, coklat, apel, strawberi, dan bahkan berisi wine (yang ini saya tidak suka). Kemudian di tambah dengan gula halus seperti gula mamang donat keliling yang setiap pagi lewat Ciceri Jaya, Serang. harganya relatif murah mulai dari 70 sen sampai dengan 1.4 euro per pcsnya. Di lapangan itu, kami juga sempatkan untuk menengok gereja tua yang masih ramai di kunjungi jamaat misa, mungkin untuk membaptis anak-anak mereka (seumur hidup ni pengalaman pertama saya masuk gereja).<br />Setelah puas berkeliling, kami mencari makan di kafe-kafe di pinggiran Town Hall. Elyasmengajak kami ke cafe yang agak artistik karena di dalamnya kami seperti berada di bangunan tua yang hampir runtuh namun tetap cantik. saya memilih minum kopi ekpresso seharga 2 euro selain untuk penghematan, juga karena seudah kenyang makan beberapa potong gulang galing gratisan dari Livia (he he). Kami kembali ke stasiun jam 15.00 untuk menuju Einhoven.<br /><span style="font-weight: bold;">Di Kota PSV Einhoven</span><br />PSV einhoven merupakan salah satu klub kesohor di Belanda selain Ajak Amsterdam, Feyenoord, dan Alkmaar. kami berkesempatan mengunjungi stadion Phillips yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari stasiun Einhoven. Sayangnya, pintu stadion terkunci karena tidak ada pertandingan sehingga kami hanya bisa memandangi indahnya stadion dari balik teralis besi yang rapat menghalangi pintu masuk. Setelah berfose di depan stadion, kami kembali menuju stasiun untuk kembali ke Ultrect centraal. Oh iya, di depan jalan keluar dari stasiun Einhoven, ada restoran Indoensia yang cukup besar bernama restoran Garuda. saya sebetulnya ingin sekali makan di sana karena perut sudah mulai keroncongan tapi karena teman-teman sudah makan roti dengan potongan daging ayam yang tidak enak di cafe Maastrict maka kami urung untuk makan di sana.<br /><span style="font-weight: bold;">Stasiun Ultrect</span><br />Sampai di Stasiun Ultrect hari sudah mulai gelap dan perut sudah tidak bisa di ajak kompromi. Elyas dan Livia dan teman-teman juga sudah mulai lapar. kami kemudian menyusuri deretan toko dan rumah makan di Ultrect Centraal dan akhirnya mendapati restoran China dengan menu "halal" wah mantap....ini dia yang dicari-cari: nasi! bukan orang Indonesia kalo makannya ga pake nasi!!! satu porsi nasi dengan sayur dan ayam khas Chinese food seharga 6,5 euro diambah dengan teh seharga 1,5 euro plus 50 sen untuk ke kamr mandi. Jadi saya habiskan 8 euro untuk makan malam. kalo di convert ke rupiah emang lumayan untuk satu kali makan, makanya di sini jangan pernah mengingat Rupiah karena bisa pusing.<br />Dari stasiun Ultrect kami mencari kereta yang akan menuju Gauda, kota di Belanda yang di kenal sebagai pembuat keju. tak lama kemudian kereta menuju Gauda datang dan 20 menit kemudian kami sampai di kota yang sudah mulai dingin dan sepi. Di pusat kota, toko-toko sudah mulai tutup. kami hanya berjalan-jalan dan berfoto di Town Hall Gauda karena jalanan sudah sangat sepi. Sebetulnya di belakang Town hall ada Musium yang ramai di kunjungi oleh beberapa orang, namun ternyata mereka sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. kami harus puas dengan hanya melihat-lihat musium tua itu dari luar. Di jalan menuju Stasiun Gauda, kami jumpai toko-toko keju yang tutup tapi kaca beningnya memudahkan kami untuk melihat ratusan bentuk keju, mulai dari yang bentuknya paling kecil sampai yang besarnya seperti ban mobil truk di jual di toko itu. saya penasaran ingin mencoba rasa kejunya tapi karena sudah tutup ya akhirnya hanya menelan ludah saja. Dalam hati saya berjanji akan membelikan keju untuk istri dan keluarga di Serang setelah program ini selesai. Dari stasiun Gauda kami melangkah pulang dengan melewati stasiun Den Haag Central dan berganti kereta menuju Leiden Centraal.<br />Perjalanan yang cukup melelahkan namun sangat mengasyikkan karena dengan biaya minimal kami bisa mengunjungi beberapa kota di Belanda sekaligus dengan program <span style="font-style: italic;">Boekenweek</span> yang mungkin harus di coba oleh pemerintah Indonesia karena program ini paling tidak akan memiliki multiple efek yaitu meningkatkan minat baca masyarakat, meningkatkan jumlah buku yang terjual, menilai karya anak-anak bangsa dan sekaligus memutar roda perekonomian rakyat. sehingga saya akhirnya ingin menyarankan kepada pemerintah Belanda agar program ini tidak hanya satu tahun sekali namun mudah-mudahan bisa di tingkatkan menjadi dua kali dalam satu tahun agar mahasiswa internasional bisa lebih mengenal Belanda sebagai salah satu bagian dari bumi Allah yang maha luas.<br />Smaragdlaan, 15 Maret 2010 menjelang tidur 21.30.<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-21258913077538754942010-03-03T08:47:00.000-08:002010-03-03T09:57:29.362-08:00Belajar Masak untuk Acara Ngobrol dengan Pa Azra<div style="text-align: justify;">Kemarin sore setelah seminar prof. Azra di rumah Snouck H. selesai, beberapa teman mahasiswa PhD seperti kang Hilman, kang Kusmana, dan kang Yasrul dan beberapa teman IYL mengadakan rapat singkat untuk membahas persiapan ngobrol bareng pa Azra dengan teman-teman program IYL karena menurut kang Hilman, pa Azra bisa menyempatkan waktunya untuk bertemu dan ngobrol untuk beberapa jam antara pukul 11-13 tanggal 3 Maret. Setelah berdiskusi beberapa saat, diputuskanlah kamar 228 dan 242 di Smaragdlaan sebagai tempat pertemuan sekaligus ngobrol bareng dengan pa Azra. Rapat singkat diluar rumah Snouck tersebut menghasilkan keputusan bahwa teman-teman PhD bertugas untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasak sesuai dengan keahlian masing-masing. sedangkan teman-teman S2 bersiap menyiapkan tempat, memasak nasi, dan membeli snack, buah dan jus.<br />Tepat jam 10 pagi mas Hilaman, Kusmana, dan Yasrul datang ke kamar saya dengan membawa bermacam-macam bahan makanan.<br />Kang Yasrul memulai "aksi"nya dengan memasak gulai ikan khas Padang. bumbu yang dipersiapkan adalah bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, garam, gula dan tentu saja cabai merah yang ditumbuk halus. setelah bumbu siap maka langkah selanjutnya adalah mempersiapkan wajan yang kemudian di beri santan kental dan air setelah beberapa lama di panaskan diatas kompor makan bumbu tersebut di masukkan kedalam wajan yang berisi air plus santan. kemudian dengan panas api sedang kuah tersebut di aduk-aduk untuk menghindari pecahnya santan dan ditambahkan daun salam dan sereh. Setelah mendidih, maka ikan beku yang telah dipotong-potong dimasukkan kedalam wajan tersebut hingga masak. <span style="font-style: italic;">Ruasanya</span> enak re'....<br />Aksi kedua dilakukan oleh kang Hilman yang memasak masakan luar negeri seperti sop Tom Yum yang berasal dari Thailand. menurut kang Hilman, masakan ini biasanya disajikan sebagai makanan pembuka sebelum makanan utama. bumbu yang dipersiapkan diantaranya: bawang merah, putih, sedikit bawang bombay, sereh, salam, paprika merah, udang kering, jamur, cumi, dan beberapa jenis kerang yang ada di Digros, supermarket terdekat dari Smaragdlaan. cara memasaknya irisan bawang merah, putih dan bombay di tumis dengan minyak sayur scukupnya kemudian di tambahkan air kemudian direbus sampai mendidih. setelah mendidih masukkan sea food tadi bersama potongan jamur disertai sereh, salam, lengkuas dan kayu manis. Sebetulnya ada bumbu khusus Tom Yum yang bisa di beli disuper market tapi karena lupa dibeli bumbu seperti inipun sudah standar kata kang Hilman. Hasilnya...kelezatan masakan khas Asia yang kaya rempah-rempah dan bumbu.<br />masakan kang Hilman selanjutnya adalah nasi Pakistan saya lupa namanya tapi mungkin sejenis nasi kebuli di Indonesia. bahan-bahannya: irisan dadu daging sapi 1/4 kg, kayu manis, lengkuas, salam, garam secukupnya, dan beras. beras yang sudah dicuci kemudian diberi air secukupnya seperti untuk memasak nasi. kemudian masukkan kedalam beras tersebut potongan daging sapi yang sudah di goreng setengah matang dan rempah-rempah tadi. kemudian masaklah nasi seperti biasa setelah kurang lebih 20 menit nasi kebuli siap untuk di santap.<br />Kang Kusmana memilih untuk memasak sayur tumis. ya kalo untuk tumis menumis standarlah...he he tapi sayurnya memang enak. Jadi intinya selain pandai membaca buku dan membuat review ternyata mahasiswa yang belajar ke luar negeri juga pandai memasak. sehingga jika berminat bisa jadi mereka bisa membuka rumah makan atau restoran di tanah air untuk menyaingi rumah makan atau resto yang lebih dahulu kondang.<br /><span style="font-weight: bold;">Obrolan dengan Pa Azra</span><br /></div><div style="text-align: justify;">Pa Azra sampai di Smaragdlaan sekitar pukul 13an dengan di temani salah satu staf kedutaan yang punya latar belakang ilmu politik. Seperti obrolan mahasiswa pada umumnya, obrolan kami berputar pada masalah akademik dan dunia kampus seperti tekanan psikologis ketika membuat thesis atau disertasi, dosen atau pembimbing thesis yang agak strick, dan lainyya. <span style="font-style: italic;">Nah</span>, menurut pa Azra dalam mengagrap disertasi atau thesis yang paling penting adalah konsistensi. sewaktu beliau menyusun disertasinya di Columbia University, beliau selalu menyempatkan waktu untuk menulis paling tidak 2 lembar sehari sebelum berangkat bekerja atau setelah pulang bekerja disaat magrib, sehingga dalam waktu 10 bulan disertasinya bisa selesai. Satu lagi, ketika menemukan fakta dan data baru janganlah menunda-nunda untuk memasukkannya dalam tulisan untuk mencegah kelupaan. menurut pa Azra juga, ketika menulis , usahakan apa yang telah kita tulis jangan dihapus atau de-delete sampai selesai karena itu akan menggangu konsentrasi. jadi ketika kita stak di bab 1, tulislah bab dua, tiga, atau empat atau bahkan sub babnya. jangan sampai terpaku hanya dalam satu bab.<br />Obrolan kemudian beranjak kemasalah dalam negeri seperti prosedur penelitian di pasca UIN sampai ke masalah politik. untuk masalah akademik beliau berpesan kepada dosen-dosen muda agar jangan sampai memberi nilai "mati" kepada mahasiswa yang sudah bekerja keras, jangan menyamakan kapasitas otak kita dengan mereka karena tentu akan berbeda makanya yang harus ditanamkan adalah empati.<br />Ketika membahas tentang politik dalam negeri belanda, kami semua agak kaget mendengar penjelasan dari staf kedutaan bahwa ternyata di Belanda ada salah satu partai politik Kristen yang melarang perempuan untuk duduk di parlemen bahkan untuk menjadi anggotanyapun tidak boleh. Luar biasa, di negara majupun yang katanya demokratis dan menghargai HAM ternyata diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dan lebih parah dibanding negeri kita. Di Indonesia tidak ada partai yang berlandaskan agama (Islam dan Kristen) yang melarang perempuan untuk berkiprah didunia politik.<br />Setelah ngobrol <span style="font-style: italic;">ngalor</span> dan <span style="font-style: italic;">ngidul</span> selama hampir 4 jam seputar belajar diluar negeri dan segala suka dukanya, kami menyempatkan untuk berfoto bersama pa Azra dan beliau akhirnya kembali ke Den Haag<br />Smaragdlaan 3 Maret 2010 jam 18.59.<br /></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-82920268712241401822010-03-02T11:02:00.000-08:002010-03-02T12:08:49.498-08:00Seminar Pa Azra dan Ziarah Ke Rumah Dr. Snouck Hurgronje<div style="text-align: justify;">Hari ini tanggal 2 Maret 2010 mungkin hari yang ditunggu-tunggu tidak hanya oleh saya tapi juga oleh teman-teman yang mengambil kelas Anthropology of Muslim Societies yang diasuh oleh Prof. Busken karena kelas hanya akan berlangsung 1 jam dan selebihnya akan dihabiskan di rumah Snouck Hurgronje yang letaknya tidak jauh dari Lipsius, nama salah satu ruang kuliah di Leiden University. Kelas biasanya berlangusng dari jam 15.15-18.00 namun sore ini jam 16.00 tepat civitas akademik Leiden University terutama pada fakultas Middle East Studies kedatagan tamu dari Indonesia, beliau adalah Prof. Azyumardi Azra PhD, Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sebetulnya di undang oleh kedutaan Indonesia untuk memberi ceramah maulid nabi Muhammad SAW di Den Haag beberapa hari yang lalu. Berhubung Dr. Nico Kaptein, Koordinator program IYL, memiliki hubungan yang erat dengan Prof. Azra maka seminarpun di <span style="font-style: italic;">arrange</span> untuk mengakomodasi "kehausan" ilmuwan belanda tentang Indonesia sekaligus untuk menambah wawasan bagi mahasiswa yang menerima beasiswa baik dari master maupun PhD pada program Islamic Young Leaders (IYL).<br />Seminar berlangsung kurang lebih dua jam yang berisi dua sesi yaitu sesi pemaparan tentang kondisi sosiopolitik muslim Indonesia dan sesi tanya jawab. Prof. Azra membuka seminar dengan mengajukan sebuah pernyataan bahwa <span style="font-style: italic;">Islam practiced by Indonesian Muslims is an enigma</span>. Ini terjadi karena Indonesia merupakan wilayah periferal yang letaknya jauh dari pusat Islam yaitu <span style="font-style: italic;">Middle East</span>. Dalam pemaparannya Prof. Azra juga menjelaskan tentang beberapa sifat moderat yang dimiliki muslim di Indonesia dengan membandingkannya dengan muslim Middle East diantaranya masalah perempuan. Di Indonesia, perempuan bisa mengendarai mobil kemanapun,bisa memimpin sholawat Barjanzi dengan pengeras suara bahkan bisa setiap tahun mengikuti MTQ (<span style="font-style: italic;">Musabaqoh Tilawatil Quran</span>) yang tentu tidak bisa di temukan di <span style="font-style: italic;">Middle East</span> yang menganggap bahwa suara perempuan sebagai aurat.<br />Prof. Azra juga menyinggung tentang kehidupan muslim indonesia yang toleran dan mudah untuk berasimilasi dengan masyarakat Belanda bahkan katanya model jilbab yang di pakai kebanyakan perempuan Indoensia cendrung lebih modis. Lucunya, ketika bertanya ke audiens: di Belanda tidak mungkin menemukan perempuan indonesia yang menggunakan Burqa yang menutupi seluruh tubuh wanita kan? Prof. Busken langsung menjawab ya karena kita tidak bisa melihat wajah mereka untuk menentukan dia wanita Indoensia atau bukan. tentu saja hadirin tertawa. Beliau beranggapan bahwa aksi-aksi terorisme dan demonstrasi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang beberapa tahun yang lalu marak bukan di sebabkan oleh umat Islam Indonesia sebagai mana terjadi ketika masa Darul Islam atau NII namun lebih ditentukan oleh gerakan Islam transnasional seperti Jamaah Islamiyah, Hizbutahrir, atau gerakan transnasional lainnya yang menyusupi umat Islam Indonesia.<br />Menurut Prof. Azra, apa yang mereka lakukan bukan cerminan muslim Indonesia yang sebenarnya karena walaupun terjadi santrinisasi besar-besaran dalam bentuk disekolahkannya anak-anak Islam abangan ke sekolah-sekolah Islam dan menyebabkan penganutIslam abangan dipengaruhi oleh anak-anak mereka untuk mempraktekkan apa yang mereka dapatkan disekolah, namun hal itu tidak mempengaruhi preferensi politik mereka dalam setiap pemilu di Indonesia terbukti dengan perolehan suara parta Islam yang paling besar berkisar diantara 8-10 % jauh dibawah partai-partai nasionalis-sekuler seperti Golkar atau PDIP yang memperoleh suara diatas 20%.<br />Seminar di tutup oleh Dr. Niko Kaptein tepat jam 18.00 sore dan seperti biasa saya dan teman-teman berusaha untuk berbincang dengan narasumber untuk mempererat silaturahim. di seminar itu juga kebetulan dihadiri oleh pa Umar yang merupakan wakil Kedubes Indonesia di Belanda dan ternyata beliau alumni SMUN I Serang angkatan 83, mantap...<br /><span style="font-weight: bold;">Rumah Snouck Hurgronje</span><br />Snouck Hurgronje merupakan akademisi leiden yang memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan pemerintah Netherland Indis terutama dalam masalah keislaman warga pribumi. Salah satu masukan Snouck untuk pemerintah kolonial pada waktu itu adalah tentang pemisahan antara kegiatan ritual umat Islam dengan kegiatan politik. menurut Snouck, selama umat Islam masih sholat, zakat, dan melakukan kegiatan ritual lainnya seperti haji lebih baik di biarkan saja oleh pemerintah karena hal itu tidak akan mengganggu pemerintahan. justru yang harus pemerintah lakukan adalah membatasi keiatan politik umat Islam karena jika umat Islam sudah "melek" politik akan sangat berbahaya bagi pemerintah. nah, nasehat Snouck inilah yang kemudian diterapkan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu dan di lanjutkan oleh Soekarno, Soeharto, dan presiden-presiden RI selanjutnya.<br />Nah, tokoh inilah yang rumahnya kami kunjungi tadi sore. Rumah yang khas belanda karena tidak memiliki halaman depan. Rumah tersebut secara garis besar dibagi dalam empat bagian yaitu ruang depan yang biasa di gunakan untuk seminar-seminar, ruang tengah yang di batasi oleh slide yang terbuat dari kayu berukiran yang antik, ruang baca, dan halaman belakang yang berfungsi sebagai taman.<br />Diruang depan terdapat meja panjang yang dpakai untuk narasumber seminar dan moderator. dan audiens menghadap ke arah meja narasumber. disebelah kanan terdapat perapian tua namun masih terpelihara dengan baik sedangkan di hadapannya terdapat lukisan besar yang mungkin lukisan bangsawan abad pertengahan. diruangan tengah terdapat lemari kecil di baian kanan yang berisi sedikit koleksi barang antik seperti keramik-keramik kecil dan logam-logam. dikanan dan kiri dinding terdapat tiga lukisan diantaranya lukisan perepuan muda, perempuan tua, dan lukisan pasangan yang ditemani dua anjing. Ruangan terakhir adalah ruang baca dimana terdapat dua lemari baca berukuran sedang yang berisi buku-buku karangan Snouck dan buku lainnya. terakhir halaman belakang yang di tanami tanaman-tanaman kecil seperti tanaman "anak nakal" dan terdapat dua pohon besar yang juga berfungsi sebagai tempat burung-burung singgah. Kuburan Snouck sendiri letaknya tidak jauh dari rumah tersebut namun saya belum sempat menziarahinya. Wallahua'lam...<br />Smaragdlaan, 2 Maret 2010 pukul 20-21.15. <br />Seminar berakhir pada pukul<br /><br /></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-2587601403588713452010-03-02T10:54:00.000-08:002010-03-02T11:01:58.469-08:00Ziarah Ke Rumah Dr. S<input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-56544128375044492732010-02-27T23:06:00.000-08:002010-02-28T00:28:23.451-08:00Ngopi di Anne's CafeMalam minggu terakhir di bulan Februari ini, saya dan teman-teman menemani Nuril, Islam Young Leaders 3 (IYL) terakhir yang akan pulang ke Indonesia. Memang tanpa rencana, tapi agaknya sudah menjadi kebiasaan bahkan budaya bagi mahasiswa ndonesia ketika menyambut kedatangan teman dari tanah air dan melepas kepergian teman ke tanah air selalu di iringi dengan "syukuran" atau dalam bahasa baratnya "party" sederhana dengan mengundang teman-teman yang terbatas jumlahnya.