Sabtu, 20 Februari 2010

Kisah Si "Nyai tua" dan Sholat di masjid Den Haag

Waktu itu hari Jumat, jam menunjukan pukul 10.30 tepat. berempat; sy, zaenal, syahril dan ariza bergegas menuju halte Turkoislaan menunggu Connexxtion yang akan mengantarkan kami ke Leiden Central. tidak lama berselang, busnya datang. saya duduk di bagian belakang karena bagian belakang bus di disain lebih tinggi dari pada bagian depannya. ini sebetulnya sengaja di desain sedemikian rupa karena bagian depan bus biasanya untuk orang-orang tua yang usianya sudah lanjut. nah, dibagian belakang biasanya di tempati anak-anak muda, seperti saya.
Di Belanda, mungkin karena negaranya yang sudah sangat maju, saya banyak menemukan orang-orang renta yang hilir mudik di jalanan baik menggunakan alat trasportasi umum maupun kursi roda yang di disain seperti motor sehingga mereka masih merasa nyaman beraktifitas dijalanan dan tempat-tempat umum lainnya. baik pemerintah kota maupun warga kota sangat memperhatikan orang-orang renta ini buktinya mereka memiliki tempat-tempat khusus baik itu di Bis maupun di kereta. Dari kacamata saya, angka kelangsungan hidup mereka saya prediksi cukup tinggi ini bisa saya lihat dari tingkat keriput pada kulit-kulit wajah mereka. Satu hal lagi yang membuat saya salut, mereka, walaupun sudah tua renta masih sangat gemar membaca. sehingga di tempat-tempat umum baik di bis kota, stasiun, bahkan air port dan di dalam pesawat mereka masih menyempatkan diri untuk membaca baik buku, novel, majalah, atau koran. Luar biasa!
Mungkin, walaupun belum tentu mereka semua tahu, mereka sedang mengamalkan hadist nabi bahwa "belajarlah kamu sejak di buaian sampai keliang lahat." Hadis ini sudah dikenal sejak kita duduk di bangku madrasah tingkat pertama namun terkadang kita tidak mempraktekkannya dengan tuntas. Hanya sebagian kecil dari kita yang tetap konsisten mencari ilmu hingga maut menjemput. Kalau sudah begini, saya jadi teringat wajah-wajah orang-orangtua di Indonesia. Mereka yang tidak punya pensiunan harus tetap bekerja dan bekrja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akhirnya lupa untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Di atas rel menuju stasiun Den Haag HS ini, saya teringat "nyai-nyai" yang dahulu waktu saya SD, saya kenal sebagai "bibi kueh" yang selalu mampir ke rumah orang tua saya. Biasanya setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya, adik-adik saya dan ema selalu membeli beragam kue-kue khas Serang seperti bontot, bakwan, bacang, kroket, gulang galing, ketan, cilok, combro, misro dan lain-lain di bibi itu. Karena persaingan dagang yang mulai ketat, bibi itu banting stir dagang sayur mayur yang di beli dari pasar Rawu selepas subuh untuk kemudian di jajakan jam 7 pagi melewati kampung-kampung seperti Cinanggung, Penancangan, Ciceri Jaya, dan KPN.
Beberapa tahun tidk bersua ternyata bibi itu sudah beralih profesinya. Tubuhnya tidak lagi kuat, tubuhnya sekarang sudah renta. bibi tersebut saya panggil "Nyai", sebutan untuk perempuan tua di serang. Nyai tersebut kembali banting stir karena menurut ema saya si Nyai sudah kehabisan modal karena daganganya selalu dihutang dan belum tentu para penghutang itu akan membayarnya karena daftar penghutang juga tidak tercatat. Sekarang, beliau berprofesi ngeruntuk (mencari barang-barang bekas seperti platik, besi, kardus, dan bekas aqua gelas untuk di jual ke pengumpul). Beliau biasa mencari rongsokan di daerah Ciceri dan sekitarnya.
saya tidak ingat namanya, tapi nyai tersebut secara tidak langsung banyak mengajarkan saya arti kehidupan. Nyai tersebut, walaupun sudah sangat renta tetap setiap hari mengais dan mencari rongsokan di tempat-tempat sampah di Ciceri. pernah suatu hari ketika saya jaga conter milik saya yang terletak persis di samping Dinas PU dan Disnaker Ciceri saya tidak melihat Nyai itu. sayapun bertanya kepada mang Usup dan beberapa teman "ojekers" lainnya kemanakah gerangan "Nyai" tersebut. menurut mang Usup Nyai tersebut habis keserempet motor jadi ga bisa ngeruntuk.
Wah, betul-betul kasian sekali nasib nyai itu. beliau saya pandang sebagai sosok perempuan tua yang tegar dan kuat, tidak pernah meminta-minta walaupun tubuhnya sudah semakin lemah. rela berkotor-kotoran untuk bertahan hidup dan menjaga kehormatan dari meminta-minta. mungkin jika dibandingkan, dua kisah diatas terlihat sangat kontras; yang pertama orang-orang tua di Belanda yang tetap mobile dan rajin membaca diusia senja dengan si "Nyai", sosok kebanyakan orang-orang tua miskin di negeri Indonesia yang katanya subur makmur, yang mengisi hari-harinya dengan bekerja keras bahkan dengan sangat keras.
Saya kaget mendengar suara masinis yang mengumumkan penumpang bahwa kami akan sampai di stasiun Den Haag HS. tidak lama, kamipun turun dan menuju bagian depan stasiun untuk menungu jemputan Mas Hasyim, staf Kedubes RI di Belanda. setelah beberapa menit menunggu mas Hasyimpun datang dan membawa kami ke masjid "Al Hikmah" yang diresmikan pada tahun 1996 di Den Haag. Masjidnya tentu tidak seperti di Indonesia yang selalu berkubah. masjid ini seperti rumah berlantai dua dengan luas kurang lebih 10 x 20 meter, cukup luas. Saya lihat fasilitasnya cukup lengkap. dilantai 0 ( di Eropa lantai 1 itu di sebut lantai 0) Masjid Al hikmah terdapat beragam fasilitas mulai dari toilet, tempat wudhu yang berair hangat, perpustakaan kecil, dapur, ruang-ruang rapat, ruang sekretariat dan lain-lain. dilantai 1, ruangan masjid utama yang bisa menampung mungkin 500 orang.
Tepat pukul 1 waktu Den Haag, saya diminta mas Hasyim untuk azan dan Syahril untuk khutbah. setelah sholat, kamipun beramah-tamah dengan beberapa warga negara Indoensia yang sudah lama tinggal di Den Haag. setelah itu kami diantar menuju stasiun untuk kembali ke Leiden Central. alhamdulillah, Syahril di kasih amplop oleh DKM masjid sebesar 40 euro dan kami ditraktir makan Piza Turki yang insyallah halal....
Leiden, 19 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar