Minggu, 06 Juni 2010

Cultural Festival: Pertemuan Lima Benua

Tidak seperti Sabtu kemarin yang cerah dan panas, udara hari minggu ini terasa lebih sejuk karena matahari sama sekali tidak menampakkan dirinya, tertutupi oleh tebalnya awan hitam yang beberapa kali menjatuhkan butiran-butiran air ke seluruh penjuru Leiden. Minggu yang mendung di awal bulan Juni ini merupakan hari yang penting paling tidak untuk mahasiswa internasional yang ada di Leiden karena hari ini Cultural Festival, sebuah acara yang didesain oleh ISNR (International Student Network Representation) Leiden University untuk mempertemukan budaya, cita rasa, pakaian tradisional, nyanyian, tarian, dan beragam ciri khas bangsa-bangsa di dunia yang bersekolah di Leiden University diselenggarakan.
Tercatat paling tidak 20 bangsa yang mengikuti cultural festival tahun ini diantaranya: Romania, China, Afganistan, Costa Rica, Kroasia, Syprus, Jerman, Yunani, India, Indonesia, Iran, Kenya, Belanda, Pakistan, Rusia, Srilanka, Suriname, Syiria, Turki dan Venezuaela. Sebetulnya ada beberapa negara lain seperti Singapura, Spanyol, Siera Leone, Italia, Belgia, Vietnam, Perancis dan USA yang mahasiswanya sekolah disini namun karena alasan teknis mereka enggan ikut. Namun yang jelas komposisi keikutsertaan peserta pada event ini sudah merepresentasikan hadirnya warga dari hampir semua benua.
Ditemani sepeda pinjaman dari kawan PhD yang sedang pulang ke Indonesia, kususuri jalanan di samping Smaragdlaan yang sepi menuju rumah masa depan, apartemen Duwo, tepatnya di kamar G3 untuk mengambil bubur sum-sum dan tahu gejrot buatan mba Ning dan mba Dinar untuk di sajikan di stand Indonesia. Selain dua makanan itu, stand Indonesia juga menyediakan makanan khas lain seperti martabak, risoles, es kopyor, dan pisang goreng plus sorenya sebagai additional food untuk mahasiswa Indonesia sajian sop buntut buatan pa Mintardjo yang kebetulan berulang tahun di tanggal yang sama turut di sajikan.
Tidak seramai pernak pernik stand Yunani yang di dominasi warna biru atau stand China dengan warna merah di hampir seluruh bagian standnya, stand kami cukup sederhana kalo tidak mau dibilang prihatin. Dengan tenda yang disediakan panitia, sebetulnya kami tinggal mengisi saja dengan pernak pernik dan beragam hal tentang Indonesia namun sayangnya kami kekurangan pajangan sehingga jika di bandingkan dengan dua negara itu jelas kami agak kalah. Saya sendiri tidak paham kenapa pernak pernik yang dipajang kebanyakan milik teman-teman seperti Ela yang membawa angklung, topeng-topeng dan pajangan bergantung. Padahal, ajang ini merupakan "tumpangan" untuk mempromosikan budaya dan pariwisata Indonesia untuk teman-teman mahasiswa Internasional di Leiden dan tentu saja warga Leiden yang untuk masuk ke arena festival harus membayar 4,5 euro. Anyway, the show must go on, kami harus memperbaiki dekorasi dan seluruh hiasannya tahun depan agar lebih menarik.
Saya mulai kegiatan pertama dengan acara eksplorasi kuliner yang saya mulai dari stand Pakistan karena waktu makan siang sudah hampir lewat. Disini saya mencoba makanan khas Pakistan yaitu paduan nasi, rempah rempah dan daging kambing yang di Indonesia, mirip dengan nasi kebuli. Saya juga mencoba gorengan pakistan yang mirip bakwan atau bala-bala namun rasanya agak aneh karena mungkin bumbu (atau vetsinnya) tidak sama dengan di negeri kita. Untuk menghindari kekenyangan yang premature, saya pindah ke stand Yunani yang letaknya persis di berada diantara stand Pakistan dan Indonesia. Yunani menyajikan banyak sekali makanan mulai dari makanan yang seperti martabak yang di dalamnya terdapat makaroni dan daging sapi giling, kue manis yang campuran roti, madu, gula, dan pecahan kacangn almond, beberapa jenis roti, minuman sampai buah-buahan seperti anggur, kiwi, dan apricot termasuk barbecue dengan memanggang daging khasnya. Disini saya mencicipi kue manis dan buah-buahanya saja.