<br />Kami mengawali "party" ini dengan bersepeda melewati Leiden Centraal menuju rumah mba Sherley. Beliau adalah perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Belanda dan sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal dan menetap di Leiden. Mba Sherley mungkin belum saya perjelas dan spesifikasikan pada kategori yang saya buat beberapa waktu yang lalu bahwa orang Indonesia yang tinggal di Belanda di bagi dalam dua kelompok besar yaitu orang Indonesia yang tinggal temporer dan orang Indonesia yang permanen.<br />Mba Sheyley, saya kelompokkan pada "varietas" kedua karena dia tinggal dan menetap di Belanda secara permanen bersama suami yang berkewarganegaraan Belanda ataupun bisa sebaliknya pria Indonesia yang menikah dengan warga Belanda seperti pa Suryadi yang bekerja di International Office dan menikah dengan perempuan Belanda dan sudah dikaruniai dua anak. varietas ini jumlahnya juga lumayan banyak.<br />Di rumah mba Sherley, kami hanya sebentar karena tujuannya memang hanya mengantar Nuril untuk berpamitan. Pulang dari rumah mba Sherley, kami memutuskan untuk "ngopi" di salahsatu kafe yang ada di Harleemstraat. Harlemstraat memang kawasan yang eksotis karena tempat ini dibelah oleh kanal yang lumayan besar dan di kanan dan kiri kanal tersebut terdapat bangunan-bangunan tua, kafe, restoran, dan toko-toko. setelah pilih-pilih, Nuril mengajak kami untuk "ngopi" di salah satu tempat yang cukup antik yaitu Anne's Cafe.<br />Posisi Anne's Cafe ini sangat strategis karena tepat berada di bawah jembatan kanal yang menghubungkan antara bagian kanan dan kiri kanal sehingga lalulintas manusia yang melintasi kanal tersebut cukup padat. Tapi walaupun cukup strategis dan terkenal diantara warga Leiden namun pintu masuk menuju Anne's cafe sangat sempit karena hanya selebar kurang-lebih satu meter dan tidak seperti menunjukan keterkenalannya.<br />Kami harus melewati kira-kita sepuluh meter susunan tangga ke bawah untuk sampai pintu masuk cafe tersebut. nah, ada kejadian yang cukup menarik ketika kami akan masuk ke dalam cafe tersebut. kejadiannya ketika teman kami yang tubuhnya lebih pendek dari kami dilarang masuk oleh petugas security karena menurutnya anda belum berusian diatas 18 tahun. Bahkan, dia menanyakan paspor kami. <span style="font-style: italic;">wah</span> pikir saya urusannya akan panjang, tapi setelah dijelaskan bahwa kami semua adalah mahasiswa S2 Leiden yang sudah berusia lebih dari 25 tahun, petugas tersebut akhirnya mempersilahkan kami masuk kedalam.<br />Jadi untuk masuk kedalam sebuah Cafe ternyata juga ada aturannya. tidak sembarang orang bisa masuk khususnya untuk anak muda yang masih 18 tahun ke bawah. Pertanyaanya kenapa di larang? Ternyata "sederhana", di cafe-cafe tersebut disediakan minuman-minuman keras yang hanya boleh dikonsumsi oleh kelompok umur yang lebih dari 18 tahun. Petugas security tersebut menjalankan komitmen pemerintah kota untuk tidak membolehkan remaja dibawah 18 tahun untuk minum minuman keras dan tentu saja tidak bisa di <span style="font-style: italic;">sogok</span> he he....<br />Anne's kafe di bagi dalam dua bagian yaitu bagian luar yang menjorok ke luar kanal dan bagian dalam yang sangat unik. Di bagian luar, lantai kayu menutupi kurang lebih 10x10 meter luas permukaan kanal dan diatasnya terdapat meja-meja dan kursi untuk makan dan minum. Di bagian ini ramai ketika musim semi atau panas karena dari tempat itu, lalu lalang pengunjung Harlemstraat bisa terpantau dari permukaan kanal. di musim dingin, bagian dalam kafe yang selalu ramai karena di bagian dalam selalu ada penghangat ruangan yang sangat membantu mengurangi kedinginan pengunjung.<br />Kemudian bagian kedua adalah bagian dalam. Interior Anne's Cafe sangat unik dimana pintu keluar dan masuk hanya satu. Dibagian dalam cafe, jalan masuk mengiris cafe menjadi dua sisi d kanan dan kiri yang dilengkapi dengan meja dan kursi ukuran 1x1 meter. ciri khas bangunan tua memang ada disini yang terlihat dari corak bangunan dan bentuk interiornya.<br />Nah kalo melihat Anne's Cafe saya jadi terinspirasi untuk membangun hal yang sama di Kota Serang. di kota Serang, ada dua jembatan yang walupun tidak besar tapi bisa di manfaatkan untuk tempat usaha-usaha kuliner: cafe atau rumah makan. jembatan pertama terletak di sebelah barat alun-alun kota Serang dan yang kedua jembatan yang melintasi kali banten yang ada di desa Ciawi, Benggala. sayabermimpi untuk membuatnya seperti Anne's Cafe suatu hari nanti. amiin...<br />Awalnya saya pikir Nuril mengajak kami ke tempat yang berbahaya bagi komitmen keislaman kami, namun pikiran itu sirna karena kami bisa memesan kopi susu dan jus. Mungkin dalam benak para pengunjung cafe yang hilir mudik, kelompok kami yang malam itu berjumlah lima orang termasuk kelompok aneh, kurcaci-kurcaci kecil yang hanya minum kopi dan jus bukan bir, wine, atau vodka seperti mereka. <span style="font-style: italic;">Anyway</span>, malam minggu terakhir dibulan Februari dan terakhir bagi Nuril kami habiskan di Anne's Cafe dan dilanjutkan di Smaragdlaan untuk masak-masak. Semoga berkesan untuk Nuril dan tman-teman...<br />Ahad, 28 Februari 2010 Jam 9 pagi.<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-54295646023859166562010-02-24T21:47:00.000-08:002010-02-24T23:37:35.983-08:00Rapat JKI dan Red Light<div style="text-align: justify;">Dua hari yang lalu, mas Alfa (yang ternyata dosen Untirta) melalui mlist mengundang saya untuk hadir pada hari Rabu tanggal 24 februari 2010 di rumah mba Dini di Amsterdam untuk membicarakan sikap intelektuil Belanda yang meminta pemerintahnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan pada tanggal 27 Desember 1949. Rapat ini saya pikir penting untuk saya sebagai "warga" baru di Belanda paling tidak karena 3 aspek yaitu aspek sosial, idiologis dan tentu saja aspek rekreatif.<br /><span style="font-weight: bold;">Aspek Sosial</span><br />Untuk aspek sosial, sebagai "warga" baru tentu saja saya harus memulai memperkenalkan diri, bersilaturahim, dan membina hubungan baik antara orang Indonesia yang ada di Belanda. selain bermanfaat untuk meningkatkan nasionalisme, bersilaturahim, seperti kata Nabi Muhammad, juga akan menambah umur dan rizki. Untuk tujuan terakhir ini biasanya sangat aplikatif karena rizki memang akan mengalir baik berupa "wakaf" baju-baju hangat dan sepeda, informasi, dan tentu saja makanan-makanan khas Indonesia yang jika beli di kafe atau restoran harganya sangat mahal, bisa sampai 8-10 euro untuk satu porsi gulai kambing atau sop buntut.<br />Bicara masalah orang Indoenesia di Belanda yang jumlahnya bisa mencapai ribuan, secara garis besar, di bagi menjadi dua kelompok besar yaitu warga Indonesia yang tingal di belanda karena tugas belajar, kerja atau keperluan yang bersifat temporer dan orang Indonesia yang secara idiologis "disingkirkan", tidak bisa pulang dan akhirnya menetap di Belanda karena perbedaan sikap politik dan idiologi dengan pemerintah orde baru.<br />Pertanyaan standar yang biasanya ditanyakan dihampir setiap pertemuan adalah; mas Rohman asalnya dari mana? wajarlah karena Indonesia itukan luas dan punya puluhan provinsi. biasanya saya menjawab "saya dari Serang, Banten" dengan penekanan yang agak meninggi ketika menyebutkan Banten karena menurut pa Mufti sebelum berangkat agar saya jangan meninggalkan Banten ketika berkenalan dengan teman-teman di Belanda dan tentu saja teman teman berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.<br />Saya agak telat datang ke rumah mba Dini karena kang Hilman, senior saya yang mahasiswa S3 juga belum pernah ke rumah itu. sehingga perlu waktu untuk menemukan "trem No. 14" yang akan mengantar kami ke halte "Plein 40-45" di pinggiran kota Amsterdam yang luas dan gemerlap. Setelah "meliuk-liuk" di jalanan Amsterdam akhirnya trem 14 ketemu juga, dia mangkal diantara dua bangunan tua belanda yang salah satunya Istana Ratu Belanda, Betrix. setelah membelah kota Amsterdam, trem 14 sampai juga di halte itu. Di rumah mba Dini, sudah ada mas Alfa, pa Mintarjo beserta istri, mas siswa, mas najib, dan beberapa orang lainnya termasuk kalau tidak salah mas Arif yang kedua orangtuanya berasal dari Kaujon Serang.<br /><span style="font-weight: bold;">Aspek Idiologis</span><br />Nah kita masuki aspek idiologis di bagian ini. kecuali saya dan mas Hilman, peserta rapat yang hadir merupakan rerpesentasi tim 13 yang memprakarsai terbentuknya Jaringan Kerja Indonesia (JKI) yang berusaha "menyatukan" berbagai kelompok masyarakat Indonesia di Belanda baik dari kelompok pelajar yang dikenal dengan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) yang tersebar di hampir seluruh kota-kota di Belanda, kelompok profesional, warga yang tidak bisa pulang beserta anak-anaknya, dan kelompok kesukuan seperti dari Maluku dan Papua.<br />Dipertemuan itu dibicarakan isu sentral yaitu respon JKI terhadap sikap intelektual Belanda yang mendesak pemerintahnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan pada tanggal 27 Desember 1945. Ini yang menarik, memang setahu saya (dan harus diverifikasi lebih lanjut) di Indonesia ada 4 proklamasi yaitu proklamasi Komunis, proklamasi RI, proklamasi DI, dan PRRI. Di Indonesia sejak kita SD, guru-guru kita ketika menjelaskan tentang kemerdekaan Indonesia pasti tanggalnya adalah 17 Agustus 1945 dan kita selalu merayakannya setiap tahun. Anehnya di Belanda, para siswa dijelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu tanggal 27 Desember 1949 karena menganggap proklamasinya tidak syah. bahkan Indonesia di anggap sebagai bagian dari wilayah Belanda yang membangkang sehingga pada tahun 1947 dan 1949 di lanjarkan "penertiban" pada wilayah yang dianggap mereka masih bagian dari Belanda melalui serangkaian tindakan militer yang kita kenal dengan Agresi militer Belanda I dan II. Belanda pada waktu itu tidak rela, merasakan kehilangan yang sangat atas kemerdekaan Indonesia yang merupakan daerah koloni yang sangat kaya raya dan makmur.<br />Dengan konteks tersebut, maka JKI berinisiatif menyelenggarakan kegiatan yang berbentuk sarasehan atau seminar yang akan mengundang beberapa intelektual Belanda untuk bersama-sama warga Indonesia yang ada di Belanda membicarakan isu tersebut dan sekaligus akan mendorongnya menjadi isu bersama. Rapat malam tersebut menyetujui komposisi kepanitiaan sarasehan termasuk tempat dan tanggal acaranya termasuk akan dimulainya komunikasi dengan beberapa intelektual belanda yang akan di libatkan sebagai pembicara pada acara tersebut. tepat pukul 21.10 mas Alfa sebagai moderator, menutup rapat tersebut dan tidak lama berselang saya dan mas Hilman pulang.<br /><span style="font-weight: bold;">Red Light; Wilayah bebas nilai</span><br />Pulang dari rumah mba Dini, saya, mas Hilman, Pa Min dan Istri memilih untuk naik bus No. 21 karena bus itu lebih dulu menyapa dari pada trem (angkutan yang mirip kereta karena beroperasi diatas rel dan di kendalikan oleh jaringan listrik). Di Amsterdam dan Den Haag (dua kota yang saya kunjungi) trem beroperasi sebagai angkutan publik di tengah-tengah kota yang hampir setengahnya di uni bangunan-bangunan tua abad pertengahan. Sedangkan Bus beroperasi melewati pinggir-pinggir kota. Ketika sampai Amsterdam Centraal, mas Hilman menawari saya untuk "thawaf" di Red Light, satu wilayah pusat pelacuran dan narkotika di Belanda.<br />saya mengiyakan saja karena <span style="font-style: italic;">ga</span> enak sama senior...he he. menanjaki jembatan Red light, bau ganja sudah tercium kuat membuat saya aga pusing. Red light terdiri dari beberapa blok bangunan yang beroperasi sebagai kafe, restoran, live sex theater, toko mainan sex, dan semua tentang sex. belok ke kanan kanal, setiap bangunan di sana di desain sedemikian rupa dengan lampu warna warni dan ruang-ruang ukuran kecil yang seperti etalase dengan kaca yang menjadi pemisah. didalam ruang-ruang kecil tersebut, terdapat perempuan-perempuan dengan pakaian sangat seronok menawarkan dirinya kepada setiap orang yang lewat dengan berlenggak lenggok agar menarik perhatian. Untuk yang tertarik bisa langsung buka kaca dan bertransaksi dan menurut kang Hilman, "harganya" relativ murah sekitar 40 euro. Dalam hati, saya sebagai manusia merasa kasihan dengan perempuan-perempuan yang sebagian besar masih sangat muda itu karena mereka diekploitasi hanya untuk beberapa puluh euro. setelah "thawaf", cukup satu kali, kami langsung ke stasiun Amsterdam dan sampai di Leiden Centraal jam 23.10. di sini kami berpisah, mas Hilman bawa sepeda dan saya naik Bus ke halte Turkoislaan dan sampai ke Smaragdlaan jam 23.50....setelah menghubungi yayang dan anak-anak, bobo deh...<br />Smaragdlaan 228 25 Februari 2010 jam 6 pagi<br /><br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-20100451375702060512010-02-20T06:54:00.000-08:002010-02-20T08:09:15.220-08:00Kisah Si "Nyai tua" dan Sholat di masjid Den Haag<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">W</span>aktu itu hari Jumat, jam menunjukan pukul 10.30 tepat. berempat; sy, zaenal, syahril dan ariza bergegas menuju halte Turkoislaan menunggu Connexxtion yang akan mengantarkan kami ke Leiden Central. tidak lama berselang, busnya datang. saya duduk di bagian belakang karena bagian belakang bus di disain lebih tinggi dari pada bagian depannya. ini sebetulnya sengaja di desain sedemikian rupa karena bagian depan bus biasanya untuk orang-orang tua yang usianya sudah lanjut. nah, dibagian belakang biasanya di tempati anak-anak muda, seperti saya.<br />Di Belanda, mungkin karena negaranya yang sudah sangat maju, saya banyak menemukan orang-orang renta yang hilir mudik di jalanan baik menggunakan alat trasportasi umum maupun kursi roda yang di disain seperti motor sehingga mereka masih merasa nyaman beraktifitas dijalanan dan tempat-tempat umum lainnya. baik pemerintah kota maupun warga kota sangat memperhatikan orang-orang renta ini buktinya mereka memiliki tempat-tempat khusus baik itu di Bis maupun di kereta. Dari kacamata saya, angka kelangsungan hidup mereka saya prediksi cukup tinggi ini bisa saya lihat dari tingkat keriput pada kulit-kulit wajah mereka. Satu hal lagi yang membuat saya salut, mereka, walaupun sudah tua renta masih sangat gemar membaca. sehingga di tempat-tempat umum baik di bis kota, stasiun, bahkan air port dan di dalam pesawat mereka masih menyempatkan diri untuk membaca baik buku, novel, majalah, atau koran. Luar biasa!<br />Mungkin, walaupun belum tentu mereka semua tahu, mereka sedang mengamalkan hadist nabi bahwa "<span style="font-style: italic;">belajarlah kamu sejak di buaian sampai keliang lahat</span>." Hadis ini sudah dikenal sejak kita duduk di bangku madrasah tingkat pertama namun terkadang kita tidak mempraktekkannya dengan tuntas. Hanya sebagian kecil dari kita yang tetap konsisten mencari ilmu hingga maut menjemput. Kalau sudah begini, saya jadi teringat wajah-wajah orang-orangtua di Indonesia. Mereka yang tidak punya pensiunan harus tetap bekerja dan bekrja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akhirnya lupa untuk terus belajar dan memperbaiki diri.<br />Di atas rel menuju stasiun Den Haag HS ini, saya teringat "nyai-nyai" yang dahulu waktu saya SD, saya kenal sebagai "bibi kueh" yang selalu mampir ke rumah orang tua saya. Biasanya setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya, adik-adik saya dan ema selalu membeli beragam kue-kue khas Serang seperti bontot, bakwan, bacang, kroket, gulang galing, ketan, cilok, combro, misro dan lain-lain di bibi itu. Karena persaingan dagang yang mulai ketat, bibi itu banting stir dagang sayur mayur yang di beli dari pasar Rawu selepas subuh untuk kemudian di jajakan jam 7 pagi melewati kampung-kampung seperti Cinanggung, Penancangan, Ciceri Jaya, dan KPN.<br />Beberapa tahun tidk bersua ternyata bibi itu sudah beralih profesinya. Tubuhnya tidak lagi kuat, tubuhnya sekarang sudah renta. bibi tersebut saya panggil "Nyai", sebutan untuk perempuan tua di serang. Nyai tersebut kembali banting stir karena menurut ema saya si Nyai sudah kehabisan modal karena daganganya selalu dihutang dan belum tentu para penghutang itu akan membayarnya karena daftar penghutang juga tidak tercatat. Sekarang, beliau berprofesi <span style="font-style: italic;">ngeruntuk</span> (mencari barang-barang bekas seperti platik, besi, kardus, dan bekas aqua gelas untuk di jual ke pengumpul). Beliau biasa mencari rongsokan di daerah Ciceri dan sekitarnya.<br />saya tidak ingat namanya, tapi nyai tersebut secara tidak langsung banyak mengajarkan saya arti kehidupan. Nyai tersebut, walaupun sudah sangat renta tetap setiap hari mengais dan mencari rongsokan di tempat-tempat sampah di Ciceri. pernah suatu hari ketika saya jaga conter milik saya yang terletak persis di samping Dinas PU dan Disnaker Ciceri saya tidak melihat Nyai itu. sayapun bertanya kepada mang Usup dan beberapa teman "ojekers" lainnya kemanakah gerangan "Nyai" tersebut. menurut mang Usup Nyai tersebut habis keserempet motor jadi ga bisa <span style="font-style: italic;">ngeruntuk</span>.<br />Wah, betul-betul kasian sekali nasib nyai itu. beliau saya pandang sebagai sosok perempuan tua yang tegar dan kuat, tidak pernah meminta-minta walaupun tubuhnya sudah semakin lemah. rela berkotor-kotoran untuk bertahan hidup dan menjaga kehormatan dari meminta-minta. mungkin jika dibandingkan, dua kisah diatas terlihat sangat kontras; yang pertama orang-orang tua di Belanda yang tetap mobile dan rajin membaca diusia senja dengan si "Nyai", sosok kebanyakan orang-orang tua miskin di negeri Indonesia yang katanya subur makmur, yang mengisi hari-harinya dengan bekerja keras bahkan dengan sangat keras.<br />Saya kaget mendengar suara masinis yang mengumumkan penumpang bahwa kami akan sampai di stasiun Den Haag HS. tidak lama, kamipun turun dan menuju bagian depan stasiun untuk menungu jemputan Mas Hasyim, staf Kedubes RI di Belanda. setelah beberapa menit menunggu mas Hasyimpun datang dan membawa kami ke masjid "Al Hikmah" yang diresmikan pada tahun 1996 di Den Haag. Masjidnya tentu tidak seperti di Indonesia yang selalu berkubah. masjid ini seperti rumah berlantai dua dengan luas kurang lebih 10 x 20 meter, cukup luas. Saya lihat fasilitasnya cukup lengkap. dilantai 0 ( di Eropa lantai 1 itu di sebut lantai 0) Masjid Al hikmah terdapat beragam fasilitas mulai dari toilet, tempat wudhu yang berair hangat, perpustakaan kecil, dapur, ruang-ruang rapat, ruang sekretariat dan lain-lain. dilantai 1, ruangan masjid utama yang bisa menampung mungkin 500 orang.