Setelah beristirahat beberapa saat, penjelajahan dilanjutkan ke stand China yang letaknya paling depan. Makanan di sini, semuanya sama dengan di Indonesia yaitu gorengan seperti lumpia, pangsit, dan kroket dan tidak seperti Yunani yang bebas mengambil apapun, disini pengunjung hanya di perbolehkan mengambil dua jenis saja. Kemudian kaki saya langkahkan menuju Syiria untuk menyicipi bubur putih dengan campuran kacang dan salad. Beberapa saat sebelum ke stand Rumania, saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk berfoto bersama model-model dari Indonesia yang akan pentas di catwalk dengan memakai pakaian pernikahan adat Betawi, Sumatra Barat dan Ambon. Di stand Rumania saya mencicipi campuran minuman khasnya berupa campuran air es, susu, vanila dan telur yang bernama Lapte de Pasare. wah segar sekali lo rasanya...he he.
Untuk menambah keseimbangan asupan gizi, saya kemudian pindah ke stand India untuk mencoba makanan berupa sate ayam dan nasi Biriyani yang mirip nasi di Pakistan bedanya di India nasinya berwarna warni ada yang kuning, kecoklatan dan putih. Di stand Kroasia saya menyicipi biskuit dengan pasta ikan di atasnya. Sedangkan di stand Iran dan Kenya saya hanya mencicipi kue-kue kecilnya yang manis bertaburan wijen dan almond. Untuk menutup penjelajahan kuliner ini, saya memilih stand Costa Rica yang menyajikan buah-buahan tropis seperti Nanas dan Melon yang manisnya subhanallah. Alhamdulillah...
Setelah penjelajahan kuliner selesai, saya dan teman-teman menuju panggung utama untuk melihat fashion show yang menggambarkan keanekaragaman pakaian tradisional ke duapuluh negara. Nah, sebagai calon antropolog, ada yang menarik dari pagelaran pakaian tradisional ini bahwa tidak seperti pakaian di jaman modern yang serba "terbuka", pakaian tradisional dari Yunani, Rusia, Belanda, China dan bahkan hampir semua kontestan sangat tertutup dengan tangan panjang dan jahitan yang menjulur ke bawah hingga mata kaki. Dari tampilan singkat itu tampak telah terjadinya shifthing dalam pola berpakaian dari jaman tradisional menuju jaman modern.
Tampilan yang lain adalah pagelaran seni tari yang sayangnya tim Indonesia tidak bisa tampil karena beberapa penari Indonesia masih sibuk dengan final papernya. Padahal mba Ning, Dinar, Syndy, Oxal, dan Linda sebetulnya bisa saja di pasang di stage karena mereka bisa memberi workshop tarian Jawa yang gemulai dan halus itu. Untuk tampil di panggung itu sebetulnya hanya butuh confidence saja karena beberapa tampilan seperti dari Syprus dengan nyanyian falsnya dan dari Belanda dengan tarian "asal" geraknya bisa tampil impresive. Saya membayangkan jika tarian jawa itu bisa ditampilkan, publik akan sangat terpana oleh alunan gamelan dan gerakan-gerakan khas tarian Jawa.
Cultural festival kemudian ditutup dengan pengumuman pemenang yang didasarkan oleh penilaian dua orang juri yang tidak jelas alias di samarkan yang menurut Neda Wassie, ketua panitia, jumlahnya hanya dua orang. Mereka berkeliling ke seluruh stage dan stand untuk menilai tampilan seluruh peserta. Terpilih sebagai pemenang ajang tahunan ke-4 ini adalah kontestan asal China menyisihkan Pakistan yang tiga kali berturut-turut menjuarai festival ini. Walaupun tim Indonesia kalah, kami tetap bangga karena paling tidak kami sudah maksimal untuk mengibarkan merah putih di negeri Belanda. Satu hal yang tertinggal, kepanitiaan festival ini di handle seluruhnya oleh perempuan dan tidak satupun pria bahkan di akhir acara saya melihat beberapa panitia perempuan sedang membongkar tenda-tenda stand. wah luar biasa...
Leiden, 7 Juni 2010...








Tidak ada komentar:

Posting Komentar