<br />Tepat pukul 1 waktu Den Haag, saya diminta mas Hasyim untuk azan dan Syahril untuk khutbah. setelah sholat, kamipun beramah-tamah dengan beberapa warga negara Indoensia yang sudah lama tinggal di Den Haag. setelah itu kami diantar menuju stasiun untuk kembali ke Leiden Central. <span style="font-style: italic;">alhamdulillah</span>, Syahril di kasih amplop oleh DKM masjid sebesar 40 euro dan kami ditraktir makan Piza Turki yang insyallah halal....<br />Leiden, 19 Februari 2010 <input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"></div><div style="text-align: justify;" id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-87112688025395157822010-02-09T19:58:00.000-08:002010-02-09T21:03:25.651-08:00Tentang binatang di sekitar Leiden<div style="text-align: justify;">Masyarakat kota Leiden dan mungkin kota2 dinegara maju lainnya sangat akrab dengan burung2, unggas, dan binatang peliharaan. ini terbukti dengan diperlakukannya burung-burung, bebek kepal hijau (karena warna kepalanya yang hijau metalik dan sangat cantik), angsa dan binatang peliharaan dengan sangat manusiawi. kita bisa dengan mudah menyaksikan masyarakat kota yang memberikan makanan kepada bebek kepala hijau, angsa, yang sedang bermain di kanal-kanal kecil kota Leiden dan burung2 yang bertebaran diatas udara kota Leiden setiap hari walaupun dalam kondisi cuaca tidak baik.<br />Suatu hari cuaca sangat dengin dengan kabut tipis yang menyelimuti kota , ketika itu saya bersama seorang teman pulang kuliah pada pk 17.00. kami sengaja berjalan kaki ke Leiden Central karena bermasud naik Connexxtion, bis yang hlir mudik mengantarkan penumpang dari Leiden ke kota-kota lain di Belanda. setelah menungu kurang lebih 20 menit, datanglah bus Connexxtion bernomor 12, nomor yang kami tunggu.<br />setelah bertanya kepada pa supir apakah akan melalui jalan Smaragdlaan, apartemen kami, kemudian sang sopir mengangguk, maka kami masuk dan duduk di bagian paling depan. <span style="font-style: italic;">Eh</span> ternyata pa sopir membawa kami kearah yang salah, ke arah Den Haag. pusing!!karena belum makan dari pagi!!tapi syukur alhamdulillah setelah sampai di titik pemberhentian terakhir, sang sopir mau mengantarkan kami kembali ke Leiden Central Gratis tanpa biaya tambahan.<br /> <span style="font-style: italic;">hah</span>, setelah sampai di belakang Leiden Central kami memutuskan untuk jalan kaki aja pulang karena sedikit "trauma" (dan sedikit irit jg he... he).<br />Ditengah perjalalanan pulang itulah saya menyaksikan beberapa ibu muda bersama anak2 mereka sedang emmberi makan bebek kepala hijau, angsa2 dan burung2 dara di kanal-kanal kota. ini menurut saya luar biasa karena ditengah cuaca yang sangat ektrem mereka masih memikirkan hewan-hewan ini. inilah yang kemudian saya pahami sebagai nilai yang sangat luhur. hewan-hewan itu di pelihara bukan hanya oleh satu dua orang penduduk melainkan mungkin seluruh warga kota memelihara "mereka" dan ini diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya.<br />nah, mungkin agak kontras dengan kondisi di negara kita dimana hewan-hewan tersebut mungkin akan diburu untuk koleksi, sekedar peliharaan, atau bahkan di sembelih untuk menjadi santapan. disini seluruh masyarakat seperti memiliki pemahaman yang sama terhadap nilai-nilai dan etika humanisme.<br />selama 9 hari tinggal di Leiden, paling tidak ada empat jenis burung yang saya jumpai yaitu burung dara abu2, dara putih, burung hitam, dan burung camar putih (karena belum ada kamera sy belum bisa meng-up load gambar gambar mereka). Burung-burung itu hidup damai diantara gedung2 tua kota Leiden.<br />Smaragdlaan, 9 Feb. 2010 jam 6 pagi.<br /></div><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-10072552610768757692010-02-04T12:07:00.000-08:002010-02-04T12:38:25.716-08:00lanjut lagi ah...<br /><span style="font-weight: bold;">Sepeda Di mana-mana</span><br />Jika di Serang parkiran setiap tempat dan ruang publik di penuhi oleh kendaraan bermotor, maka di Leiden hampir sangat sulit menjumpai penduduknya mengendarai motor. mereka lebih memilih menggunakan sepeda untuk datang ke suatu tempat ke tempat yang lain. pria dan wanita baik tua maupun muda mengunggang sepeda dengan antusias.<br />di Leiden khususnya dan Belanda umumnya, sepeda menjadi alat transportasi yang sangat efektif. selain karena lebih murah, lebih sehat, bersepeda juga merupakan bentuk dari kearifan lokal (local wisdom) warga belanda untuk berkomitmen secara kolektif untuk menjaga lingkungan. sehingga ruang udara Leiden sedikit terbebas dari beban polusi. setiap ruas jalanan di Leiden sangat akomodatif terhadap pengguna sepeda buktinya ada jalur khusus sepeda disetiap jalan raya.<br />saya sendiri memang masih mengguanakan alat trasportasi publik yaitu bus Connexxion yang mengantar saya dari depan apartemen ke Leiden Centrum untuk kemudian berjalan beberapa kilo menuju ruang kuliah di Lipsius. nah, karena menggunakan bis terlalu mahal untuk kami, maka kami lebih sering berjalan baik pulang maupun ke tempat-tempat lainnya. jadi, duia kaki kami merupaka modal yang sangat berharga sebelum kami memilki sepeda.<br />nah, menurut senior, berhati2lah dalam memarkir sepeda karena jika sampai sembarangan memakirkan sepeda maka sepada kita akan hilang diambil polisi. atau jika tidak dikunci maka sepeda akan dicuri.<br />harga sepeda dan jenis speda yang digunakan juga bervariasi mulai dari yang paling murah sampai yang paling mahal. tapi tentu saja harga tidak akan bohong. harga akanmewakili kualitas sepeda. nah, perengahan bulan ini ada 11 mahasiswa senior yang akan pulang ke Indoneisa, teman2 saya suda ada yang berhasi melobi senior untk mendapatkan sepeda mereka sebagai warisan. saya sendiri belum dapat neh....pusing juga kalo sampai pertengahan bulan belum dapats e[eda karena kaki akan sangat <span style="font-style: italic;">teklok. </span>kalo dirumah sih ada istri yang selalu siap untuk diminta pijitannya lha kalo di Leiden sama siapa?<br />Leiden, 4 February 2010, after lost<br />saya akan ceritakan masalah burung besok<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-14323998528735700532010-02-03T18:02:00.000-08:002010-02-03T18:40:38.497-08:00lanjutan....<br /><span style="font-weight: bold;">Sholat di masjid Marocco</span><br />masjid Marocco, seperti namanya, memang didirikan oleh orang2 marocco yang tinggal di Belanda. masjidnya tentu secara konstruktif berbeda dengan masjid2 di indonesia. masjid yang bernama "Al Hijra" ini berukuran kira-kira 10x15 meter, memiliki 3 lantai (orang eropa menyebtnya 2 lantai karena lantai pertama dianggap laantai 0). tempat wudhu ada di lantai 0. nah cara wudunya juga unik karena ada ember-ember kecil yang disediakan oleh DKM Al hijra di setiap keran air. untyuk siapapun yang akan mengambil wudhu di sini, harus pakai ember kecil itu untuk menampung air baru kemudian air diember tersebut digunakan untuk berwudhu.<br />wah hikmahnya tentu banyak ya....selain menghemat air juga kan mengimplementasikan ajaran Rosulullah SAW bahwa kita harus menghemat. jadi kalo dibandingkan dengancara berwudhu kebanyakan muslim di Indonesia tentu kuantitas air yang digunakan akan sangat berbeda. mungkin sekali berwudhu untuk satu orang bisa setengah atau bahkan 1 ember ukuran standar di Indoensia. bayangkan jika dikalikan dengan jumlah jamaah <span style="font-style: italic;">wah</span> tentu jumlahnya akan sangat banyak sekali dan ini akan mempengaruhi secara signifikan pada kuantitas air tanah yang ada dan tentu saja kalo pakai air dari PDAM biaya bulanan akan semakin membengkak.<br />mungkin DKM di masjid-masjid Indonesia yang menggunakan jasa PDAM bisa menggunakan cara ini mengingat dana yang dikeluarkan stiap bulan untuk membayar tagihan PDAM akan semakin murah dan akhirnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain.<br /><span style="font-weight: bold;">di Rabobank<br /></span>saya agak telat datang ke Rabo bank office karena teman senior kami memilih untuk mengajak kami ke toko China. di toko ini, hampir semua bahan-bahan pangan dan jajanan Indonesia ada. mulai dari beras, kerupuk, sambal madiun, tempe, tahu, mi instan, sampai ke mecin (vetsin) tersedia di sini. tapi tentu yang berbeda di sini harganya. harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan yang lain disini jika di rataa-ratakan sekitar 7-10 kali lipat dengan harga di tahah air. nah kalo sudah begini, kita tinggal menyiapkan uangnya saja....he he. oh iya, harga tahu dan tempe di sini jauh lebih mahal dari pada harga ayam. mungkin itulah salah satu keunggulan kita ya bangsa Indonesia....<br />jadi, untuk teman-teman yang tidak terbiasa dengan makanan selain yang dari Indoensia, semua bisa di dapat disini tinggal kemampuan kita untuk mengolah dan memasaknya saja.<br />di rabo bank sekitar pukul 14.05 teman2 sudah menunggu. nah saya sendirian yang kali ini ketemu masalah. masalahnya adalah saya tidak memiliki nama belakang atau nama keluarga. jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain yang punya dua bahkan tiga suku kata untuk namanya, nama saya temasuk "irit" karena saya hanya punya 1 (baca: satu) suku kata yaitu : Rohman saja atau Rohman doang.<br />ternyata ada sedikit masalah disini, di Eropa. sebetulnya, menurut orang tua saya, orang tua saya memberi nama Faturohman ketika saya dilahirkan namun karena petugas pembuat akte dahulu hanya mencantumkan Rohman di akte maka sampai sekarang ya tetap Rohman saja. yah, nda apa-apalah ortu juga kan niatnya baik memberi nama itu hanya ini harus menjadi perhatian untuk /para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya ke luarnegri atau jika sang anak, siapa tahu (seperti saya), mendapatkan beasiswa keluarnegeri makan nama anak harus lebih dari satu suku kata.<br />memang kebanyakan orang Serang (mungkin juga Banten) asli lebih sering memakai satu macam nama seperti nama teman saya Afrian, Nurdin, Dayat, dll namun mungki dua puluh lima tahun terakhir para orang tua di Serang juga sudah mulai menggunakan dua suku kata. <span style="font-style: italic;">anyway</span>, itu hanya "<span style="font-style: italic;">a case study</span>" atas diri saya aja...he. makanya, setelah menjadi orang tua, dua anak saya memiliki tiga suku kata, Ahmad Fathi Fatahillah dan Annafa Tsani Zanzabila dan insyallah dalam satu bulan ini kan bertambah satu lagi dan akan saya beri tiga suku kata lagi supaya adil. ini bukan bermaksud dendam lo,...he ini hanya refleksi atas pengalaman hidup saya.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;"></span><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-68579284049409867462010-02-03T10:08:00.000-08:002010-02-03T10:49:03.629-08:00lanjutan....<br /><span style="font-weight: bold;">di toilet pesawat<br /></span>waktu itu kira-kira jam 6 pagi, tepat ditas udara jazirah arab, perutku tidak bisa di ajak kompromi. akhirnya dengan terpaksa pakai toilet pesawat yang ternyata cukup ngantri. penupang pesawat bergantian memakai jasa toilet untuk 'melepaskan beban" mereka, temasuk nanti aku. nah sampai giliran, masuk kemudian aku lepaskan beban seperti biasa namun beberapa saat kemudian saya tersadar ketika menyadari bahwa toilet yang sangat sempit itu hanya menyediakan tissue. tapi sy tidak hilang akal, di sebelah kanan tempat saya duduk ada westafel yang berfungsi baik dan ada sabun di dekatnya...nah dengan cara-cara yang tidak patut di tulis di blog ini akhirnya saya bisa membersihkan najis sebagaimana ajarran islam walaupun pintu toilet sudah di gedor penumpang lain sejak beberapa menit yang lalu.<br /><span style="font-weight: bold;">Sampai Schipol<br /></span>waktu itu pukul 6.20 pagi waktu Amsterdam, pesawat landing dengan sangat mulus sehingga saya tidak merasakan getaran sama sekali ketika pesawat menyentuh landasan pacu. udara di bandara relative masih bersahabat karena masih seperti di dalam pesawat, tidak terlalu dingin. setelah melewati pemeriksaan imigrasi, sy dan teman2 mengantre untuk mengambil travel bag di belakang petugas imigrasi. stelah dapat, kami harus menunggu Marrise, sekretaris program ini, di depan kafe di dekat pintu keluar bandara.<br />setelah menunggu beberapa saat, marrise akhirnya datang dengan terburu-buru karena memenag dia agak terlambat. dia kemudian meminta maaf atas keterlambatannya kepada kami semua. Marise kemudian mengajak kami untuk keluar bandara menuju Taksi yang telah disediakan. nah ketika keluar dari bandara inilah kami terjebak badai salju. sy, cucu, ariza, dan syahril kehilangan jejak marrise yang jalannya sangat cepat.<br />kami berusaha mengejar, namun karena derasnya salju yang menghalangi pandangan kami membuat kami kehilangan jejaknya. terus terang, inilah kali pertama saya melihat salju dan badai. Dan tentu saja merasakan udara yang luarbiasa dingin yang elum pernah saya rasakan seumur hidup saya sebelumnya.<br />walaupun ada perasaan yang tidak enak, kami memberanikan diri untuk mengontak marrisse dan tanpa menunggu lama, dia sendiri yang menjemput kami yang sedang berlindung di depan hotel dekat Schipol. alhamdulillah, akhirnya kami bisa naik taksi yang besarnya seperti mobil van dengan penghangat di dalamnya. lumayan untuk mengurangi kebekuan darah....he he<br />pukul 7.10 kami tiba di Smaragdlaan, apartemen yang akan kami tinggali selama 6 bulan kedepan. sempat berfoto bersama sebelum masuk.<br />sy dan zaenal dapat kamar no. 228 dilantai 5. Kamarnya menghadap ke arah kota leiden dengan pemandangan salju tipis dan burung-burung dyang beterbangan. fasilitas yang ada juga lumayan lengkap: ada dua tempat tidur, pemanas di ruang tidur dan kamar mandi, 2 meja belajar, 2 lemari, dua kursi , ada dapur dengan peralatan masak yang lengkap, serta tentu saja ini yang paling penting: saluran kabel internet. <span style="font-weight: bold;"><br />pesta sambutan dari senior<br /></span>Program yang mengantarkan saya ini bernama <span style="font-style: italic;">the young indonesian leaders</span> yang sudah berjalan selama beberapa tahun lamanya. nah, ketika hari pertama kami datang, kami disambut dengan pesta kecil2an oleh teman2 senior program ini yang akan segera bertolak ke tanah air pertengahan bulan ini.<span style="font-weight: bold;"> </span>di luar dugaan, saya pikir ketika saya berangkat dari serang, saya tidak akan bertemu makanan Indonesia selama 1.5 tahun kedepan namun ternyata didepan saya terhidang eberapa makanan khas Indonesia diantaranya: opor ayam, rendang, sayur dll. wah jadi rupanya senior kami itu sudah sangat mahir dalam memasak selama ini ya....maknyus men!!!<br />pada kesempatan itulah kami berkenalan dengan teman-teman senior yang bukan hanya dari program kami tapi juga ada dari program beasiswa yang lain seperti NESO bahkan ada beberapa mahasiswa PhD. wah yang jelas waktu itu sangat meriah...<br /><span style="font-weight: bold;">mengatasi jetlag<br /></span>para senior menyarankan kami agar tidak tidur dulu untuk mengatasi jetlag. untung senior kami baik2 sehingga hari itu juga kami ditemani berkeliling lorong2 kota Leiden, berbelanja kebutuhan untuk beberapa hari kedepan, ke Rabobank untuk membuat account dan bertemu dengan Nico<span style="font-weight: bold;"> </span>Kaptein<span style="font-weight: bold;"> </span>dan direktur program untuk memjabarkan tentang program kami dan sistem yang berlaku di leiden.<br />(nanti saya lanjutkan ya, kaki pada pegel....3 feb.2010 jam 19.00)<br /><span style="font-weight: bold;"></span><span style="font-weight: bold;"></span><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-29405898701288435352010-02-02T17:47:00.000-08:002010-02-02T18:47:33.048-08:00catatan hari pertama dan kedua di Leidenperjalanan dari serang ke Bandara Soeta memakan waktu 1.5 jam. sy bersama keluarga ada di mobil belakang mengikuti mobil Arif yang melesat bagai kilat (lebay) karena jalan tol jakarta-merak relative lengang, mungkin karena hari minggu. Fathi, anaku yang pertama, sangat antusias ingin ikut karena ingin lihat pesawat sementara Annafa (anak ke dua) tidak bisa ikut karena masih sakit.<br />tiba dibandara, sy harus mencari teman-teman karena, honestly speaking, ini penerbangan pertama jadi bingung juga ngeliat orang hilir mudik dan mundar mandir. setelah bertemu kteman-teman, inilah yang kami lakukan (dan mungkin sedikit panduan bagi siapapun yang akan berangkat abroad): masuk ke ruang departure kemudian kami memasukkan travel bag termasuk tas kecil saya diminta di naikkan ke keatas conveyor yang akn menscan benda-benda yang dikhawatirkan berbahaya bagi penerbangan. HP yang kita bawa juga diperiksa.<br />setelah melewati conveyor itu, kami langsung ke loket Malaysia Airlines dan karena sudah mendapatkan tiket dua hari yang lalu dari Marrise, kami tinggal menyerahkan pasport dan tiket ke petugasnya. eh lupa, siapkan juga dana 150rb untuk airport tax kemudian tas-tas kami di masukan ke dalam conveyor untuk di timbang.<br />ketika di Serang, sy pikir Travel bag sy yang paling besar, <span style="font-style: italic;">eh</span> ternyata teman-teman saya membawa travel bag yang jauh lebih besar. yah, ga pa-pa lah.<br />setelah melewati ticketing process, kami mencari bagian fiskal agar kami tidak dibebani bea fiskal yang besarnya 2.5 juta rupiah, waw sangat besar, uang itu bisa untuk biaya hidup 2 minggu di Leiden.<br />kemudian kami punya kesempatan untuk bertemu keluarga untuk berpamitan. waktu itu saya sangat emosional ketika memandang wajah putra pertamaku, istriku, ortu, mertua, dan adik2 sehingga tak sadar, air mataku menetes, sedih <span style="font-style: italic;">rek</span>.<br /><span style="font-weight: bold;">Naik pesawat</span><br />ini adalah pengalaman pertamaku naik pesawat. pesawat yang sy tumpangi adalah malaysia airlines yang menurut salah seorang teman di Uhamka lumayan bagus kualitas pelayanannya. nah ini yang lucu, ketika pesawat landing sy agak panik ketika telinga saya terasa sakit dan bahkan tidak bisa mendengar. anehnya, yang duudk di sisi kanan dan kiri saya biasa saja, ga panik.<br />setelah sy tanya ternyata mereka juga merasakan hal yang sama tapi karena sudah agak sering jadi ya biasa saja katanya. sy jadi teringat perkataan Wawan, teman SMP dan SMA saya bahwa ketika landing telinga akan sakit dan itu terbukti masalahnya dia ga bilang kalo sampai sedikit tuli....he he.<br />setelah terbang selama kurang lebih 2 jam bersama 90an malaysian, akhirnya sampai di Bandara Kuala Lumpur pukul 21.15, saya ga hapal namanya. wah, bandaranya lebih mewah dari Soeta lo. saya sempat photo2 di depan toiletnya...he he<br />di bandara KL, kami harus menunggu 2 jam untuk masuk ke pesawat yang akan mengantar kami ke Schipol, bandara internasional Belanda. wah, di tempat kami menunggu sudah banyak berjejer orang2 bule dan sampai titik ini saya sudah mulai bisa merasakan sense of minority.<br />pemeriksaan ketika akan boarding lebih ketat disini. bahkan, sabuk seorang teman harus di lepas dan sepatu Yulistina juga harus di lepas padahal bule2 yang lain langsung masuk aja, wah mulai diskriminatif neh...<br />tidak lama menunggu, kami di persilahkan masuk ke dalam pesawat dan bagusnya announcer mengumumkan agar kami mendahulukan anak-anak untuk masuk pesawat dari padaorang dewasa, mantap! wah ternyata peswatnya jauh lebih bsardari yang pertama...dan orang bule semua enumpangnya, mungkin WN belanda yang habis liburan winter.<br />setelah penerbangan 2 jam kami dapat makan, menunya sudah mulai ke barat-baratan walupun masih ada masakan malaysianya seperti nasi lemak. masakan yang lain, saya ga hapal namanya tapicukup lengkap karena ada yougert, kopi, susu. wah pokonya ga bakal kelaparan deh di dalam pesawat.<br /><span style="font-weight: bold;">anak kecil</span><br />didepan tempat duduk saya, ada dua keluarga yang membawa anak kecil. wajahnya lucu2 umurnya ada yang 6 bulanan, 2 tahunan dan 5 tahunan. ini dia masalahnya, saya jadi ingat anak-anak dirumah. kalo di Serang, saya kan biasanya pulang sore bisa main sama anak-anak sampai mereka tidur. malamnya bikin susu untuk Nafa kadang sampai dua-tiga kali semalam tapi saya enjoy aja. makanya saya masuk kategori suami idaman...he he. besok paginya biasa bangunin anak-anak dan sempatkan untuk main lagi sebelum berangkat. bayangan ini yang membuat saya melamun membayangkan mereka...seakarang sy pergi selama 1.5 tahun dan insyallah kembali ke indonesia ketika fathi sudah 5 tahun, nafa 2.5 tahun dan adiknya 1.5 tahun...wah-wah sy kehilangn momen2 yang berharga itu. tapi ga apa lah, sy berangkat ke Leiden ini juga kan demi mereka anak2 dan istri...<br />(nanti saya lanjutkan ya ceritanya,...dah pukul 3 dini hari waktu Leiden. nguantuk brur!<br /><br /><input id="gwProxy" type="hidden"><!--Session data--><input onclick="jsCall();" id="jsProxy" type="hidden"><div id="refHTML"></div>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7503163079242256265.post-14698479373200208882010-02-01T17:37:00.000-08:002010-02-01T17:39:52.537-08:00Accelerating Student’s English Competency Through Using Computer in Language Learning<div class="snap_preview"> <p><span style="font-weight: bold;">By Rohman</span><br />A. Introduction<br />The student’s interest in using computer will encourage and motivate them to learn English in a new way. It will also help them to get improved in understanding English. This is happened because the computer-based language instruction is assumed to be better than any other non computer mediated language instruction method (Hartoyo 2008, 21). At least four reasons that support this argument: up date methods, interactive computer system, flexible program, and massive learning process.<br />B. Analysis<br />The first reason about the important of using computer in language learning is the up date methods of utilizing computer’s program during teaching and learning process. To prepare and adjust Indonesian students with the globalization atmosphere and situation, every student requires English language skills as a tool of communication among the global community. Possessing English language skills also become an obligation for students in order to provide a precondition for his development and improvement in the future. Seen from the international relationship, the ability of Indonesian students to communicate and interact with other community by using English will stimulate every student to adapt with new technology, life styles, and information.<br />Not to mention, the ability also can direct and guide them into the scientific and systematic situations which will bring them to be well-prepared students in facing the life. Moreover, there are three major roles are played by possessing English language skill: as a means of communication with other nations, as an aid to develop Indonesian into a modern language , and as an instrument in utilizing science and technology for national development (Hartoyo 2008, 1).<br />The tidal wave of modernization and globalization influence all parts of the world through the utilizing of computerized-equipment in many kinds of life aspects which includes the use of computer in language learning. In the last decades, computer technology has created a remarkable and fantastic progress and contribution of human civilization in the field of communication, medicine, and network as well. Computer has been assisting human kind in doing and helping their activities. For instance, computer technology has connected people all around the world quickly by using internet connection, E mail, and web sites to buy and sell.<br />Astonishingly, the advance of information technology has saturated the application of computers in language learning process. This device can facilitate and ease people in the process of learning English. In short, computer can be used as an instrument to stimulate and improve the student’s ability in language learning especially English language.<br />In fact, the situation also happens in Indonesia. The students in Indonesia have been influenced by so-called a new life style of using computer as their daily need. Therefore, the suitable technique and methodology relating to the use of computer as a new way in language learning is required. For that reason, the most significant technique and methodology to improve the student’s English language skills is in the aspect of exploring the computer technology to support the students learning process.<br />Actually, there are some techniques and methodologies to teach English for the second language learner such as: Grammar Translation Method which focuses on grammar and vocabulary mastery, The Direct Method which focuses on speaking communicatively, Audio Lingual Method which focuses on using target language in repetitive situations, The Silent Way which focuses on expressing thoughts, intentions, feelings, and perceptions, Suggestopedia which focuses on every day communication, Community Language Learning which focuses on proposing the learning cooperation between teacher and student, Total Physical Response which focuses on practicing to use verbal communication accompanied by physical actions (Richards and Rodgers 2001, 5-99), and Contextual Teaching and Learning which focuses on relating subject matter content to real world situations and motivating students to make connections between knowledge and its applications (Newmann 2004).<br />Meanwhile, according to Larsen, there are some up date “methodological innovations” which reflect the dynamics of methodological changes in language teaching such as Communicative Language Teaching (CLT), Content-based instruction, Task-based instruction, Participatory Approaches, Learning Strategy Training, Cooperative Learning, and Multiple Intelligences (Larsen 2000, 11-172). All of these methods are being practiced in day to day English language teaching.<br />The above techniques and methodologies are also being practiced in Indonesia. Most of English teachers from elementary school until senior high school as well as lecturer from one university to another carry out those various techniques and methodologies to assist their students in developing their English skill. Consequently, many teachers and lecturers have to pursue and find the best methodology to implement in the class where students also want to possess the ability in understanding English.<br />However, to improve and develop such kind of ability is not as easy as to open eyes. On the course of designing the systemic and conducive English learning environment as well as obtaining the purpose of the English language study, the teachers and lecturers still have difficulty to realize it. Although, Indonesian English teachers and lecturers have been implementing, practicing, and conducting variety of techniques and methodologies, the result of English teaching in Indonesia have not been suitable with the demand (Hartoyo 2008).<br />Furthermore, It is obviously stated that those techniques and methodologies in English learning and teaching above make the teachers and lecturers as a major centre in the language learning process. On the other hand, the students in Indonesia do not have opportunity to choose the suitable techniques and methodologies. It seems that they always accept all of the teachers and the lecturers have been given without having the chance to choose a method, technique, and approach they preferred.<br />This condition proposes that the problem of teaching and learning of English may arise when the students do not relate and cooperate with alternative techniques and methodologies presented by their teachers and lecturers. The students also have no opportunity to learn the English language except in the classroom.<br />Without denying that the techniques and methodologies is powerful addition to enrich the English teaching and learning methodology, of course we still need to ask whether it fits into the student’s interest especially in Indonesia. By asking the question, perhaps there will be so many fascinating results which will be very useful for the teachers, lecturers, and students as well.<br />The need of alternative technique and methodology in teaching English in Indonesia is crucial because based on a consideration that even though several communication approaches, techniques, and methodologies have been implemented for several decades, the effects of teaching English using “conventional” methodologies have been considered unsatisfactory. Hence, paying a serious attention and consideration to new way in language learning methodology is really necessary.<br />The citizens of the world have been influenced and in come cases controlled by the significance and impact of computer, the language learning methodology and technique should hand in hand with the phenomena. Consequently, the changes of teaching English language methodology from human-based approach into machine based is needed as fast as possible to accelerate the student’s ability.<br />Using computer during the process of language learning is a new thing for students in Indonesia. Even though they already familiar with such kind of modern equipment, the use of computer in language learning process is still something unusual for them. It happens because their teachers have been teaching them with a conventional and usual methodology for several years. Therefore, using computer will attract, catch the intention of students, and increase their motivation in learning English.<br />Therefore, the adoption of computer program that can assist the improvement of student’s language learning all around Indonesia is very necessary. In the last decade, there is a program called CAL which stands for Computer Assisted Learning.<br />On its course, the CAL is really helpful in language learning so it became CALL which stand for Computer Assisted Language Learning. This program refers to the learning language involving the utilization of the computer which students and the computer can interact each other, and in which the students are given freedom to choose any topic of information and even, to become a trouble-shooter of their own problems (Hartoyo 2008, 21).<br />The second argumentation is the interactivity of computer. Newmann (2004) argues that “computers have the ability to be patience by treating each student in the same way without having any preference…” In this perspective, computers are considered as the tool which can interact and communicate with the students. Computers also act as a teacher as well as tutor to guide and conduct the learning process. Therefore, it can detect and evaluate the student’s strength and weaknesses.<br />In delivering English language materials, computers can be equipped with another device such as video which present the real situation of using English, gesture, and culture. The computer also can be equipped with the audio which present the way to say, act, and respond the expression of the native’s speaking.<br />The information technology of computer also be possible the students to have a conversation with their friends as well as experts all around the world. This is very useful to increase their motivation in learning English since they have to use English as a tool in the global community. The more they relate to the connectivity with their pals from different countries the more knowledge, information, and understanding they will get. In the testing process after studying, computer can act as a adjudicator. It judges the student’s test result by giving scores and responses.<br />Moreover, there are some programs which can be implemented during the process of language learning in the class such as building vocabulary program, speaking program, and grammar program as well. The program itself can be modified based on the student’s interest. Obviously, these programs will make all students pay more attention and learn a new perspective in understanding English.<br />The situation is happened in one of suburb private senior high school in Banten province. When the students were presented the video-audio of English by their English teacher, they became very impressed. Without blinking, they keep watching the whole process of English language learning. This is one example of how computer can attract the students to learn more serious. The situation perhaps will be similar since most of students in Indonesia have lack of using computer as a medium in English learning. They only utilize computer only for typing, drawing and so on.<br />By having interactive connection with different programs through computer, the students will realize that English study is really easy. It also reflects that English can be delivered in a fun and simple way. Researchers have also revealed that computer presents so many advantages for students to develop and increase their English competencies. Furthermore, by using computer in language learning programs, students all around Indonesia will be promoted to have active participation during the delivering of English materials.<br />The third is the computer’s program flexibility. The students have opportunity to select their own need. Let’s say when the students of Senior High School in Carita beach, (Banten province) want to practice their speaking skill by having a conversation with the foreign tourists. They can possess the conversation skill by watching some conversation models. They also can learn the right pronunciation of some words and phrases that commonly used during the dialogue in the beach.<br />If they have difficulty in finding the right words or phrases, they still can learn to enrich their vocabulary by using vocabulary programs in the computer. Moreover, when they have difficulty in adjusting their grammar, they can learn by playing the grammar materials in CD programs. So, the students do not have to learn and watch the whole materials that presented by the teachers or tutors.<br />However, if the students want to learn the whole materials consisted in the computer’s programs which since the time availability during the presentation in the class, they may copy or burn it into another CD or flash disk so they can learn it in their spare time. It will make the process of language learning is not only depend on the teachers in the class but also depend on themselves as a users of language. So, learning process will influence all parts of their life.<br />The last argument is massive learning process of using computer. The language learning process can involve more than the member of class itself. It means that by using additional devices such as laptop, screen, sound system, and in focus, the language learning can absorb so many students in one occasion to acquire the materials.<br />Since the form and model of computer have been changing from time to time, it is also possible to have a wider range of class. The process of language learning can be put into practice not only in small class but also in the wide building as well. Therefore, the member of the presentation of the materials will be more than the member of class itself.<br />C. Conclusion<br />To conclude, It goes without saying that the language learning process thorough the using of computer is very constructive and effective way to increase and improve the student’s skills and competencies. The overall explanation above support the assumption by including up date methods, interactivity, flexibility, and massive learning process of using computer in language learning process.</p><p>D. Recomendations<br />There are some recomencation based on the analysis shown above:<br />1. The Indonesian government must provide the computer laboratory for student to learn English language by using computer program.<br />2. The teachers must follow some of workshops, courses, as well as seminars to increase their competencies.<br />3. The students should be aware that they live in the global age which supports the language learning through computer.<br />4. The society should support the new methodology of language learning by helping the school to provide computer.</p> <p>References<br />Hartoyo. 2008. Individual Differences in Computer Assisted Language Learning (CALL). Semarang: Pelita Insani Semarang.<br />Hartoyo. 2008. Enhancing Foreign language Learning Via Self-Access Computer Assisted Language Learning. Journal Pendidikan Bahasa of Edu Lingua I, No.1 (Juni):1-31.<br />Newmann, 2004. A Course of Teaching Methodology. Journal of Education and Teacher 78, no. 5 (June). http://www. Journals.ultrech.edu/JET/journal/discourse/v78n5/230798.html (accessed on January 23, 2009).<br />Larsen, Diane. 2000. Technique and Principles in Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.<br />Richards, Jack, and Theodore S. Rodgers. 2001. Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.</p> </div> <h2 id="postcomment"><br /></h2>rohmanhttp://www.blogger.com/profile/10957122091444390143noreply@blogger.com0